Derita Komunitas Ahmadiyah dalam Novel Maryam: Sebuah Perspektif Perempuan

Novel Maryam karya Okky Madasari adalah salah satu karya sastra Indonesia yang menyoroti isu-isu sosial dan kemanusiaan yang sering kali diabaikan. Dengan latar belakang diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah di Lombok, novel ini tidak hanya mengungkap ketidakadilan sistemik yang dialami komunitas tersebut, tetapi juga menggambarkan bagaimana derita ini dirasakan secara mendalam melalui perspektif seorang perempuan. Maryam, sang tokoh utama, menjadi simbol bagaimana perempuan Ahmadiyah mengalami penindasan ganda: sebagai anggota kelompok minoritas dan sebagai perempuan dalam masyarakat patriarkal.

Maryam dan Diskriminasi terhadap Ahmadiyah

Komunitas Ahmadiyah di Indonesia telah lama menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan, terutama di daerah seperti Lombok. Novel ini menggambarkan bagaimana komunitas ini hidup dalam ketakutan akibat stigmatisasi agama yang dilegalkan oleh negara melalui aturan-aturan diskriminatif. Dengan menyelipkan elemen-elemen dokumenter seperti penyerangan masjid, pengusiran, dan ancaman kekerasan, Okky Madasari menyajikan potret nyata dari apa yang dialami komunitas Ahmadiyah. Novel ini mengingatkan pembaca bahwa kebijakan diskriminatif dan intoleransi tidak hanya menghancurkan komunitas secara kolektif, tetapi juga memiliki dampak yang sangat personal dan emosional terhadap individu, terutama perempuan seperti Maryam.

Derita Perempuan dalam Novel

Sebagai perempuan, Maryam menghadapi tekanan yang lebih besar dibandingkan laki-laki dalam komunitasnya. Dalam budaya patriarki, perempuan sering kali menjadi korban pertama dalam situasi krisis sosial dan agama. Maryam tidak hanya kehilangan rumah dan komunitasnya, tetapi juga cinta dan kehidupan pribadinya. Setelah menikah dengan lelaki non-Ahmadi, Maryam dihadapkan pada dilema antara mempertahankan identitas kepercayaannya atau berkompromi demi pernikahannya. Keputusan ini membawa Maryam pada pengalaman alienasi ganda: ia tidak diterima sepenuhnya oleh keluarga suaminya yang menentang keyakinannya, dan ia juga terasing dari komunitas Ahmadiyah yang menganggapnya telah meninggalkan tradisi mereka.

Kehidupan Maryam mencerminkan kompleksitas posisi perempuan dalam komunitas minoritas. Di satu sisi, ia adalah pelindung identitas kolektif, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi korban stigma dan kekerasan yang diarahkan pada komunitas tersebut. Novel ini menunjukkan bahwa perempuan seperti Maryam tidak hanya menghadapi diskriminasi dari luar komunitas, tetapi juga dari dalam, dalam bentuk ekspektasi sosial yang membatasi ruang gerak dan pilihan hidup mereka.

Perspektif Emosional dan Psikologis

Salah satu kekuatan Maryam adalah cara Okky Madasari menggambarkan dampak psikologis dari diskriminasi terhadap perempuan. Maryam digambarkan sebagai sosok yang terus menerus bergulat dengan rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan akan kedamaian. Trauma yang dialaminya tidak hanya berasal dari kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan simbolik berupa pengucilan sosial dan pelecehan verbal. Okky menggunakan sudut pandang Maryam untuk membawa pembaca menyelami rasa sakit yang sering kali tidak terlihat dalam statistik atau laporan berita.

Misalnya, ketika Maryam harus menyaksikan masjid komunitasnya dirusak dan keluarganya diusir dari rumah mereka, ia tidak hanya merasa marah, tetapi juga merasa tidak berdaya. Perasaan ini diperparah oleh kenyataan bahwa sebagai perempuan, suaranya sering kali diabaikan dalam komunitas yang patriarkal, bahkan ketika ia mencoba melawan ketidakadilan.

Kritik terhadap Sistem Sosial dan Agama

Melalui Maryam, Okky Madasari tidak hanya mengkritik kebijakan negara yang diskriminatif, tetapi juga mengangkat pertanyaan penting tentang peran agama dan budaya dalam menindas perempuan. Komunitas Ahmadiyah di novel ini tidak hanya menjadi korban kekerasan dari luar, tetapi juga terjebak dalam aturan internal yang mengekang perempuan. Dalam konteks ini, Maryam menjadi representasi perempuan yang mencoba melawan batasan-batasan tersebut, meskipun dengan risiko kehilangan segalanya.

Okky juga mengungkap bagaimana sistem hukum dan masyarakat yang seharusnya melindungi minoritas justru memperkuat ketidakadilan. Dengan menggambarkan aparat negara yang berpihak pada kelompok mayoritas dan mengabaikan hak-hak komunitas Ahmadiyah, novel ini menggarisbawahi perlunya reformasi mendalam dalam sistem hukum dan pendidikan di Indonesia.

Realitas Saat Ini: Pembubaran Pertemuan Nasional Ahmadiyah

Baru-baru ini, pembubaran pertemuan nasional Jalsah Salanah (Pertemuan Tahunan) Jamaah Ahmadiyah Indonesia [1] pada 6-8 Desember 2024 di Kuningan, Jawa Barat menjadi pukulan lain bagi kebebasan beragama di Indonesia. Peristiwa ini mencerminkan terus berlangsungnya tekanan terhadap komunitas Ahmadiyah, bahkan di tingkat nasional. Bahkan para pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito, Kota Mataram yang sudah lebih dari dua windu di sana setelah berkali-kali menyelamatkan diri karena dipersekusi dan diusir dari rumah dan tanah mereka sendiri masih belum jelas nasibnya.

Diamnya Menteri Agama, Nasaruddin Umar, yang sebelumnya banyak diharapkan sebagai agen perubahan dan perdamaian, menambah kesedihan. Gesturnya yang antusias saat menyambut Paus Fransiskus di Indonesia memberikan harapan akan toleransi dan inklusi. Namun, ketiadaan tindakan tegas terhadap diskriminasi agama di dalam negeri menunjukkan paradoks yang mengecewakan. Kementerian Agama secara implisit menegaskan bahwa hanya untuk agama Islam saja: Kementerian Agama (Islam).

Apalagi naasnya, para penganut keyakinan/kepercayaan tradisional leluhur juga tidak bisa mengurus keperluan mereka di Kemenag, malah mereka harus lari ke Kementerian Kebudayaan. Ini menandakan, keyakinan/kepercayaan mereka belum dianggap penting atau bahkan setara dengan agama-agama lain di Indonesia khususnya yang enam, bahkan yang lima dari enam selain Islam pun juga bisa disebut anak tiri dari Kemenag yang jarang sekali dan hampir tidak pernah dibela, misalnya saat ada penggusuran atau penutupan rumah ibadah dan urusan berbagai macam perizinan seperti pembangunan rumah ibadah/pernikahan/pemakaman/pengurusan akta lahir.

Mengapa Maryam Relevan untuk Dibahas?

Novel Maryam tetap relevan di tengah meningkatnya intoleransi dan diskriminasi di Indonesia. Dengan menyoroti pengalaman perempuan Ahmadiyah, Okky Madasari memberikan suara kepada mereka yang sering kali terpinggirkan dalam narasi besar tentang hak asasi manusia. Kisah Maryam mengingatkan kita bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas bukan hanya isu kolektif, tetapi juga isu personal yang berdampak pada kehidupan individu, terutama perempuan.

Selain itu, Maryam juga mendorong pembaca untuk mempertanyakan peran mereka dalam memperjuangkan keadilan. Apakah kita telah cukup bersuara untuk membela hak-hak kelompok yang terpinggirkan? Apakah kita telah memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara dan mendefinisikan kembali peran mereka dalam masyarakat yang inklusif?

Kesimpulan

Melalui Maryam, Okky Madasari berhasil menghadirkan narasi yang kuat tentang derita komunitas Ahmadiyah di Lombok, khususnya dari perspektif perempuan. Novel ini tidak hanya menggambarkan diskriminasi sistemik yang dialami komunitas tersebut, tetapi juga mengangkat pengalaman emosional dan psikologis perempuan dalam menghadapi tekanan sosial, agama, dan budaya. Dengan membaca Maryam, kita diajak untuk lebih memahami kompleksitas isu intoleransi dan diskriminasi, serta pentingnya memperjuangkan hak asasi manusia untuk semua, tanpa kecuali.



_________________________________________________________________________

[1] Ahmadiyah, yang didirikan di India oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), masuk Indonesia pada 1924-1925. Pada 1953, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Qadiyan) yang meyakini Ghulam Ahmad sebagai imam mahdi terdaftar sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. Sementara itu, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Lahore), yang meyakini Ghulam sebagai pembaru, tercatat sebagai organisasi sosial pada 1963 dan diumumkan pada 1966. JAI berpusat di Bogor, Jawa Barat dan GAI berpusat di Yogyakarta. (Sumber: https://www.iwmf.org/reporting/nasib-pengungsi-ahmadiyah-di-transito/)

Penggerak Komunitas GUSDURian Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *