Refleksi Lima Belas Hari Pesantren Gerakan GUSDURian

Bagi sebagian orang, menyambut bulan Ramadan merupakan momentum yang dilakukan dengan menyiapkan beberapa hal dengan membersihkan rumah, mempersiapkan fisik, dan lain sebagainya. Menyambut lima hari menuju bulan Ramadan, yang kulakukan hanyalah berpikir dan merenung, tentang bagaimana caranya membuat bulan Ramadan tahun ini memiliki kesan yang berbeda dari tahun sebelumnya.

Lima hari menuju bulan Ramadan, aku mulai sibuk mencari informasi kegiatan Ramadan yang mampu membantuku belajar dalam berproses bersama dengan orang-orang yang juga ingin tumbuh menjadi manusia yang lebih baik di tahun ini. Pada suatu malam dengan keheningan yang menyelimuti, aku mulai berpikir tentang bagaimana cara menemukan hal baru dengan tidak menjerumuskan diri ke dalam masalah baru yang lebih meresahkan. Sampai aku terjebak dalam dua pilihan rumit yang harus kuputuskan sebelum bulan Ramadan tiba. Aku berhasil menemukan dua kegiatan yang sama, dengan tema yang berbeda, untuk mengisi bulan Ramadan tahun ini.

Dengan banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk mendaftarkan diri di Pesantren Gerakan yang diinisiasi oleh Komunitas GUSDURian Yogyakarta yang mengusung tema-tema relevan dengan materi yang saat ini sedang kubutuhkan, dengan resiko mengubur niat untuk mempelajari kebudayaan lebih dalam melalui Pesantren Kaliopak yang juga mengadakan Ngaji Posonan yang diadakan khusus di bulan Ramadan. Tidak banyak ekspektasi yang kuharapkan dalam kegiatan Ngaji Posonan pada Ramadan kali ini, hanya mendapatkan ilmu dan teman-teman baru yang dapat menerima segala kekuranganku dan saling membersamai untuk memperbaiki diri dengan belajar.

Pengalaman Selama Sepuluh Hari

Sore itu, di bawah rintik hujan, aku mulai kembali meyakinkan diri bahwa keputusan yang sudah kuambil, merupakan hasil yang terbaik dari beberapa pertimbangan panjang yang kulakukan di beberapa hari belakangan. Aku mulai membereskan pakaian serta beberapa barang yang mesti kubawa dalam berkegiatan di Pesantren Gerakan GUSDURian Yogyakarta. 

Di sana aku menemukan orang-orang baru, dengan suasana yang hangat. Dari banyaknya orang yang kutemukan di Pesantren Gerakan GUSDURian, nampaknya sebagian dari mereka sudah mengenalku, hal tersebut semakin membantuku dalam beradaptasi di minggu pertama kegiatan Pesantren Gerakan GUSDURian.

Malam pertama diawali dengan perkenalan. Para peserta Pesantren Gerakan yang terdiri dari panitia, musyrif-musyrifah, dan santriwan-santriwati mulai berkumpul di Pendopo GUSDURian untuk melakukan prosesi perkenalan yang cukup menegangkan dengan menutup satu kata dari setiap sesi perkenalan pada masing-masing peserta, yang hanya diberikan dua detik untuk berpikir.

Prosesi ini berhasil melahirkan gelak tawa yang mampu mencairkan suasana yang awalnya cukup menegangkan, meski masing-masing dari kami belum sepenuhnya mampu mengingat semua nama peserta yang hadir pada malam itu. Akan tetapi interaksi yang kami lakukan cukup mengalir.

Materi demi materi, mulai kami ikuti dengan antusias. Pembelajaran yang dilakukan pada Pesantren Gerakan cukup interaktif dan menyenangkan. Hal ini telah divalidasi oleh beberapa santri dan musyrifah yang ikut menyuarakan tentang antusias mereka dalam mengaji. Pesantren Gerakan yang diinisiasi oleh GUSDURian seakan memberikan ruang baru untuk tempat bercerita dan berkeluh kesah tentang sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah didengar. Tentang keluh kesah yang tidak perlu takut mendapatkan penilaian buruk, tentang sebuah tangis yang tidak akan dinilai lemah. 

Pesantren Gerakan ini telah berhasil memberikan warna baru pada langit sendu, yang sebelumnya hanya mengenal hitam dan kelabu. Kehangatan antara peserta dan panitia pun selalu tercipta di setiap momen-momen sederhana yang terdapat di dalam pesantren gerakan ini. 

Sosok manusia baru yang tidak kukenali sebelumnya, kini telah berhasil menciptakan persaudaraan tanpa harus ada ikatan darah yang mengalir. Mereka mengajarkanku tentang ketulusan tanpa tapi, menuntun tanpa menuntut, dan merangkul tanpa memukul. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Gus Dur tidak hanya menjadi slogan tetapi juga mampu menyatukan yang berbeda dan menyelaraskan keberagaman karakter serta pola pikir di setiap masing-masing individu di antara para peserta Pesantren Gerakan GUSDURian.

Pesantren Gerakan GUSDURian bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga ruang untuk menemukan makna baru dalam perjalanan batin dan kemanusiaan. Di sini, aku belajar bahwa keberagaman bukan sekadar sesuatu yang harus diterima dengan lapang, tetapi sebuah anugerah yang patut dirayakan. Dalam setiap diskusi hangat, diskusi mendalam, doa yang khusyuk, dan gelak tawa yang tercipta, aku merasakan bahwa nilai-nilai yang diajarkan bukan sekadar teori yang dihafal, melainkan benar-benar dihayati dan diamalkan dalam keseharian.

Sepuluh hari di pesantren ini membuka mata pelajaran bahwa rumah tidak selalu tentang tembok dan atap, tetapi lebih kepada jiwa-jiwa yang tulus menerima tanpa syarat. Persaudaraan yang terjalin di antara kami bukan sekedar pertemanan sesaat, melainkan ikatan yang tumbuh dari ketulusan, kepedulian, dan kebersamaan.

Dalam proses mencari ilmu, aku menyadari bahwa yang kutemukan bukan hanya pengetahuan, tetapi juga bagian dari diriku sendiri yang selama ini mungkin terabaikan. Pesantren Gerakan GUSDURian tidak hanya memberiku wawasan baru, tetapi juga mengajarkan makna mendalam tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih peka, yang mampu merangkul perbedaan dengan penuh kasih, dan menemukan ketenangan dalam prosesnya.

Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *