“Cita-citaku jadi orang kaya,” ucap kolega kerja saya ketika menirukan perkataan anaknya ketika ditanya perihal cita-cita.
Lalu saya menimpali, menjadi kaya yang seperti apa? “Pokoknya banyak uang, kalau banyak uang tentu hidup semakin mudah,” jawabnya. Obrolan itu diamini kolega lainnya yang mendengar sambil mengangguk-angguk. Para pendengar yang semuanya masyarakat kelas menengah ibu kota itu punya pekerjaan dan kesejahteraan yang layak. Saya bisa pastikan, di antara mereka, tidak ada yang benar-benar mengalami kesulitan hidup karena kekurangan uang.
Bayang-bayang menjadi miskin memang jadi ketakutan kelas menengah ibu kota. Apalagi dengan gejolak ekonomi-politik nasional akhir-akhir ini. Perbincangan di media sosial bagi mereka menampakkan masa depan yang suram. Jalan satu-satunya selain memperketat ikat pinggang, ialah berdoa menjadi lebih kaya lagi agar keluar dari himpitan hidup.
Makna Kaya
Sebenarnya bukan sebuah dosa mengimpikan menjadi orang kaya raya, punya banyak harta, lalu hidup mewah sepanjang usia. Namun, menurut saya, mohon maaf, bercita-cita menjadi kaya tidaklah imajinatif. Ada beberapa hal yang mengganjal, seperti, apa itu definisi kaya?
Sebab kekayaan tidak hanya dari kepemilikan barang saja. Ada banyak aspek kekayaan non-kebendaan seperti daya intelektual hingga spiritual.
Kalau pun menyempitkannya menjadi berdaya secara finansial, lantas sejauh mana orang dikatakan sebagai orang kaya tersebut, apakah dengan memiliki aset triliunan dan mampu masuk oligarki kekuasaan? Serta bagaimana prosesnya, apakah diperoleh dengan menjadi pengusaha minyak yang mengendalikan distribusi energi dan berpengaruh dalam politik nasional, sehingga kekayaan ialah konsekuensi dari pencapaian tersebut?
Ketika hal-hal di atas dapat dirumuskan, barulah muncul pertanyaan soal tujuan menjadi kaya. Menjadi kaya sah-sah saja. Tapi jika tidak punya landasannya, kita mungkin akan jadi insan yang terus menerus mengejar harta. Hasrat tak berkesudahan itu akan membuat rasa tega mengeksploitasi berlebihan sumber daya alam dan manusia yang bahasa sederhananya: rakus!
Ketimpangan Ekonomi
“Bumi cukup untuk kebutuhan banyak orang, tetapi tidak cukup untuk keserakahan satu orang.” Pernyataan itu sering dianggap pemikiran pejuang kemerdekaan India, Mahatma Gandhi. Tokoh yang dikagumi Gus Dur, tidak saja karena kesederhanaan dan perjuangan anti kekerasan (ahimsa), namun juga prinsip solidaritas sosial menumbangkan ketimpangan. Bahwa orang yang kuat wajib melindungi saudaranya yang lemah. Begitu pula orang kaya, punya tanggung jawab mengentaskan kemiskinan di tengah masyarakat.
Menjadi kaya artinya memiliki kelebihan kepemilikan dan akses atas sumber daya yang sebenarnya dipunyai oleh seluruh penduduk bumi ini dan dapat dibagi rata. Ambil contoh, seorang pengusaha tambang nikel yang berhasil menjadi kaya raya. Ia mampu melakukan aktivitas penambangan karena sekumpulan orang yang mau jadi pekerja di situs galian itu. Sementara masyarakat adat di tanah itu dipaksa merelakan lahannya untuk digali.
Pertambangan itu tentu berdampak pada kelangsungan hidup mereka yang selama ini bergantung pada lahan tersebut.
Dengan banyaknya pengorbanan dari berbagai pihak itu, masih banyak orang kaya menyombongkan kemakmuran yang diperolehnya sebagai kerja keras sendiri. Tentu itu patut dipertanyakan, sebab tidak mungkin satu atau segelintir orang mampu mengeksploitasi sumber daya alam tanpa urun tangan dan pengorbanan banyak orang yang digambarkan tadi. Cara berpikir yang narsistik itu, menganggap bisnisnya ialah upaya pribadi, hanya akan menambah ketimpangan ekonomi dan sosial.
Bahkan nafsu besar mengeruk alam seperti pertambangan batu bara dan mineral secara berlebihan membuat sebagian orang mencari argumentasi atas urgensi aktivitas bisnis tersebut. Mulai dari bualan pertumbuhan ekonomi, yang kita tahu hanya dinikmati segelintir orang.
Sampai dalil-dalil agama yang menormalisasi aktivitas tambang sebagai aktivitas ekonomi biasa, tanpa empati terhadap kelestarian bumi dan masyarakat adat. Seakan-akan tidak ada alternatif lain untuk mencapai kesejahteraan bersama, tanpa harus mengeksploitasi alam secara kemaruk.
Perspektif Terbatas
Saya dapat memahami impian kelas menengah ibu kota untuk menjadi kaya. Ini bukan semata soal godaan membelanjakan banyak barang. Tapi keterbatasan perspektif dalam mencapai kesejahteraan. Hidup di ibu kota perlu banyak daerah penyangga untuk memasok kebutuhan sehari-hari. Sebab tidak ada beras yang ditanam di kota dan tidak ada sayur mayur yang dihasilkan di gedung-gedung beton. Untuk itu jalan satu-satunya ialah membeli, itu semua butuh uang dan terdapat ancaman inflasi.
Sudah saatnya kondisi ini dipikirkan ulang, bagaimana membuat desain kota yang mampu mengurangi dependensi terhadap impor kebutuhan pokok dari daerah penyangga. Kerja sama antarmasyarakat juga jadi perhatian. Sebab kelompok masyarakat yang kohesif biasanya punya daya tahan lebih dalam menghadapi berbagai krisis. Ketimbang memikirkan menjadi kaya secara individu, mengapa tidak mengupayakan kesejahteraan secara kolektif? Dengan cara itu ketakutan soal kemerosotan kelayakan hidup paling tidak dapat teratasi.