Ketika Literasi Politik Hanya Bergema di Menara Gading

Tahun politik telah kita lalui dengan segala hiruk-pikuknya. Namun setelah para pemimpin dan wakil rakyat duduk di singgasananya, apakah masyarakat benar-benar memahami proses politik yang mereka ikuti?

Jika literasi politik hanya diposisikan sebagai milik mahasiswa, maka kita sedang membatasi pemahaman publik hanya pada ruang-ruang akademik yang sempit. Membatasi literasi politik hanya pada kalangan intelektual sama halnya dengan membangun jembatan yang hanya bisa dilalui oleh segelintir orang—hanya menghubungkan ruang-ruang elite.

Sementara itu, di level bawah masyarakat luas terus berputar-putar di genangan kebingungan dan misinformasi karena sedikit yang bisa menginjakkan kaki ke sana. Mereka melihat jembatan itu ada, tapi tak tahu bagaimana menaikinya, tak diundang untuk menyeberang, bahkan tak diberi peta untuk memahami ke mana arah politik membawa mereka.

Dari Buku Pelajaran ke Grup WhatsApp: Di Mana Literasi Politik?

Dalam kondisi seperti ini, yang tumbuh bukanlah partisipasi, tapi apatisme. Rakyat yang tidak merasa punya pijakan dalam politik akhirnya berhenti peduli, atau lebih parah lagi, mudah dibelokkan oleh narasi palsu yang tampil lebih sederhana dan emosional. Bukankah kita bisa melihat betapa cepatnya hoaks menyebar ke grup keluarga, lebih cepat dari berita resmi? Bukankah kita sering melihat warga lebih percaya akun anonim TikTok daripada siaran debat publik?

Seperti pinang dibelah dua, kondisi literasi politik di sekolah tidak jauh berbeda —hanya dibahas dalam bentuk trias politica dan hafalan nama-nama partai masa lalu. Indikatornya pun hanya telah diatur sebatas agar lulus ujian tengah semester atau naik jenjang kelas berikutnya. Politik telah meleburkan dirinya dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan sejarah Indonesia, sebegitu dangkalnya sudah.

Berbeda jauh dengan rivalnya, hoaks, yang tidak mengenal batas status pendidikan atau usia—ia menyebar cepat, menembus ruang-ruang privat, dan menyasar semua kalangan tanpa pandang bulu. Ketika debat gagasan antar pasangan calon masih berupa flyer menuju hari H, hoaks sudah lebih dulu singgah di ruang makan, grup WhatsApp keluarga, bahkan di sela-sela obrolan ringan warung kopi. 

Tidak banyak ruang untuk mengajarkan bagaimana membaca isu hari ini, bagaimana memahami peran sebagai warga, atau bahkan bagaimana memilah informasi sebelum membagikannya. Tak heran jika kemudian grup keluarga menjadi tempat subur bagi narasi tak berdasar yang viral tanpa diverifikasi. Singkatnya, di tengah kecepatan informasi digital, literasi politik kalah langkah. 

Dominasi Akun Anonim

Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi di Twitter dan TikTok. Media sosial yang awalnya dirancang untuk membagikan keseharian, kini menjadi panggung baru bagi konten politik. Tapi yang memprihatinkan, banyak narasi politik yang viral justru berasal dari akun anonim. Akun-akun ini lincah, menghibur, dan mudah diterima. Namun, di balik kecepatan mereka menyebar, kita tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas informasi yang disebarkan. Dari sinilah jebakan dimulai. Kita seolah tercerahkan, padahal bisa saja sedang digiring ke arah yang salah.

Apakah kita ingat ketika isu “kecurangan” Pemilu 2024 langsung meledak sebelum data selesai dihitung? Atau film Dirty Vote? Atau saat Pilkada lalu, ketika sebuah narasi tentang kandidat menyebar begitu cepat dan memengaruhi opini tanpa sempat dikroscek? Fenomena ini bukan hal baru. Kita hanya mengulang pola zaman Orde Baru dalam versi digital: informasi satu arah, tapi kali ini dikendalikan oleh algoritma, bukan negara.

Masa Lalu yang Datang Lagi

Kita bisa belajar dari tahun 1955. Saat itu, pemilu pertama Indonesia dilakukan dengan antusiasme tinggi, namun juga penuh benturan narasi antarpartai. Namun bedanya, warga kala itu lebih aktif mengikuti diskusi langsung, membaca selebaran partai, dan mengenal kandidat dari pengajian hingga forum kampung. Ada kedekatan antara politik dan rakyat. Bandingkan dengan sekarang: debat calon kita tonton sambil menyetrika, dan selebaran hanya kita lihat lewat iklan yang bisa dilewati.

Sejarah seharusnya membuat kita maju, bukan terjebak pada kebodohan yang berulang —meminjam bahasa senior saya di sebuah organisasi paguyuban kabupaten. Namun jika kita hanya tahu nama partai dan logonya, tanpa tahu ideologi dan rekam jejaknya, kita sedang membuka peluang untuk dimanipulasi lagi dan lagi.

Kemandirian Berpikir Itu Seperti Apa?

John Dewey dan Edward Glaser (1933) mendefinisikan berpikir kritis sebagai kemampuan untuk mempertimbangkan secara aktif dan rasional informasi serta argumen yang diterima, lalu menggunakannya untuk memecahkan masalah. Jika pemahaman politik hanya digalakkan saat pemilu, kita sedang melawan definisi ini, karena warga tidak diberi ruang untuk terus menimbang secara jernih sepanjang waktu.

Artinya, kemandirian berpikir bukan berarti harus bisa berdebat soal teori politik. Ini tentang bagaimana kita bersikap terhadap informasi yang masuk. Ketika seseorang tahu haknya, ia tak mudah dikendalikan. Ketika kita tahu bagaimana sistem bekerja, kita tidak akan terjebak dalam narasi sempit. Literasi politik yang ideal adalah yang membuat kita mampu bertanya, bukan hanya menerima. Ia membuat kita penasaran, bukan pasrah. Ia membuat kita menyaring, bukan sekadar menyebarkan.

Dan semua ini hanya bisa tercapai jika literasi politik benar-benar dikembalikan kepada publik. Bukan dalam bentuk diktat, tapi dalam bentuk cerita, dialog, dan contoh nyata. Bukan hanya di kelas, tapi juga di TikTok, YouTube, podcast, dan warung kopi. Karena selama ini, kita bukan tidak peduli politik. Kita hanya belum benar-benar diajak bicara dengan cara yang masuk akal dan menyentuh kehidupan sehari-hari.

Seseorang yang Tahu Haknya Tak Mudah Dikendalikan

Bernard Crick (2000) menegaskan bahwa literasi politik bukan sekadar urusan tahu siapa yang menang pemilu. Ia bicara soal kemampuan manusia memahami, merespons, dan ikut serta membentuk keputusan politik yang berdampak pada hidupnya. Ini soal hakikat menjadi warga negara, bukan sekadar penonton pesta demokrasi.

Berangkat dari situ, sekaranglah saatnya kita berhenti menempatkan politik sebagai bahan yang terlalu serius untuk dibicarakan di luar kelas. Justru politik perlu dibicarakan dalam bahasa sehari-hari, agar semua orang merasa memiliki dan terlibat. Karena ketika literasi politik hidup di semua ruang, maka kita bukan hanya menjadi pemilih, tapi juga penjaga arah bangsa. Dan itulah bentuk kemandirian berpikir yang sesungguhnya: ketika kita tidak menunggu diberitahu, tapi aktif mencari tahu.


___________________________

Referensi:

Crick, B. (2000). Citizens: Towards a civic republican politics. Menggagas literasi politik sebagai kombinasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi.

Dewey, J., & Glaser, E. (1933). Dalam How We Think. Mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses aktif dan rasional untuk mengevaluasi informasi dan menyelesaikan masalah secara logis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *