PASURUAN – Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus menjadi masalah krusial di Kabupaten Pasuruan. Dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2025 saja, tercatat sebanyak 31 kasus kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak. Angka ini semakin mengkhawatirkan seiring bertambahnya laporan kasus baru sejak pertengahan April hingga Mei. Realitas ini menandakan adanya kondisi darurat yang perlu ditanggapi secara serius dan sistematis oleh seluruh elemen masyarakat.
Merespons kondisi tersebut, Komunitas GUSDURian Pasuruan menggelar Forum 17-an dengan agenda Focus Group Discussion (FGD) Meneropong Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Pasuruan dengan tema “Membangun Sinergi, Memutus Kekerasan”. Acara ini berlangsung di Universitas Yudharta Pasuruan pada Kamis, 15 Maret 2025.
Acara dihadiri oleh berbagai pihak yang memiliki perhatian terhadap isu perempuan dan anak. Di antaranya perwakilan dari Pemerintah Daerah, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Dinas Sosial, Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Pasuruan, Komisi IV DPRD, Lembaga Perlindungan Anak, Komnas Perlindungan Anak, Fatayat NU, serta organisasi mahasiswa. Keterlibatan lintas sektor ini menjadi simbol komitmen bersama dalam membangun sinergi untuk menanggulangi kekerasan terhadap kelompok rentan.
Menurut Koordinator GUSDURian Pasuruan Nur Rizky Amania, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es—di mana sebagian besar kasus tidak pernah terungkap ke permukaan. Banyak korban memilih diam karena rasa takut, stigma sosial, tekanan budaya, ketidakpercayaan terhadap sistem hukum, dan kurangnya dukungan yang memadai dari lingkungan sekitar.
“Melalui FGD yang dihadiri banyak elemen ini, kami berharap munculnya sinergitas memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Pasuruan. Serta memperkuat sistem perlindungan yang adil, ramah korban, dan berpihak kepada para penyintas,” ujar perempuan yang akrab disapa Cici tersebut.

Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam forum ini disampaikan oleh Mohammad Agus Masjhady, Kepala Dinas DP3AP2KB. Menurutnya, praktik pernikahan usia anak masih marak terjadi di tengah masyarakat. Kebiasaan ini sering kali didasari oleh pandangan yang menilai bahwa menikahkan anak adalah cara untuk menghindarkan mereka dari zina.
“Namun, praktik ini justru membuka ruang bagi berbagai bentuk kekerasan lainnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, stunting, kematian ibu, pelanggaran hak-hak perempuan, penelantaran anak, hingga potensi perdagangan manusia (human trafficking),” paparnya.
Forum FGD ini kemudian menghasilkan tujuh rekomendasi utama sebagai langkah konkret untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Pasuruan. Melalui forum ini, Komunitas GUSDURian dan para pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya bertekad menjadikan hasil FGD ini sebagai peta jalan menuju Kabupaten Pasuruan yang lebih ramah perempuan dan anak.