Sejak terpilihnya Dedi Mulyadi yang kerap dipanggil KDM (Kang Dedi Mulyadi) sebagai Gubernur Jawa Barat, dia semakin terkenal karena dianggap menampilkan gaya kepemimpinan yang merakyat, yaitu gaya blusukan dengan cara terus berkeliling mengunjungi warga.
Apalagi berkat konten-konten yang berisi kegiatan KDM selama seharian penuh membuat dirinya semakin populer. Bahkan “Bocor Alus” Tempo secara khusus mengulas mengenai KDM ini, karena mengingatkan kita akan sosok yang juga pernah menjadi idola warga Jakarta berkat aksi blusukannya.
Kebijakan-kebijakannya juga cukup kontroversial mulai dari larangan acara wisuda untuk sekolah, tidak boleh membawa kendaraan motor bagi siswa ke sekolah, larangan jam malam bagi anak sekolah, pengiriman siswa yang dianggap nakal ke barak militer, nyebur ke sungai yang penuh sampah (saya kutip ini sesuai judul di media-media online), bahkan sampai memberi uang tunai dan bayarin hutang warga yang terjerat bank emok.
Apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Jokowi, sejak pertama kemunculan Jokowi ke Jakarta begitu mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari warga Jakarta. Bahkan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan masa jabatan gubernurnya, Jokowi langsung terpilih sebagai presiden hingga dua periode (bahkan konon pengennya nambah jadi tiga periode).
Kenapa saat itu Jokowi begitu disukai rakyat? Karena ia dianggap memberikan gaya kepemimpinan yang mampu ‘merakyat’ lewat aksi blusukannya itu. Sebelumnya, selama kepemimpinan SBY terbiasa menampilkan gaya kepemimpinan yang elitis, formil, dan jaim. Sehingga kemunculan Jokowi seolah menjadi antitesis dan angin segar karena tampil sebagai persona yang “sederhana” bahkan sampai mau masuk ke gorong-gorong.
Fenomena Dedi Mulyadi dan Jokowi di Indonesia ini dapat disebut sebagai bentuk populisme. Meski para ahli memiliki definisi yang berbeda-beda tentang populisme, namun secara tidak langsung mereka sepakat bahwa populisme tidak terlepas dari tiga konsep kunci yaitu rakyat, elite, dan kehendak umum (Heywood 2021:172; Mudde and Kaltwasser 2017:9).
Para populis sering menggunakan kata kepentingan rakyat dan mengatasnamakan rakyat dalam setiap agenda dana retorika politiknya. Mereka menempatkan diri seolah-olah berada di sisi rakyat kecil, itu sebabnya ‘elite’ menjadi kata kunci lain yang sering digunakan dalam konteks populisme. Istilah rakyat dan elite sering digunakan oleh tokoh populis dalam posisi vis a vis, seperti Recep Tayyip Erdogan yang memosisikan dirinya sebagai rakyat padahal ia adalah bagian dari elite yang sudah berkuasa sejak 2003 di Turki.
Erdogan menyerang lawan politiknya yang digambarkan sebagai elite yang berusaha mengganggu pemerintahannya, yang menurutnya adalah “pemerintahan rakyat”. Padahal pada masa kepemimpinannya, sejak 2016 sebanyak 160 ribu orang hakim, guru, polisi, dan pegawai negeri sipil diberhentikan dari pekerjaannya karena alasan politik dan sebanyak 77 ribu di antaranya ditangkap. Hingga 2019, sedikitnya 120 jurnalis di penjara, surat kabar, serikat buruh, bahkan partai politik juga dilarang beroperasi.
Tidak jauh berbeda ketika Jokowi masih memimpin, meski tidak dengan gaya militeristik tapi berkat gaya populisnya itu mampu menjadikannya presiden selama dua periode bahkan mengantarkan anaknya menjadi wakil presiden, yang mana dianggap oleh sebagian pengamat politik merupakan bentuk periode ketiga Jokowi setelah wacana tiga periodenya gagal.
Selama masa kepemimpinan Jokowi telah banyak terjadi penyelewengan kekuasaan yang dibungkus secara konstitusional atau “terlihat legal”. Mulai dari revisi UU KPK sebagai upaya pelemahan terhadap lembaga anti rasuah tersebut, pembubaran HTI dan FPI dengan memainkan retorika Pancasila versus khilafah.
Pembentukan UU Cipta Kerja, skandal MK yang meloloskan Gibran, bahkan upaya revisi UU pilkada agar sang bungsu bisa lolos nyagub meski berujung batal, mengkooptasi semua lawan politiknya ke dalam kabinet, program PSN yang merugikan rakyat kecil seperti skandal pagar laut yang belakangan malah hilang entah ke mana, dan puncaknya adalah IKN sebagai bukti ambisiusnya Jokowi.
Sampai saat ini Jokowi masih mempertahankan persona “sederhana, baik, sabar, dicintai rakyat” sehingga masih saja mendapatkan sorotan tak henti-henti meski sudah lengser. Maka dari itu tak heran kemarin-kemarin ramai isu matahari kembar. Dari aksi blusukan menuju diplomasi meja makan, belakangan setelah tak lagi menjabat presiden Jokowi memang kerap menerima para tamunya di meja makan yang legendaris itu ketika beberapa kali Prabowo “sowan” ke Solo dalam rangka silaturahmi, katanya.
Mengapa gaya populis ini disukai masyarakat? Karena ketidakpuasan dengan cara demokrasi berfungsi di dalam negeri. Mereka tidak percaya terhadap institusi tradisional yang dipilih secara demokratis. Dan kaum populis mengeksploitasi kerentanan ini dengan cara membentuk pola kebijakan yang berfokus pada kepuasan jangka pendek.
Mengutip pernyataan sikap Tempo di “Bocor Alus” melalui Stefanus Pramono yang tayang di Youtube Tempodotco pada tanggal 17 Mei 2025, bahwa “Dedi Mulyadi adalah pemimpin populis yang sadar betul dengan penggunaan medsos, dan dengan medsos itu pula dia sangat populer dan populis. Dan kita harus lihat bahwa pemimpin yang populis itu biasa menggunakan keputusan yang cepat dan dia tidak melihat akar masalahnya apa…”.
Penyelesaian-penyelesaian masalah dengan gaya populis itu tidak menyentuh akar masalah, solusinya bersifat temporer yang cenderung bersifat pragmatis. Bahaya dari kepemimpinan populis yaitu penyelesaian masalah tidak dalam jangka panjang, dan kita perlu belajar dari pengalaman sebelumnya, bahkan hingga sepuluh tahun dan rasanya itu sudah cukup.