“Dalam semua acara penting, salah satu hal yang pasti jadi perhatian adalah makanan, termasuk gaya makan.”
Pada 27 Januari 2025 lalu, saya menghadiri undangan open house pentahbisan Uskup Keuskupan Surabaya. Setelah kurang lebih 15 bulan posisi tersebut kosong, akhirnya Paus Fransiskus menetapkan Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo atau Mo Dik sebagai uskup terbaru. Meskipun bukan Katolik, saya turut berbangga dan berbahagia. Beliau adalah salah satu romo yang punya track record dalam kerja-kerja sosial-kemanusiaan bersama lintas iman dan kaum marginal.
Aula Widya Mandala Hall, tempat open house, terlihat ramai. Saya dan rombongan sampai di sana tepat pukul 20.00 WIB dan langsung diantarkan ke meja nomor 21. Terlihat round table lain juga sudah dipenuhi oleh para tokoh pemuka agama lintas iman dan kepercayaan. Tepat selepas duduk, pelayan siaga meletakkan serbet di pangkuan saya. Acara ini menghidangkan makanan ala Table D’hote, di mana para tamu disuguhkan empat macam menu yang dihidangkan bergiliran dengan jeda waktu tertentu.
Spontan, saya pun ambil ancang-ancang, siap bergaya menyesuaikan style penyajian makanan. Pelayan mendekatkan piring dalam jangkauan. Saya pun berhitung dengan semua peralatan makan. Tidak rumit. Karena hanya ada satu sendok dan satu garpu berukuran sedang dan satu sendok kecil. Tidak ada pisau. Saya pun langsung beralih melihat menu.
Menu pertama appetizer berupa tiramisu & croissant keju daging asap dan minuman lemongrass. Pelayan juga sigap menuangkan air putih dari botol ke gelas. Tak lama, pelayan datang dan menyuguhkan menu kedua, steak ikan salmon. Saya pun heran, si pelayan segera menjelaskan ada pergeseran menu, sup merah yang mestinya disuguhkan nomor dua digeser. Masih dihangatkan lagi katanya.
Saya pun menikmati steak salmon yang berisi salmon moza, mashed potato, dan salad. Saat itu saya merasa membutuhkan pisau. Daging salmon yang padat itu rada susah dinikmati menggunakan sendok dan garpu saja. Selesai makan, pelayan sigap membereskan piring kotor. Selang beberapa menit, sup merah hangat datang. Rasanya perpaduan asam, manis, dan segar. Tak lama setelahnya, pelayan sudah siap menyajikan menu ketiga, nasi uduk.
Saat nasi uduk berisi daging lapis, sate kelapa ayam, balado kentang, dan perkedel kornet tersaji manis, di situlah saya dilema. Rasanya perut ini sudah terisi 70%. Sebagai orang yang concern dengan isu lingkungan, saya paham betul ke mana makanan-makanan ini akan berakhir bila tidak dihabiskan. Awalnya saya berniat untuk tidak menyentuhnya, dengan harapan makanan ini setelahnya masih layak makan dan bisa didistribusikan lagi. Kak Tyas yang duduk di sebelah saya bilang, “Makan aja, SOP-nya kalau sudah dihidangkan baik dimakan atau nggak, tetep bakal dibuang”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut akhirnya nasi uduk itu pun saya makan, dengan susah payah. Semua lauk bisa saya habiskan tapi tidak dengan nasinya. Karena sudah merasa begah (kekenyangan), saya pun menyerah dan pasrah ketika pelayan membereskan makanan yang tidak saya habiskan itu. Duh, bikin dosa lingkungan nih, batinku, tapi bagaimana lagi. Acara makan-makan ini pun ditutup dengan dessert berupa es buah kowloon creamy ice. Perut saya full.
Makan Ala Orang Beriman
Sebagai Muslim, saya familiar tata cara makan yang Nabi ajarkan melalui hadis. Dalam kitab Al-Adzkar, Imam Nawawi banyak mencantumkan doa-doa dan aturan makan. Mulai dari anjuran menjilati jari-jemari setelah makan, harus duduk saat makan, hingga urusan minumnya yang juga harus duduk, kemudian minum dengan tiga kali tegukan disertai basmalah dan hamdalah dalam setiap nafas. Di atas semua itu ada juga aturan lainnya, seperti mencuci tangan sebelum makan, menyuap kecil dan mengunyah banyak, tidak boleh kekenyangan dan minum dalam posisi duduk, larangan mencaci makanan dan kesunahan memujinya, tidak boleh menyisakan makanan, dan lain-lain.
Sayangnya, seperti yang M. Faizi tulis dalam bukunya Merusak Bumi dari Meja Makan, kita sering melupakan anjuran-anjuran tersebut, sampai ilmuan-ilmuan seperti Masaru Emoto mengatakan bahwa air merespons terhadap bacaan baik, dan Hiromi Shinya menyatakan enzim bisa melimpah di dalam mulut yang lama mengunyah, barulah kita manggut-manggut.
Nyambung ke gaya penyajian makanan tadi, style tertentu bisa jadi masalah besar bagi orang seperti saya, yang kapasitas perutnya sedikit. Misi untuk tidak turut andil menghasilkan sampah makanan dan berperilaku seperti orang beriman saat makan menjadi perjuangan serius. Style Table D’hote seperti di atas misalnya, jumlah dan porsi per menunya tidak sesuai dengan kapasitas perut sehingga sangat berpotensi tidak dihabiskan.
Kalau diurutkan, gaya mana yang paling bisa meminimalisir sampah makanan? Buffet atau prasmanan mestinya di posisi teratas, di mana kita bebas memilih dan mengambil makanan yang tersedia di meja prasmanan. Kita pun sah-sah saja misal mau memulai dengan makanan penutup terlebih dahulu, buah misal, lalu baru makan hidangan utama dan appetizer. Bebas. Sebebas sebanyak atau sesedikit apa yang akan kita makan.
Tapi meskipun begitu, bukan berarti gaya makan ini benar-benar TOP. Pasalnya tak jarang orang-orang justru kalap dan mengambil di luar kewajaran. Walhasil tetap banyak sisa makanan yang dibuang. Minusnya lagi, style buffet ini umumnya tidak menyediakan tempat duduk yang cukup, sehingga para tamu akan menikmati hidangan sambil berdiri. Anjuran duduk saat makan tentu juga tidak bisa dipraktikkan.
Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasiona (SIPSN), sampah terbanyak di Indonesia adalah sampah sisa makanan (food waste) sebanyak 39.35%, baru disusul sampah plastik 19.64%, dan kayu/ranting 12.63%. Tak kalah mengejutkan, menurut laporan United Nations bertajuk Think Eat Save yang merupakan bagian dari Food Waste Index Report 2024, Indonesia menjadi negara dengan food waste terbesar di kawasan Asia Tenggara. Jumlahnya mencapai 14,73 juta ton per tahun. Food waste, terutama yang disebabkan oleh penyajian yang berlebih dan budaya menyisakan makanan atau leftover, harus segera dihilangkan.
Sebagai orang beriman (atau mengaku beriman), urusan ini selayaknya menjadi perhatian. Mulai dari permasalahan makanan itu sendiri, yang apabila tidak dihabiskan mencederai perilaku kita sebagai seorang hamba, hingga dampaknya terhadap lingkungan dan sosial. Membuang sisa makanan sama artinya dengan membuang sumber daya yang digunakan selama proses produksi makanan tersebut. Bayangkan, berapa banyak air yang digunakan petani di sawah, bahan bakar yang digunakan untuk mengangkut saat panen hingga siap dijual, dilanjutkan dengan kebutuhan air, gas, dan lain-lain saat dimasak hingga siap dihidangkan di atas meja.
Kalau urusan ini dikaitkan dengan krisis pangan, krisis air bersih, dan kekeringan yang dialami oleh saudara kita di belahan bumi lain, perilaku leftover tentu tidak manusiawi dan tidak beriman. Mari kita pikir-pikir lagi, apakah gaya makan kita sudah seperti orang beriman?