Diskusikan Isu Difabel dan Orang Muda, Gus Dur Corner UIN KHAS Jember Kolaborasi Gelar Diskusi dan Nobar Film

JEMBER – Gus Dur Corner UIN KHAS Jember dan Komunitas GUSDURian Jember berkolaborasi dengan banyak komunitas menyelenggarakan nobar dan diskusi film The Journey: Angklung Goes to Europe di Aula Perpustakaan UIN KHAS Jember (28/05/2025).

Selain berkolaborasi dengan pesantren dan madrasah, kegiatan ini juga diselenggarakan berkat kolaborasi bersama dengan komunitas lintas iman KPR GKI Jember, komunitas Perpenca Jember yang fokus memperjuangkan isu disabilitas, dan komunitas pegiat lingkungan seperti Green Ambassador Jember dan FNKSDA Jember, serta komunitas guru PW PGM Jawa Timur.

Selain itu, kegiatan belajar bulanan ini juga terselenggara berkat kolaborasi bersama organisasi mahasiswa seperti PMII Komisariat UIN KHAS Jember, PC IPNU IPPNU Jember, DPK GMNI UIN KHAS Jember, Dema Ma’had Aly Nurul Qarnain, PK IPNU IPPNU Polije, MKAI Jember, PC IPNU IPPNU Kencong, PK IPNU IPPNU UIN KHAS Jember, Dema UIN KHAS Jember, PK IPNU IPPNU Unej, Kopri UIN KHAS Jember, HMPS PAI UIN KHAS Jember, HMPS PGSD Mercusuar Unej, serta mahasiswa STFT Jakarta yang sedang menjalani program social immersion.

Kegiatan belajar lintas komunitas ini juga terselenggara dengan kolaborasi bersama antara organisasi perempuan PAC Fatayat Ambulu, Tanoker Ledokombo, PSGA UIN KHAS Jember, komunitas belajar Rumah Baca Kiai Jabbar, dan PKBM Rumah Pintar, lembaga pendidikan seperti Pondok Pesantren Nuris, Pondok Pesantren At Tanwir, MAS Masyithah, dan Perpustakaan UIN KHAS Jember. Tak ketinggalan, SMAN 7 Jayapura Papua juga menjadi penyelenggara kegiatan ini dan bergabung melalui Zoom.

Frangky Sabon Lama Lewa, siswa SMAN 7 Jayapura, memaparkan pesan penting yang dia tangkap dari film The Journey: Angklung Goes to Europe adalah pantang menyerah untuk mewujudkan mimpi. Meskipun menurutnya banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi oleh setiap individu, film tersebut mengajarkannya untuk tidak menyerah hingga mimpinya terwujud.

“Jangan pernah menyerah dalam bermimpi. Kita kalau punya mimpi, pasti kita akan berjuang. Tapi ada saja, ada tantangan, ada hal-hal kesulitan yang datang kepada kita. Maka dari film tadi mengajak agar kita tidak menyerah, karena yang namanya mimpi bisa saja jadi kenyataan,” tuturnya.

Sementara, M. Zainuri, Ketua Perpenca Jember, menyatakan bahwa film The Journey: Angklung Goes to Europe mengajarkan setiap penontonnya untuk tidak takut bermimpi. Menurutnya, setelah bermimpi, individu akan termotivasi mewujudkan mimpinya. Selain itu, Zainuri juga menyoroti niat baik 35 orang muda dari Indonesia menjalankan misi mempromosikan angklung pada masyarakat Eropa. Menurutnya, meski budaya Indonesia dipandang remeh oleh sebagian rakyatnya, namun ternyata mengundang animo positif masyarakat luar negeri.

“Jika di kampung halaman, tampak biasa, tapi saat ditampilkan di panggung negara lain, disambut luar biasa,” tuturnya. Selain itu, menurutnya, film ini juga mengajarkan pesan moral agar kita senantiasa menjaga kekompakan, kolaborasi, dan terus berjuang dengan persisten agar dapat menaklukkan tantangan. “Pesan moral kedua, dengan kekompakan dan kolaborasi, tidak ada yang tidak mungkin. Semua perlu proses dan perjuangan,” tambahnya.

Zainuri juga mengungkapkan terima kasih karena telah melibatkan penyandang disabilitas dalam aktivitas belajar bulanan tersebut. Ia juga berharap, melalui pelibatan difabel dalam aktivitas belajar kolaboratif ini, maka para peserta diharapkan dapat lebih mengenal karakter dan kebutuhan difabel, sehingga dapat menstimulasi agar Jember menjadi kabupaten yang lebih inklusif. “Terima kasih sudah mengundang rekan difabel menonton bersama. Kita dorong Jember inklusi, perlu mengenal karakter disabilitas, kebutuhannya,” tutupnya.

Alwi, Ketua DPK GMNI UIN KHAS Jember juga mengajak pada para peserta untuk merefleksikan bahwa difabel merupakan individu yang memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan individu lain.

“Teman-teman difabel ada yang mengatakan berbeda dengan lainnya, mari kita merefleksikan bahwa kita sama-sama manusia, hak dan kewajiban yang dimiliki juga sama,” harapnya. Ia juga mengajak setiap peserta untuk tidak mendiskriminasikan individu berdasarkan perbedaan kondisi fisik. “Mari kita tidak mendiskriminasi berdasarkan kondisi fisik individu,” ajaknya.

Selain itu, Assay Yohame, siswa SMAN 7 Jayapura, juga terkesan dengan film yang baru saja ditontonnya. Selain sangat menarik dan bagus, film tersebut menurutnya menginspirasi karena menyuguhkan praktik kolaborasi orang muda dari berbagai negara. Ia juga menggarisbawahi, bahwa meskipun mereka dari latar belakang suku dan ras yang berbeda-beda, mereka juga dapat menghasilkan kolaborasi yang indah melalui penampilan musik tradisional. Ia juga menyimpulkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang setiap anak manusia untuk berkolaborasi menciptakan harmoni, karena dengan berkolaborasi, para orang muda dalam film tersebut dapat berbaur dan menghilangkan sekat yang sebelumnya terbentuk secara alami.

“Meskipun berbeda tapi kita bisa terus berkolaborasi. Perbedaan itu bukan halangan. Ada tim angklung dan negara lain memiliki instrumen yang berbeda, ternyata setelah kolaborasi, ada harmoni. Awalnya ada sekat, setelah berbaur, akan cair,” kesannya.

Selain menikmati film utama, para peserta juga menonton film Cripping Climate Adaptation: Disability Justice and Climate Change yang fokus menginformasikan peminggiran difabel dalam isu perubahan iklim dan agensi komunitas difabel merespons berbagai isu lingkungan dengan cara-cara kreatif.

Menanggapi film ini, Zainuri kembali berbagi pandangan, bahwa difabel dipersepsikan tidak berdaya karena banyak ruang publik yang tidak menyediakan akses yang layak bagi penyandang disabilitas. Menurutnya, jika akses, sarana, dan prasarana telah ramah difabel, menurutnya mereka akan menjadi individu yang berdaya, sebagaimana manusia lain. “Disabilitas karena kesulitan akses. Saat akses bisa didapatkan, maka difabel tidak lagi terkendala,” tambahnya.

Ia juga berharap, agar setiap pemangku kepentingan melibatkan kelompok marginal seperti difabel, agar kebijakan yang dibuat dapat ramah terhadap kebutuhan mereka. “Saat merumuskan kebijakan, maka teman-teman marginal dan difabel harus dilibatkan untuk merumuskan kebijakan yang ramah difabel dan marginal,” harapnya.

Di akhir paparan diskusinya, ia juga berharap agar publik memberikan ruang partisipasi agar kelompok minoritas rentan ini tidak lagi mengalami perbedaan akses. “Semoga partisipasi difabel terus ditingkatkan agar tidak ada lagi perbedaan akses bagi difabel,” pungkasnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jember, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *