Perempuan dalam Mitologi Pangan: Penghormatan dalam Pengorbanan Berdarah

Sebagai bangsa yang kental akan tradisi dan mitologi dan bahkan kaya akan cerita rakyat dan kepercayaan tradisional, Nusantara sangat menarik untuk dikaji. Terlebih, jika berbicara mengenai kepercayaan lokal yang berhubungan dengan makanan dan pangan. Tak elaknya hampir di seluruh penjuru Nusantara yang membahas mitologi pangan tak lepas dari peran penting sosok perempuan di dalamnya. Baik yang berwujud sebagai penyembahan, penghormatan bahkan pada pengorbanan dan dikorbankan.

Dalam mitologi Jawa, Bali, dan Sunda misalnya, kita mengenal Dewi Sri sebagai sosok penting dalam mitologi pangan yang dihormati sebagai Dewi Padi dan Dewi Kesuburan. Sosoknya menjadi bagian penting dalam kepercayaan akan perlindungan petani dan hasil panen. Masyarakat memberikan penghormatan padanya dengan ritual seperti sedekah bumi, rumatan padi, dan pesta panen.

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat kita bertemu dengan legenda Putri Mandalika dari Kerajaan Tojang Beru. Putri Mandalika dikenal di seluruh penjuru negeri sebagai putri tercantik tidak hanya parasnya tapi kelembutan tutur kata dan kesopanannya. Namun, kecantikan putri Mandalika menjadi rebutan oleh pangeran-pangeran yang ingin melamarnya. Untuk mencegah konflik Mandalika mengundang seluruh pangeran untuk berkumpul di Pantai Seger (Pantai Kuta, Lombok) pada tanggal 20 bulan 10 pada penanggalan Sasak.

Setelahnya Putri Mandalika berdiri di atas bukit seger dan mengumumkan untuk menerima semua pinangan pangeran, lalu ia menjatuhkan diri ke laut dan hanyut ditelan ombak. Hal ini dilakukan oleh Mandalika agar tidak terjadi perpecahan dan konflik antara pangeran. Setelahnya, muncul binatang yang menyerupai cacing dalam jumlah banyak, yang oleh masyarakat disebut nyale. Untuk mengenang sang putri dibuatlah Upacara Nyale atau Bau Nyale.

Putri Mandalika menghadiahi masyarakatnya dengan tubuhnya sebagai pengorbanan untuk mencegah konflik dan jatuhnya darah masyarakat yang tidak berdosa. Ini juga merupakan simbol perlawanan Putri Mandalika yang menolak tubuhnya dinilai sebagai objek rebutan oleh para pangeran. Simbol bahwa tubuh perempuan merupakan perlawanan atas objektifikasi. Putri Mandalika dihormati dan dipuja bukan karena kecantikannya semata, tetapi karena pengorbanan dengan nyawanya untuk ketentraman dan kemakmuran hidup masyarakatnya.

Bergeser ke Indonesia Timur, kita menjumpai suku Lamaholot di Flores yang meyakini mitologi “Jedo Pare Tonu Wujo”, mitologi pangan dan pengorbanan Tonu Wujo si anak bungsu perempuan dari 8 bersaudara yang 7 di antaranya merupakan laki-laki. Dikisahkan pada suatu masa suku Lamaholot mengalami bencana kelaparan, termasuk keluarga Tonu Wujo. Di saat itu Tonu Wujo mengorbankan dirinya dan berpesan kepada saudara-saudaranya “Penggallah kepalaku, dan jika aku sudah tidak bernyawa, biarkan darahku membasahi batu tempatku duduk sekarang. Biarkan ia mengalir ke seluruh pojok kebun ini. Setelah itu kamu semua boleh pulang, dan enam hari lagi kembalilah ke sini”.

Singkat cerita, setelah pengorbanan Tonu Wujo tumbuh suburlah berbagai hasil pangan; taha (padi), besi (labu), weteng (jewawut), wata (jagung), sorgum, dan pangan lainnya. Hingga saat ini suku Lamaholot menancapkan batu ceper dan tiang pancang di setiap kebun dan sawah yang disebut sebagai Jedo Pare Tonu Wujo sebagai wujud penghormatan dan pengakuan terhadap pengorbanan perempuan.

Di Sulawesi Selatan kita juga akan berjumpa dengan kisah Sangiang Serri (Dewi Padi) yang termuat dalam naskah sureq Galigo episode Meong mpalo karallae. Dikisahkan bahwa Sangiang Serri merupakan penjelmaan dari arwah bayi perempuan yang Bernama We Oddanriwu, yaitu anak dari Batara Guru dan istrinya We Saunriwu yang lahir ke dunia lalu meninggal tujuh malam setelah kelahirannya. Bayi perempuan tersebut kemudian dimakamkan di hutan belantara yang belum terjamah. Tiga hari setelah pemakamannya, hutan dan lembah tersebut berubah menjadi hamparan padi yang telah menguning, ada yang berwarna putih, hitam, biru, juga merah.

Melihat hamparan padi berwarna warni tersebut Batara Guru kemudian meraih pelangi lalu naik ke petala langit dan tibalah ia di negeri Ruwa. Ia menemui Dewa PatotoE sang penguasa dunia atas (BottingLangi). Lalu Dewa PatotoE menyatakan pada Batara Guru, “Itulah anakmu, dinamai Sangiang Serri, anakmu yang menjadi padi”. Sosok Sangiang Serri dipuja oleh masyarakat Bugis dan disebut sebagai Datunna Ase (Ratu Padi). Dalam konteks ini kita dapat menginterpretasikan bahwa sosok Sangiang Serri merupakan personifikasi jiwa alam yang memberi kehidupan bagi masyarakat Bugis.

Relasi Antara Perempuan dan Alam dalam Mitologi Pangan Masyarakat Adat

Relasi antara perempuan dan alam sangat erat dalam mitologi-mitologi yang diyakini oleh masyarakat adat. Seperti tampak pada suku Lamaholot yang melibatkan perempuan dari awal proses membuka lahan, penggarapan dan penanaman, hingga pada proses panen. Bahkan dalam ritualnya perempuan yang berhak untuk mengambil benih yang lalu diberikan ke laki-laki untuk disemai. Selanjutnya pada saat panen, yang pertama menikmati hasil panen adalah perempuan. Ini merupakan bagian dari kisah di mana perempuan dihormati atas pengorbanannya dalam memberikan kehidupan dan kesuburan di tempat tubuhnya disemai dan terurai.

Perempuan adalah tubuh yang tidak dilihat sebagai objek dalam tradisi Nyale atas perlawanan Putri Mandalika yang menolak terobjektifikasi atas kecantikannya. Tradisi Nyale kemudian menjadi tradisi rutin tahunan yang dilakukan setiap tanggal 20 bulan 10 dalam kalender Sasak. Hal ini sebagai wujud penghormatan masyarakat akan melaksanakan ritual dan berbondong-bondong menangkap nyale dan menjadikannya sebagai tradisi pangan dalam mengungkapkan rasa syukur atas pengorbanan Putri Mandalika.

Kebutuhan atas pangan merupakan kebutuhan primer yang tidak terbantahkan. Kemakmuran masyarakat dapat diukur jika mereka tidak kelaparan dan kekurangan pangan. Di era sekarang, pangan adalah bentuk komoditas yang diseragamkan, sehingga terjadi praktik buruk di sektor pertanian, yang juga menjadi penyebab utama menurunnya keberagaman flora dan fauna secara global.

Pasca Revolusi Hijau digaungkan di era Orde Baru, praktik penyeragaman pangan membuat pangan lokal semakin merosot dan bahkan menghilang, serta penghargaan terhadap alam yang memberi makan dan kehidupan peradaban pun lenyap.

Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengan praktik masyarakat terdahulu yang begitu menghormati dan mensakralkan tanah sebagai tempat berpijak, tempat bertumbuh serta pangan-pangan yang lahir dalam pengorban perempuan sebagai entitas penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam mitologi-mitologi di atas tentu ada pesan mendalam tentang relasi antara perempuan-manusia dengan alam sebagai penghubung dengan pencipta kehidupan. Pengorbanan perempuan dengan nyawa dan darah tentu membawa pesan untuk manusia kembali berdamai dengan alam, yang telah diramu dengan pengorbanan, dan etos kerja.

Perempuan mengambil peran penting dalam alam kosmos masyarakat Nusantara. Ia tercermin dalam mitologi, dalam cerita rakyat, dalam tradisi lisan dan tulisan. Dari yang terjamah dan tidak terjamah, perempuan sebagai mother of earth yang dari rahimnya lahir kehidupan, yang dari keringatnya tumbuh subur peradaban. Penghormatan atas darah tidak hanya penghormatan kepada perempuan sebagai sosok, tapi ia adalah bukti cinta dan penjagaan terhadap alam semesta.

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *