Teleskrin mengeluarkan suara mencicit, “Winston Smith, 6079 Smith W! Lebih tegak saat duduk! Kamu tidak duduk dengan postur yang baik.”
Dalam potongan fiksi dari novel 1984 karangan George Orwell itu, masa depan dibayangkan tempat berwujudnya negara hiper-totalitarian yang senang mengawasi warganya secara ketat. Setiap gerak-gerik masyarakat dimonitor dengan berbagai cara, salah satunya melalui alat bernama teleskrin—layar yang wajib dipasang di setiap sudut kota dan kamar warga. Teknologi itu menjadi simbol alat represi negara fiktif bernama Oseania, di mana tokoh utama novel itu, Winston Smith, hidupnya diatur sedemikian rupa, bahkan hingga cara duduknya.
Orwell menulis novelnya itu dalam konteks Perang Dingin, ketika spionase, propaganda, dan dominasi negara terhadap warga menjadi bagian dari ketegangan ideologis antara sosialisme-komunisme di blok timur dan liberalisme-kapitalisme di blok barat. Pernah berdinas militer melawan komunis di Spanyol membuatnya punya kecemasan atas totalitarianisme model Soviet ala Stalin. Teleskrin jadi semacam metafora Orwell atas pengawasan ekstrem negara kepada warganya.
Kapitalisme Pengawasan
Benda seperti teleskrin mengingatkan saya atas bayangan futuristik fiksi abad 20 terhadap masa depan. Seperti film Back to The Future (1985) yang menampilkan mobil terbang sampai papan seluncur yang melayang, atau film waralaba Star Wars yang mempertontonkan perjalanan antarplanet lewat kapal terbang ulang-alik, juga Terminator yang menampilkan tokoh utamanya menggunakan kapsul waktu.
Namun, masa depan yang hadir di abad ke-21 berbeda dari imaji para pengarang fiksi abad lampau. Tidak ada perangkat besar yang serba terbang dan penjelajahan waktu belum eksis. Melainkan dunia dipenuhi gawai personal yang kecil, canggih, dan digunakan setiap orang: ponsel pintar, laptop, smart home devices, dan beragam perangkat digital lainnya. Perangkat ini begitu nyaman dan convenience sehingga setiap orang memiliki pengalaman personal yang unik dengan masing-masing gawainya.
Kita pun merasa kita memiliki kehendak bebas menentukan pilihan, dengan beragamnya pilihan yang disajikan di gawai privat milik kita itu. Namun pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana bisa iklan dan preferensi konten di gawai itu benar-benar terpersonalisasi sesuai dengan minat kita? Beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan di internet, bahwa mikrofon di gawai, ternyata mendengarkan percakapan penggunanya, bahkan saat ponsel tak menyalakan aplikasi apa pun.[1] Beberapa netizen sempat meributkan ini, bahwa ketika ia bercakap-cakap tentang makanan kucing di depan komputernya selama beberapa menit, ternyata ketika ia menyalakan browser, beberapa laman iklan makanan kucing bermunculan di media sosial maupun iklan layanan streaming video. Hal ini menguakkan pertanyaan, apakah gawai kita benar-benar privat, mengapa rasanya ada yang mengawasi gerak-gerik kita?
Profesor dari Universitas Harvard, Shoshana Zuboff, menyebut praktik ini sebagai surveillance capitalism, atau kapitalisme pengawasan.[2] Istilah tersebut merujuk pada sistem ekonomi digital yang mengeksploitasi perilaku manusia untuk keuntungan komersial. Jika kapitalisme klasik mengekstraksi sumber daya alam dan tenaga kerja, maka kapitalisme pengawasan mengekstraksi pengalaman dan perilaku manusia di dunia digital.
Mulai dari klik tombol “like”, riwayat pencarian, lokasi GPS, nada suara, ekspresi wajah dalam foto, hingga kebiasaan tidur yang terekam arloji pintar (smartwatch)—semuanya direkam, dianalisis, dan dijadikan bahan mentah bagi model algoritmik. Di tahap awal perkembangan internet, data-data ini dianggap sampah atau digital exhaust. Ternyata tak perlu waktu lama bagi kapitalis untuk “mendaur” yang dianggap sampah tadi, karena seiring kemajuan machine learning.[3] Mesin digital itu mengubah data manusia menjadi prediksi dan kontrol. Contohnya, Facebook bisa memprediksi kapan remaja merasa cemas menjelang akhir pekan, dan menjual momen kerentanan itu ke pengiklan agar mereka menargetkan produk self-confidence booster, seperti jaket kulit. Berkat data yang berlimpah itu, korporasi menyadari data kini menjadi komoditas utama yang disebut Zuboff sebagai behavioral surplus.[4]
Ia mencontohkan kasus gim Pokémon Go.[5] Menurut Zuboff, gim berbasis augmented reality ini turut merekam data pengguna: lokasi, emosi, kebiasaan, hingga rutinitas. Data tersebut dijual ke perusahaan-perusahaan, misalnya waralaba makanan-minuman, untuk menyusun strategi pemasaran berbasis prediksi perilaku. Bila pemain Pokémon Go di suatu wilayah gemar kopi, maka pengiklan bisa memunculkan lure modules[6] di dekat kedai kopi dan menawarkan diskon, agar para pemain masuk dan membeli.
Privasi yang Dirusak Kenyamanan
Sebagian dari kita mungkin menganggap hal ini wajar. Beberapa orang mengatakan, “Enggak apa-apa lah, iklannya juga relevan” atau “Tak ada yang saya sembunyikan, jadi monggo saja.” Namun menurut Zuboff, ini adalah kesalahan berpikir mendasar (profound misconception). Dalam kapitalisme pengawasan, kita bukan lagi konsumen—melainkan produk. Yang menjadi konsumen sejatinya ialah pengiklan dan mitra korporat. Data yang kita berikan secara sadar hanyalah permukaan, terlalu umum. Yang paling bernilai justru data tak sadar: cara menggeser layar, ritme mengetik, ekspresi wajah, waktu tidur, hingga intonasi suara saat berbicara.
Kapitalisme pengawasan menciptakan ilusi kenyamanan alias convenience agar pengguna tidak merasa ada yang salah. Padahal, di balik layanan yang tampak bersahabat, sistem digital ini merampas otonomi pribadi dan memperbesar ketimpangan kuasa antara pengguna dan korporasi.
Skandal Cambridge Analytica[7] beberapa waktu lalu misalnya, ialah bukti bahwa data perilaku juga bisa digunakan bukannya hanya motif bisnis, tapi juga untuk tujuan politik. Sebuah konsultan publik telah mengambil data pribadi puluhan juta pengguna Facebook tanpa izin mereka dan menggunakannya untuk memanipulasi perilaku warga Amerika Serikat (AS) saat pemilihan umum. Mereka membangun model psikografis: memetakan kepribadian pengguna lalu mengelompokkan pemilih ke dalam kategori emosional. Konsultan ini lalu menyesuaikan pesan politik untuk menarget kelompok-kelompok ini dengan iklan atau informasi tertentu yang memicu emosi dan memperkuat bias mereka, seperti: menyebarkan hoaks atau berita miring tentang lawan politik, meningkatkan ketakutan akan imigran, terorisme, atau kerusuhan sosial. Salah satu klien terbesar mereka adalah Tim Kampanye Donald Trump pada Pilpres AS 2016 lalu.
Ancaman Bagi Demokrasi
Zuboff menegaskan bahwa kapitalisme pengawasan adalah ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan sipil. Ketika algoritma dapat memprediksi, memengaruhi, bahkan memanipulasi perilaku warga, maka prinsip kedaulatan individu dan kebebasan memilih tergerus. Teknologi pengintaian seperti ini sudah mulai diminati otoritas negara. Di Tiongkok, teknologi pengenal wajah dan data digital dengan alasan meningkatkan keamanan bahkan digunakan untuk mengawasi minoritas Uighur.[8] Tak menutup kemungkinan, berkaca atas efisiensi mengontrol warga atas nama stabilitas domestik, negara lain akan mencontohnya dan menggunakan berbagai alasan seperti, demi percepatan pelayanan publik.
Kini, korporasi teknologi semakin lihai mencari celah hukum. Mereka menyamarkan proses ekstraksi data dalam bahasa teknis yang sulit dipahami pengguna. Bahkan perangkat seperti Google Nest pernah ketahuan menanamkan mikrofon tersembunyi yang tidak dijelaskan dalam manual pengguna.[9] Google juga sempat mengelak dengan alasan “tidak sengaja menyertakan mikrofon” atau “lupa menyebutkannya”.
Inilah mengapa peran negara menjadi penting: bukan untuk membatasi ekspresi publik sebagaimana sering dilakukan rezim represif, tetapi untuk meregulasi kekuasaan korporasi teknologi agar tidak melanggar etika dan merusak demokrasi. Warga sipil juga mesti mendesak para pembuat kebijakan agar memperjuangkan kepentingan publik, bukan sekadar tunduk pada logika pasar. Karena bukan tidak mungkin gawai pribadi yang kini kita peluk setiap hari akan menjadi teleskrin era baru—alat pengawasan massal yang membungkam kebebasan dengan kedok pelayanan digital.
[1] Stasiun televisi asal Australia pernah mengulasnya dengan kemasan menarik dan informatif di: https://www.youtube.com/watch?v=aPQH6JaAQrQ
[2] Baca lebih lanjut karya monumentalnya Shosana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power, (London: Profile Books, 2019). Zuboff mendedikasikan risetnya terhadap perkembangan grup perusahaan teknologi raksasa seperti Google dan Meta. Beberapa informasi “dapur” perusahaan teknologi digital yang diperolehnya berasal dari sumber whitsleblower. Video kuliah umumnya dan video dokumenter tentang kapitalisme pengawasan cukup menarik perhatian khalayak di media sosial, salah satunya ialah video ini: https://youtu.be/hIXhnWUmMvw?si=qQRNaYdtpG5gtkJW
[3] Machine Learning sendiri adalah cabang dari kecerdasan buatan (Akal Imitasi/AI) yang memungkinkan komputer untuk belajar dari data tanpa harus diprogram secara eksplisit. Alih-alih memberi komputer instruksi langkah-demi-langkah, kita memberinya data, dan komputer akan mencari pola di dalam data itu untuk membuat prediksi atau keputusan. Contoh penggunaan di kehidupan sehari-hari seperti aplikasi streaming film dan lagu berbayar, Netflix dan Spotify, mereka merekomendasi film atau lagu berdasarkan perilaku pengguna. Ada pula Google Maps yang memprediksi rute tercepat berdasarkan data lalu lintas jutaan pengguna.
[4] Behavioral surplus adalah data perilaku manusia yang dikumpulkan melebihi kebutuhan dasar layanan digital, tanpa pengetahuan lengkap oleh manusia itu sendiri, lalu digunakan untuk tujuan lain—terutama prediksi dan manipulasi perilaku demi keuntungan bisnis. Ia adalah “tambang emas” baru dalam era digital. Zuboff menyebutnya, “They take our private human experience, claim it as their own, turn it into data, and sell it. That is behavioral surplus.”
[5] Polemik privasi di gim ini sudah jadi bahan omongan di dunia gim dan tekno-maniak, lihat: https://www.cnet.com/tech/gaming/pokemon-go-gotta-catch-all-your-personal-data/
[6] Fitur dalam gim Pokémon Go (dan beberapa gim augmented reality lainnya) yang digunakan untuk memancing kemunculan Pokémon liar di lokasi tertentu selama jangka waktu tertentu, biasanya 30 menit.
[7] Tak ada salahnya meluangkan waktu membaca alur skandal ini di laman Wikipedia, setidaknya cukup membantu: https://en.wikipedia.org/wiki/Facebook%E2%80%93Cambridge_Analytica_data_scandal
[8] Baca lebih lanjut: https://www.theguardian.com/world/2021/sep/30/uyghur-tribunal-testimony-surveillance-china
[9] Rasanya alasan lupa menyebutkannya pada produk adalah akal-akalan belaka, lihat: https://apnews.com/article/f86c841335e24f4bb582846ac611e912