Beban Berlapis di Hamparan Permadani Hijau: Setumpuk Masalah Lingkungan di Piyungan

Di suatu sore, aku bersama seorang teman bergegas meninggalkan kantor sesaat sebelum jam kerja habis. Kami mendapat undangan ke Monumen Antroposen yang lokasinya tidak jauh dari TPA Piyungan, Kabupaten Bantul. Dalam suasana yang teduh, hangat berpadu semilir angin, aku dibonceng dari Gedongkuning menuju Pleret. Jalanan ramai, kami bergerak lambat. Meski sudah menunggang motor berbodi ramping, kemacetan tak mengizinkannya untuk melaju sat-set. Di gang pemukiman maupun jalan raya, sama saja, mobil dan motor menumpuk.

Napasku agak sesak. Hasil cek kesehatan menunjukkan, aku terlalu banyak menghirup radikal bebas. Tapi sore itu sama dengan sore-sore lainnya, tekadku untuk selalu memakai masker tinggal tekad. Untungnya serbuan kepulan asap ini tidak berlangsung lama. Belasan menit saja berkendara, motor sudah bisa menembus dua alam yang berbeda. Berbelok dari jalan raya, udara segera berganti menjadi lebih segar. Motor pun bergerak lancar.

Semakin jauh berkendara, kami menyadari kami sudah mulai dekat dengan TPA Piyungan. Semerbak sampah mulai menggelitik bulu hidung dari kejauhan. Tapi ada yang aneh. Pemandangannya indah. Sejauh mata memandang terlihat barisan perbukitan hijau. Bagaimana mungkin tempat seindah ini dijadikan tempat sampah? gumamku. Tapi, di saat yang bersamaan, aromanya juga tidak bisa bohong. Aroma yang sulit didefinisikan, tidak sepantasnya bau semacam itu menyebar di lingkungan sehijau itu. Kecut, busuk, dan menusuk hidung. Di tengah bau sampah yang menyerbu, kutarik ujung kerudung untuk menangkal napas dari serangan bau sampah.

Nama TPA Piyungan sudah akrab di telingaku yang sudah tinggal di Jogja hampir tiga tahun. Terlebih belakangan TPA ini menjadi gosip panas di Jogja. Dari ibu-ibu berdaster, bapak-bapak ronda, genzi yang suka ngafe hingga aktivis serta akademisi yang gemar berdiskusi, pasti pernah membahas TPA Piyungan. Tapi, meski TPA Piyungan sudah akrab sejak dalam pikiran, jujur sore itu adalah kali pertama aku baru akan melewatinya, bukan mengunjungi, hanya sekedar lewat.

Sambil menyetir, salah satu tangan temanku menunjuk. Mataku langsung menangkap penampakan sedikit pucuk gunung sampah. Tapi hatiku masih tidak terima. Mengapa tempat sebagus ini dijadikan tempat sampah? Terlepas dari nama TPA yang kepanjangannya Tempat Pemrosesan Akhir, Piyungan tetap tampak seperti tempat sampah. Sampah berceceran di sepanjang pinggir jalan. Rumah-rumah juga bertetangga dengan tumpukkan sampah. Mungkin sampah-sampah ini sedang menunggu antrian untuk diproses. Kalau ujung-ujungnya tidak terproses, Piyungan tetap menjadi lokasi TPA, hanya saja “P” nya “pembuangan”.

Menyaksikan realita itu, aku hampir haqqul yaqin kalau tanah dan air di sana sudah tercemar oleh rembesan zat-zat berbahaya dari gunungan sampah. Bagaimana dengan udaranya? Jangan ditanya lagi, itu sudah dibahas paling awal, bau menyengat bahkan dari kejauhan. Tapi pencemaran udara di area Piyungan ini bukan semata soal bau dan gas metana dari sampah saja. Lagi-lagi aku baru tahu. Ternyata banyak rumah di dekat TPA Piyungan punya tungku-tungku pembakaran sampah. Kepulan asap hitam mengiringi perjalanan kami beberapa ratus meter menuju Monumen Antroposen. Udara Piyungan memikul beban berlapis. Selain metana dari gunung sampah, juga dari cerobong-cerobong tungku sampah milik perseorangan ini. Curigaku, tungku-tungku ini menjadi bisnis mereka.

TPA Piyungan tutup saat orang-orang dan fasilitas pengelolaan sampah belum benar-benar siap. Semula hidup nyaman dengan lingkungan bersih karena sampah rumah tangga dan sampah perkotaan bisa dengan mudah dipindahkan oleh truk-truk sampah menuju Piyungan. Sejak tutup, semua orang kelimpungan mengurus sampah-sampah mereka dan tak tahu mau menaruhnya di mana? Yang kehabisan akal, mereka akan mudah saja membuangnya di sepanjang pinggiran jalan Ring Road dan jalan lainnya atau kucing-kucingan membakarnya saat malam hari. Mulai saat itu, aroma sampah atau asap bisa ditemui di sembarang sisi Yogyakarta.

Tapi persoalan sampah bukan sekedar sampah. Di baliknya sudah tumbuh banyak gurita bisnis terutama bisnis pengangkutan sampah. Sebagai anak kos, dulu aku dan teman-teman harus patungan untuk menyetorkan Rp. 70.000 setiap bulan ke pengangkut sampah. Itu baru satu rumah. Bagaimana kalau dikalikan lagi dengan seluruh rumah di tiga kabupaten di Jogja: Kota Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Belum lagi sampah dari warung-warung makan yang merajalela. Bagi pengangkut, sampah adalah uang. Maka ketika TPA Piyungan ini ditutup, bisnis mereka terancam. Para pengangkut ini jelas mengalami fase kebingungan, ke mana mereka hendak menaruh sampah yang tidak bisa didaur ulang lagi?

Disclaimer, ini masih sebatas kecurigaanku dan berdasar desas desus yang kudengar. Di situlah tungku-tungku pembakaran sampah jadi bisnis lain. TPA Piyungan tutup, giliran warga sekitar Piyungan yang menadahi sampah sekaligus menjadi usaha rumahan mereka. Masalah si pengangkut sedikit ada solusinya, walaupun tidak gratis. Truk-truk mendatangi pemilik tungku untuk dibakarkan, tentu dengan tarif tertentu. Sayangnya, solusi semacam ini tidak 100% solutif. Kepulan asap hitam dari cerobong-cerobongnya adalah bukti tungku ini menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna. Alih-alih menyelesaikan masalah sampah, tungku ini malah menambah beban polusi udara.

Anehnya, di antara tungku-tungku itu, kami juga melewati sebuah pabrik pengelolaan sampah (incinerator) berdiri di sepetak tanah. Kepulan asap yang keluar dari cerobongnya tampak lebih putih, bersih. Asumsiku, asapnya mengandung lebih sedikit polutan udara ketimbang asap dari tungku-tungku milik warga. Pertanyaannya, kenapa tungku-tungku yang mencemari udara ini masih banyak berdiri padahal di sana sudah ada insinerator yang lebih ramah lingkungan?

Di kemudian hari, pertanyaan ini terjawab. Dalam diskusi Cangkrukan Komunitas GUSDURian Jogja pada Jum’at (20/06/2025) kami menghadirkan Gus Aak Abdullah Al-Kudus dari GUSDURian Peduli. Rupanya dia merupakan salah satu tokoh di balik berdirinya insinerator di Piyungan tersebut. Aku menemukan orang yang tepat untuk menjawab kegelisahanku.

Ia kemudian bercerita. Insinerator itu dibangun oleh kolaborasi empat lembaga termasuk GUSDURian Peduli dengan biaya 50 milyar sebagai solusi permasalahan sampah di Jogja. Mereka berkoordinasi dengan Pemerintah Jogja untuk mengelola sampah. Tarif per ton sampah seharusnya Rp. 700.000. Akan tetapi pemerintah hanya bisa membayar kurang dari tarif tersebut. Pihak insinerator tetap menerima itu meskipun secara hitungan kurang sepadan. Tarif yang cukup tinggi itulah yang menjadi alasan tungku-tungku pembakar sampah rumahan tetap berdiri. Tarifnya jelas lebih murah, meskipun resiko lingkungannya lebih tinggi.

Motor masih melaju di jalanan yang nuansanya semakin rural. Kita merasa entah sedang berada di mana. Dari jok depan, temanku menengok sambil setengah teriak “kamu yakin kita lewat sini?”. Sambil menatap smartphone yang sedari berangkat menyalakan Google map, aku yakin ini jalan yang benar. Sesaat kemudian, jalan mulai bercabang. Satu menurun, satu menanjak. Kami memilih menanjak sesuai petunjuk map. Akhirnya, sampailah kami di Monumen Antroposen.

Aku sudah mendengar monumen ini sejak masih di bangku kuliah. Monumen ini punya visi ekologis, mengubah sampah menjadi batu bata, yang kemudian disulap menjadi monumen. Bangunan monumen sudah sekian persen jadi. Di sekitar monumen ada dua bangunan lain yang bisa jadi tempat pertemuan. Bentuknya unik, berbeda dari bangunan rumah atau kantor di Jogja pada umumnya. Monumen dan bangunan ini berlokasi di atas perbukitan dihiasi pemandangan hijau di sekelilingnya. Rasanya sangat kontras jika mengingat tidak jauh dari situ, ada tempat sampah raksasa yang sudah tutup permanen karena overload.

Usai mengambil beberapa jepretan foto, kami menuju ke bangunan yang menjadi lokasi pertemuan para undangan. Di situ kami mulai mendiskusikan tentang masalah apa yang sedang kita hadapi beberapa hari kebelakang. Sebagian besar dalam forum membahas soal masalah ekologi, lebih spesifiknya sampah. Di situ datang juga seorang aktivis Trash Hero Jogja. Pada kesempatan lain aku melihatnya menggunakan kaos bertuliskan Puasa Plastik. Aku yakin baju itu bukan gimmick semata. Ketika diskusi, nampak jelas bahwa ia punya komitmen dan kesadaran kuat, bahwa plastik tidak hanya bermasalah ketika kita mulai menggunakannya. Menurutnya, sejak masih berwujud minyak bumi hingga sampai di hadapan kita, selembar plastik sudah meninggalkan jejak karbon yang sangat besar. Maka, sebisa mungkin ia tidak menggunakan plastik sama sekali.

Darinya aku menyadari, betapa kesadaran yang mendalam tentang lingkungan atau tentang apa pun sangat berpengaruh pada perilaku individu maupun kolektif. Sikap abai atau kesadaran yang dangkal semata akan menjadikan permasalahan sampah akan terus berlarut-larut. Maka dari itu, mendongkrak kesadaran yang mengubahnya menjadi sikap yang arif terhadap pengelolaan lingkungan menjadi PR pertama semua orang. Jika tidak demikian, jangan harap kita dan generasi mendatang akan punya tempat yang cukup nyaman sebagai ruang hidup.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta. Saat ini aktif bekerja di Divisi Penelitian dan Advokasi Mitra Wacana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *