Paradoks Tambang: Janji Kesejahteraan yang Berujung Kerusakan

Pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi alam sering kali menimbulkan dampak eksternal seperti kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang berujung pada masalah sosial macam sengketa lahan serta penggusuran masyarakat adat. Berdasarkan pemaparan ekspeditor Dandhy Dwi Laksono bahwa tidak ada dalam sejarah mana pun ada kehidupan yang sejahtera dari aktivitas tambang apalagi ketika lokasi tambang tidak lagi digunakan.

Dalam perdebatan antara pandangan Eco-Kapitalisme dan Idea-Local Wisdom, muncul gagasan bad mining practice dan good mining practice terhadap pengelolaan lingkungan khususnya tambang. Secara ekologis, bad mining adalah proses pengelolaan lingkungan yang tidak memperhatikan dampak akibat eksplorasi alam seperti adanya kubangan terbuka yang tidak direboisasi, penggundulan hutan, longsor, bahkan pencemaran lingkungan akibat limbah tambang.

Sedangkan good mining practice berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba sedikitnya mengatur lima aspek dalam pengelolaan lingkungan khususnya minerba yakni: keselamatan kerja, keselamatan operasi, pengelolaan dan pemantauan lingkungan tambang seperti reklamasi pasca-tambang, upaya konservasi SDA, dan pengelolaan ulang sisa tambang. 

Tetapi fakta yang ditemukan di lapangan terkait tambang, justru mengabaikan good mining practice sehingga menimbulkan berbagai konflik di masyarakat. Di sinilah titik dilematisnya negara, sebab pandangan bagi local wisdom soal lingkungan hidup adalah merawat sebaik-baiknya alam dengan menjaga hutan dan mengelolanya dengan baik tanpa berlebihan sekaligus menjadi warisan kelak bagi anak cucu nantinya.

Namun, negara tentu melihat ini sebagai peluang untuk menyejahterahkan rakyat dan negara sebab konsesi tambang dianggap mampu mendobrak daya jual negara dan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar menjadi lebih baik, tetapi apakah benar demikian? Berdasarkan data tim Universitas Halu Oleo pada tahun 2020 menunjukkan bahwa kadar logam berat seperti merkuri telah mencemari aliran Sungai Konaweha 0,005 PPM dan saat ini mungkin semakin banyak lagi seperti arsenik dan lainnya (Kompasiana, 2024).

Catatan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama Yayasan Tanah Merdeka Sulawesi Tengah menemukan bahwa peningkatan penyakit ISPA terus terjadi. Pada tahun 2021 ada 735 kasus, 2022 tercatat 1.200 kasus, dan 2023 sebanyak 1.148 kasus (Greeners.co, 2025). Tentu angka ini akan terus meningkat mengingat tambang nikel adalah yang terbesar di kawasan Asean. Di Sulawesi Selatan sendiri juga ada beberapa lokasi tambang yang masif, seperti penambangan semen Bosowa di Pangkajenne Kepulauan dan nikel di Kabupaten Bantaeng, dimana di daerah Pa’jukukang Bantaeng ini ekstraksi tambang sudah menyerempet kawasan pemukiman warga, bahkan banyak rumah warga yang berdebu akibat aktivitas tambang ini.

Berdasarkan catatan di atas, seolah menimbulkan paradoks ekstraksi SDA, sebab fakta di lapangan justru tambang hanya menguntungkan segelintir orang, yakni oligarki lingkungan dan kebanyakan malah membuat rakyat merasakan dampak negatifnya. Di sisi lain, aktivitas ekstraksi SDA juga menjanjikan sebagaimana yang penulis terangkan di awal, bahwa taraf hidup masyarakat secara ekonomi tentu akan lebih menjanjikan, namun, lagi-lagi mungkin itu hanya dongeng belaka. Menurut Michel Foucault, kehadiran institusi negara justru sebenarnya tidak hadir untuk mengontrol kepentingan rakyat tetapi menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan dominasi para electoral politik.

Posisi manusia dalam dunia ini memiliki dua peran yang seringnya dianggap oleh kaum antroposentris sebagai dikotomi dalam bertindak. Dalam kacamata agama, manusia adalah khalifah sekaligus hamba Tuhan yang taat pada teks agama dan perintah-Nya. Menurut Nasr, sering kali penafsiran terhadap kata khalifah dimaknai sebagai pemimpin semata yang mendudukkan manusia berhak dan kuasa atas segala apa yang mereka inginkan termasuk eksplorasi ekologi dan meninggalkan makna terhadap ubudiyah yang mendorong agar manusia berbuat kebaikan atas teks agama, termasuk dalam hal menjaga ekologi.

Maka dari itu, dalam sistem bernegara yang baik butuh sosok khalifah yang memaknai konsep ubudiyah dengan mendalam agar kehadiran negara terhadap kuasanya atas wilayah dan SDA bisa dilaksanakan dengan baik sebagaimana dalam kaidah fikih, yakni Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah bahwa kebijakan pemimpin haruslah berdasarkan maslahah atau kebaikan.

Dalam sejarah pemimpin negara ini, hanya Gus Dur satu-satunya presiden yang tidak pernah memberikan konsesi tambang bagi para penguasa dan oligarki sebab dalam praktiknya justru merusak lingkungan ketimbang melahirkan mafsadah-nya (manfaat). Menurut Gus Dur, aktivitas tambang kebanyakan bersifat ekstraktif yang merusak lingkungan, mengancam keberadaan hutan lindung, tanah adat dan ekosistem lingkungan (Frensia.id, 2024).

Selain itu, Gus Dur adalah sosok pemimpin yang selalu mendasarkan kebijakannya pada kaidah fikih dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil manfaat) dalam hal ini meskipun alasan ekstraksi SDA adalah untuk kepentingan negara dan rakyat tapi langkah-langkah dan akibat yang ditimbulkan justru melahirkan mudharat atau keburukan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *