Bumi Sedang Sakit, Di Mana Suara Tokoh Agama?

Krisis iklim bukan lagi sebuah kemungkinan yang mengejutkan, melainkan telah menjadi kenyataan yang menakutkan, menyasar hampir seluruh lapisan kehidupan di sekeliling kita.

Dampaknya tidak bisa dipandang enteng, mulai dari kesehatan, cuaca yang kian ekstrem, terancamnya kekayaan alam dan spesies flora-fauna, semakin tirisnya ketersediaan air, kenaikan suhu dan permukaan laut yang berdampak pada ikan dan potensi tenggelamnya pulau-pulau kecil, hingga migrasi besar-besaran dan jatuhnya korban jiwa.

Di tengah krisis ekologi yang semakin mencekam, Hening Parlan mewartakan munculnya fenomena baru yang disebut sebagai “tirani ekologis”. Sebuah tirani hibrida, yang mempertemukan kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek untuk mendominasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan melahirkan penindasan struktural.

Tirani ekologis bukan hanya semakin memperparah kondisi bumi yang tengah sakit, melainkan juga membuat semakin curamnya jurang ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Hal tersebut membawa kematian dan penderitaan bagi mereka yang paling rentan—kaum miskin, anak-anak, orang tua, wanita, dan penyandang disabilitas.

Mereka (baca: kelompok rentan) yang berkontribusi kecil, atau bahkan sama sekali tidak berkontribusi, pada persoalan lingkungan, ironisnya sering kali merupakan pihak yang harus membayar paling mahal dampak atas persoalan tersebut.

Sejarah telah mencatat peranan tokoh agamawan sebagai aktor penting yang merawat solidaritas, melawan ketidakadilan, dan penindasan. Sebab agama bukan saja soal urusan sembahyang dan berdoa, tetapi juga gerakan profetik rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Keadilan dan Kasih Sayang

Tidak dapat dipungkiri, bahwa Al-Qur’an mengedepankan visi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun individual. Al-Qur’an bahkan menggunakan banyak “warna keadilan” apabila kita melihat kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan.

Kata-kata sinonim seperti ‘adl, qisth, hukm dan sebagainya digunakan dalam Al-Qur’an untuk mengungkapkan keadilan. Bahkan, kitab suci umat Islam ini, tegas menggaransi “adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. 5: 8).

Nuansa keadilan dalam Al-Qur’an cukup beragam pengertiannya. Untuk kata ‘adl sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.

Dengan melihat beberapa pengertian kata ‘adl secara langsung itu saja, telah menunjukkan betapa keadilan mendapat tempat dalam Al-Qur’an. Tidak heran fuqaha (para ahli fikih) seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa keadilan adalah raison d’etre (alasan utama) pembentukan agama. 

Dapat pula dimengerti sikap kelompok Mu’tazilah dan Syi’ah untuk menempatkan keadilan (‘adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama (al-mabadi al-khamsah) dalam keyakinan atau akidah mereka.

Bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pengertian dan dorongan Al-Qur’an terhadap keadilan adalah agar manusia memenuhi janji, tugas, dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.

Lebih lanjut, fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawa Al-Qur’an adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekadar acuan etis atau dorongan moral belaka. Sehingga pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak.

Namun, tanpa mengecilkan pentingnya posisi keadilan dalam matriks komprehensif nilai-nilai Islam, keadilan bukan satu-satunya yang utama. Melainkan rahma (kasih sayang, belas kasihan, dan kelembutan hati) atau Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) sebagai atribut Tuhan paling penting dalam Islam.

Tuhan sebagai Cinta—sebagaimana mirip dengan pemahaman utama Kristen, adalah sifat sangat utama dalam keberadaan Allah sehingga menaungi semua yang ada di alam semesta (QS. 40: 7) dan tentu saja misi utama Nabi Muhammad sebagai sumber kasih sayang dan belas kasih kepada alam semesta, rahmatan li al-‘alamin (QS. 21: 107).

Imam al-Raghib al-Isfahani bahkan mencatat kata rahma dengan berbagai derivasinya disebutkan sebanyak 327 kali dalam Al-Qur’an. Menariknya lagi untuk dicatat, bahwa rahim ibu juga disebut rahm. Menandakan bahwa seorang ibu selalu sangat lemah lembut terhadap anak-anaknya serta membanjiri mereka dengan cinta dan kasih sayang.

Keadilan dan kasih sayang dua aspek penting yang perlu berjalan beriringan. Tanpa kasih sayang, perjuangan untuk keadilan justru bisa berujung meniru tatanan penindas yang tengah dilawan. Sementara kasih sayang tanpa keadilan kemungkinan hanya mengarah pada status quo.

Samar-samar Suara Tokoh Agama

Ulama atau tokoh agama sebagai yang disebut-sebut pewaris nabi, memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan gerakan profetik. Misi besar agama untuk menegakkan keadilan dan menebar kasih sayang kepada seluruh komunitas alam merupakan pekerjaan rumah yang tidak pernah usai.

Otoritas keagamaan—melalui tokoh dan kelembagaannya—bukan saja berperan sebagai aktor moral, tetapi lebih jauh, memainkan peran sebagai kekuatan revolusioner, sebagaimana tinta emas sejarah telah mencatat.

Dunia yang semakin digerakkan oleh narasi konsumsi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak kenal kata puas, ternyata tidak berhasil membawa kesejahteraan, nahasnya malah lebih banyak membawa kerusakan alam dan memperparah ketimpangan sosial. Untuk itu keberanian spiritual untuk berkata “cukup” adalah sebuah bentuk perlawanan yang sangat dibutuhkan.

Dalam ranah keberanian spiritual ini, tidak ada aktor yang lebih layak selain otoritas keagamaan. Karena melalui jejaring umat, otoritas ini memiliki kekuatan mobilisasi yang diperlukan untuk menekan kebijakan publik yang berpotensi mencederai misi kenabian.

Sehingga adanya keputusan pengelolaan tambang oleh institusi agama serta pernyataan tokohnya yang mendiskreditkan upaya pemulihan lingkungan, bukan saja sebuah dekadensi moral, tetapi tanda hilangnya legitimasi moral oleh otoritas keagamaan, sebab mengabsahkan salah satu sumber demoralisasi tersebut.

Ke depannya, oleh kasus ini, akan sulit bagi otoritas agama mengkritik, bukan hanya dampak tambang, tetapi juga yang lainnya. Karena ia telah kehilangan keberpihakan dan komitmen sosialnya kepada masyarakat.

Untuk melanjutkan misi besar agama melalui gerakan profetik, otoritas keagamaan harus terus relevan terhadap hajat hidup umat sehari-hari; ketimpangan, ketidakadilan, krisis iklim, kekerasan negara, dan lain-lain.

Islam mendorong laku perubahan ke arah yang lebih baik dan prospektif, baik dalam sisi lahiriyah-dunyawiyah maupun bathiniyah-ukhrawiyah. Serupa dengan prinsip non-regression dalam Pembangunan Berkelanjutan.

Untuk itu, langkah sepatutnya adalah mendorong transisi energi terbarukan, bukan sebaliknya, mundur ke belakang untuk cawe-cawe konsesi tambang dan mencari-cari pembenaran. Hal demikian ini bukan saja perlu dikhawatirkan, tetapi juga tegas menolaknya.

Catatan terakhir yang tidak boleh luput, yang paling diuntungkan oleh eksploitasi alam bukanlah mereka yang menanggung dampaknya. Ketimpangan struktural, kerusakan ekologis, pelanggaran hak komunitas lokal adalah biaya yang harus dibayar dalam kabut krisis ini. Saat otoritas keagamaan diam, ada martabat dan kemanusiaan yang menjerit. Ini adalah sebuah seruan untuk misi profetik di tengah bumi yang sakit.

Mahasiswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *