Suasana Gereja Kristen Jawa Karangbendo pada Sabtu (26/7) pagi itu terasa berbeda. Sekitar delapan belas pemuda lintas iman dari berbagai latar belakang berkumpul dalam satu ruangan, menyimak dengan penuh perhatian dan semangat. Mereka adalah peserta Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) yang diinisiasi oleh Komunitas GUSDURian Yogyakarta dan berkolaborasi dengan pengurus rumah ibadah Gereja Kristen Jawa Karangbendo. Kegiatan ini menjadi ruang perjumpaan yang langka, sekaligus penuh makna. Acara itu mempertemukan pemuda-pemudi dari berbagai agama, mulai dari GKJ Karangbendo, GKI Gejayan, KMHDI Yogyakarta, JAI Yogyakarta, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, hingga Pokjaluh Buddha.
Kegiatan dimulai pukul 08.30 WIB. Sesi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan dilanjutkan dengan bina suasana untuk membangun keakraban di antara peserta. Dalam kelas ini, peserta diajak mengenal lebih dalam sosok Gus Dur melalui materi Biografi Intelektual Gus Dur, Sembilan Nilai Utama Gus Dur, serta pemaparan tentang Gerakan Lintas Iman.
Kegiatan ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ia merupakan bagian dari upaya meneruskan warisan pemikiran Gus Dur, terutama terkait gagasannya tentang keberagaman, kebebasan beragama, dan kemanusiaan. Melalui kelas ini, para peserta diajak untuk tidak hanya mengenal sosok Gus Dur, tetapi juga merenungkan relevansi pemikirannya dalam konteks kehidupan generasi muda hari ini.
Menurut Desy Anggraini salah satu panitia penyelenggara KPG, kegiatan ini dapat menjadi bekal para pemuda dalam membangun toleransi dan perdamaian di masa depan. “Pemuda adalah penentu arah masa depan. Jika sejak dini mereka sudah terbiasa berdialog dan bersahabat lintas iman, maka mereka akan tumbuh menjadi aktor-aktor perdamaian,” paparnya.
Sesi pertama diawali dengan pemaparan biografi Gus Dur oleh Wiji Nurasih, salah satu penggerak GUSDURian Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa Gus Dur tumbuh dari tradisi pesantren namun tidak membatasi dirinya hanya pada satu ranah keilmuan. Ia belajar dari berbagai sumber, termasuk filsafat Barat, seni, dan sastra. Dari sinilah lahir pemikiran-pemikiran progresif yang menjadikan Gus Dur sosok yang visioner dan humanis. Untuk sesi ini peserta akan dibagi menjadi tiga kelompok yang akan di-rolling di tiga “kafe” yang masing-masing akan menyediakan materi intelektual Gus Dur, aktivisme, dan hal-hal yang dilakukan Gus Dur pada saat menjabat menjadi presiden.
Selepas pengantar biografi, peserta diajak berkenalan dengan Sembilan Nilai Utama Gus Dur. Nilai-nilai ini bukan hasil teori, melainkan kristalisasi dari laku hidup dan keteladanan Gus Dur. Kesembilan nilai tersebut adalah: Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Pembebasan, Kekesatriaan, dan Kearifan Tradisi. Setiap nilai diuraikan dengan contoh konkret dalam tindakan Gus Dur selama hidupnya, menjadikannya bukan sekadar konsep abstrak, tetapi etika hidup yang bisa dipraktikkan dalam keseharian.
Kegiatan ini juga menghadirkan tokoh agama Pendeta Imanuel Geovasky yang juga merupakan mahasiswa S3 UGM. Pendeta Imanuel menjelaskan mengenai toleransi antarumat beragama. Dengan antusias ia banyak memberikan contoh konkret dengan menganalogikan nilai-nilai toleransi yang coba Gus Dur gaungkan melalui tingkah laku keseharian manusia dalam tindakan nyata yang kita rasakan.
“Toleransi merupakan ikhtiar untuk menempatkan agama sebagai ruang yang bersifat privat, namun tetap dapat hadir di ruang publik tanpa mengintervensi kebebasan dan kenyamanan antarpemeluk agama,” ujar Pendeta Imanuel.
Di sesi ini Pendeta Imanuel juga memberi ruang untuk mendengarkan argumentasi dari para peserta dan panitia yang hadir untuk berpikir mengenai hal-hal yang bisa dilakukan di ruang publik maupun hal-hal yang tidak boleh dilakukan di ruang publik karena akan mengganggu kenyaman orang lain.
Gaya fasilitator yang cair dan menyenangkan membuat suasana diskusi terasa akrab, meski para peserta datang dari latar belakang yang beragam. Di sinilah nilai-nilai Gus Dur benar-benar terasa hadir didalam ruang lintas iman yang tidak kaku, dialog yang setara, dan semangat belajar bersama.
Kelas Pemikiran Gus Dur hari itu mungkin hanya berlangsung beberapa jam. Namun kesan yang ditinggalkan jauh melampaui durasi waktu. Ruang perjumpaan seperti ini adalah bukti bahwa pluralitas bukan hambatan, melainkan kekayaan yang harus dirawat.
Gus Dur pernah berkata, “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.” Dan di hari itu, pesan itu kembali menggema di ruang kelas kecil di Banguntapan, Yogyakarta. Melalui semangat para pemuda lintas iman yang percaya bahwa perbedaan adalah jembatan, bukan jurang.









