Saya hanya punya itikad baik ketika ingin menemui Mohammad Imam Aziz (Mas Imam) untuk pertama kali di kantor Syarikat, lembaga yang dipimpinnya, di daerah Gambiran, Yogyakarta. Waktu itu usianya belum genap 40 tahun, tapi kebesarannya sudah terasa nyaring di telinga saya yang masih mahasiswa.
“Saya ingin bertemu dengan Mas Imam,” begitu kalimat yang saya utarakan kepada penjaga kantor Syarikat. Setelah saya memperkenalkan diri, dia langsung mengarahkan saya menuju sebuah ruangan di mana Mas Imam sedang bercengkerama bersama staf Syarikat yang lain.
“Saya mau minta sumbangan untuk membiayai penerbitan majalah, Mas.” Tanpa basa-basi saya langsung mengutarakan maksud saya.
Sudah setahun majalah kampus ARENA yang kami kelola saat itu tidak mendapatkan dana dari rektorat. Embargo ini dilakukan oleh rektorat menyusul peristiwa penyerangan kantor majalah kami oleh para preman yang mengatasnamakan kelompok Islam tahun 2000. Sebagai pemimpin umum majalah saat itu, saya merasakan penguasa kampus saat itu seperti memanfaatkan situasi kami yang tersudut untuk sekalian “menghabisi” kami.
Seperti langsung memahami situasi yang kami hadapi, sorot matanya menunjukkan tatapan penuh empati. Dan, setelah kami menceritakan semuanya, Mas Imam langsung meminta staf keuangan kantornya untuk menyisihkan sumbangan untuk kami.
Usai menandatangani kuitansi tanda terima sumbangan, saya pamit kembali ke kampus. Sepanjang perjalanan dari Syarikat menuju kampus, saya seperti merasa lepas dari dahaga dan sesak napas.
Seminggu setelah pertemuan dengan Mas Imam itu, majalah kami terbit.
***
Kisah di atas penting saya utarakan karena, menurut saya, ada prasyarat dasar yang mesti dipenuhi oleh seseorang sehingga layak disebut pemimpin, yakni memiliki empati atau rasa kemanusiaan.
Perangkat indikatornya terdengar luhur tapi sangat konkret. Saya meminjamnya dari penggalan janturan (deskripsi pada adegan pembuka) yang sering dibawakan seorang dalang dalam pementasan wayang, sebagai berikut:
Paring sandang wong kawudan, memberi pakaian orang yang telanjang
Asung pangan wong kaluwen, memberikan makan orang lapar
Aweh banyu wong kasadan, memberi air orang yang kekeringan
Tulung teken wong kalunyon, memberi tongkat orang yang di jalanan licin
Paring kudhung wong kepanasan, memberikan topi pelindung orang kepanasan
Asung payung wong kudanan, memberi payung bagi orang yang kehujanan
Hamaluyakake wong sakit, membantu kesembuhan orang sakit
Karya sukaning kang nandhang prihatin, menghibur orang yang susah.
Dengan cerita yang saya sampaikan di awal, Mas Imam jelas memenuhi syarat dasar seorang pemimpin. Bahkan dia adalah anak zaman, sekaligus pemimpin seumur hidup. Anak zaman merupakan istilah saya bagi orang yang menyadari bahwa setiap era, dengan kesulitan dan tantangan yang kompleks, melahirkan pemimpinnya sendiri.
Sedangkan pemimpin seumur hidup berarti seorang yang di masa mudanya muncul sebagai pemimpin, dan kepemimpinannya tetap menyala pada saat usianya sudah tidak lagi muda.
Ada orang yang menjadi pemimpin di masa mudanya, namun padam di masa tuanya. Heroik di masa muda, tapi menyerah di usia tua. Penyebabnya bisa beragam; fisik yang rapuh, ekonomi yang terpuruk, politik yang tidak berpihak, atau hal-hal lain yang menjadi tantangan atau kesulitan hidupnya.
Mas Imam, sebagaimana kesaksian teman segenerasinya, maupun adik-adik angkatannya di sekolah atau di kampus, menjadi inspirator gerakan untuk perubahan di dekade 80-an. Semisal memimpin aksi solidaritas mahasiswa terhadap para warga yang tergusur akibat proyek pembangunan waduk Kedungombo.
Jiwa kepemimpinan Mas Imam tidak hanya berorientasi pada diri pribadinya semata, tapi dengan membangun ekosistem. Ini bisa kita nilai ketika dia merintis dan membangun tradisi kritisisme dan anti-kemapanan di tengah budaya penyeragaman dan pembungkaman oleh rezim Orde Baru, dengan mendirikan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) yang membangun jaringan intelektual muda yang tersebar di Jawa dan luar Jawa. Mas Imam menjadi jendela bagi anak muda untuk melihat horizon ilmu-ilmu sosial untuk melakukan pembaruan dan penyegaran wacana keagamaan. Iklim diskusi dan mengembangkan literasi keagamaan menjadi lebih terang dan hidup.
Mas Imam memang bukan seorang orator yang meledak-ledak dengan suara lantang di hadapan kerumunan massa. Sosoknya kalem dan berpikiran jernih. Namun, kematangan menjadi pemimpin ia buktikan dengan kehadiran di tengah situasi sulit; saat kondisi genting yang penuh tekanan atau ketegangan.
Tahun 2004, ketika pertama kali diadakan pemilihan presiden langsung, muncul ketegangan di tubuh NU. Saat itu Kiai Hasyim Muzadi, sebagai Ketua Umum PBNU mau menerima tawaran Ibu Megawati menjadi pasangan kontestan Pilpres. Suara warga NU terbelah, ada yang mendukung, namun banyak juga yang tidak. Tak sedikit tokoh dan aktivis yang menganggap pengurus NU saat itu mempolitisasi NU untuk menangguk dukungan.
Figur Imam Aziz muncul sebagai promotor Musyarah Besar (Mubes) warga NU untuk memberikan alarm kepada elite NU saat itu. Pesannya jelas, peringatan kepada elite NU untuk tidak menyeret warganya ke dalam permainan politik praktis terlalu jauh.
Dalam suasana kegamangan menjelang pelaksanaan Mubes warga NU tersebut, saya bersama senior saya, Abdul Mun’im, sowan kepada Ajengan Ilyas Ruchiyat di Pesantren Cipasung. Tujuan kami untuk meminta petunjuk dan –yang paling penting– minta doa restu. Waktu itu beliau menasihati kami, “Anak muda itu jangan hanya bisa membongkar, tapi juga bisa memasang.”
Nasihat tersebut saya pahami bahwa sebagai angkatan muda, di samping mampu menganalisis situasi sosial juga harus mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap permasalahan.
Selain terus saya ingat, nasihat Ajengan Ilyas ini juga yang saya jadikan kacamata untuk memandang sosok pemimpin, termasuk Mas Imam. Terang saja, dengan kacamata ini, tampak jelas kepemimpinannya, karena dia tipe orang yang bukan hanya mau memahami masalah dengan baik, namun juga turut memberikan solusi. Mau membongkar jika terjadi ketidakberesan, tapi juga melakukan perbaikan.
Terbukti ketika masuk di jajaran kepengurusan PBNU, Mas Imam menunjukkan keteladanannya sebagai pemimpin yang mau tandang, hadir untuk menyaksikan, mendengar dan merasakan apa yang terjadi secara langsung di lapangan, tidak hanya duduk manis ongkang-ongkang kaki.
Banyak cerita keterlibatannya dalam mendampingi warga di akar rumput, seperti pembelaan terhadap Kiai Aziz Surokonto Kendal yang dipenjarakan karena perjuangannya menggarap lahan. Juga pendampingannya terhadap warga Kampung Wadas di Purworejo.
Saat lembaga KPK, salah satu pilar integritas negara kita dilemahkan dengan adanya revisi UU KPK, Mas Imam turut hadir bersama tokoh lintas agama tampil menyuarakan tuntutan penolakan, meskipun rezim saat itu bergeming degan seruan para tokoh itu.
***
Obrolan kami terakhir bersama Mas Imam terjadi ketika momen lebaran tahun 2025. Alhamdulillah, saya diberikan kesempatan silaturahmi di rumahnya, bersama rombongan dari teman-teman GUSDURian. Setelah sejenak berbasa-basi, obrolan kami tak dapat menghindar dari persoalan politik kenegaraan.
“Dari dulu sampai sekarang, negara kita itu tidak berubah seperti halnya negara teater,” begitu Mas Imam berkisah. Istilah ini dipinjamnya dari Clifford Geertz untuk watak pemerintah yang hanya menyanjung ritualitas berbiaya mahal dan harus dibebankan kepada rakyatnya.
“Saya mengamati sendiri banyak pejabat kita yang hanya sibuk untuk urusan seremonial, datang di acara dengan sambutan yang berbiaya mahal, sekedar untuk foto-foto, habis itu pulang, dan tak pernah peduli lagi apakah programnya jalan atau tidak,” begitu Mas Imam bercerita, dan tanpa dikomando kami pun kompak menertawainya bersama.
Lebih konkretnya, dia memberi contoh tentang nasib petani sawit yang belakangan menjadi perhatiannya. Dia sempat turun ke lapangan hingga ke Papua, dan menyaksikan sendiri bagaimana sawit yang dihasilkan para petani harus dibuang karena tidak dapat terolah akibat banyak pabrik yang dulu pernah didirikan pemerintah sudah tidak beroperasi lagi karena rusak. Bahkan di daerah Riau, ada ratusan pabrik yang sudah mangkrak.
Di mata Mas Imam, agrikultur merupakan salah satu sektor yang menjadi kekuatan ekonomi Indonesia, dan termasuk sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Sayangnya, para pejabat kita tidak mau bersusah payah membangun system untuk menyelamatkan perekonomian rakyat kecil.
Sebelum kami berpamitan, Mas Imam berpesan untuk tetap menyuarakan nilai dan prinsip demokrasi serta keadilan. Pesan itu sama halnya lampu mercusuar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah suasana “gelap” dan sarat ketidakpastian seperti sekarang ini.
Demikian, dari setiap pertemuan dengan Mas Imam, selalu ada kebijaksanaan yang bisa dipetik. Tidak hanya di saat muda, tapi hingga akhir hayatnya. Kebijaksanaan yang lahir dari seorang pemimpin karena mau menjalani proses pembelajaran sepanjang hidup.
Saya pribadi termasuk penganut ujaran: “nama kinarya japa”, sebuah nama menyiratkan doa. Bisa jadi penilaian saya terhadap Mas Imam berlebihan, tapi saya meyakini Gusti Allah telah mengabulkan doa ayahnya, Kiai Abdul Aziz, yang disematkan pada nama anak sulungnya: Imam, yang berarti pemimpin. Sehingga sepanjang hidup Mas Imam harus menjalani takdir menjadi pemimpin. Wallahu a’lam.









