Tak Hanya Tambang, Proyek Tambak juga Mengancam Hutan di Pesisir

Tuhan tidak perlu dibela, tapi ciptaan-Nya jangan dizalimi.

Kalimat itu bukan sekadar kutipan, tapi cermin dari kegelisahan. Di pesisir utara Jawa Barat, hutan mangrove yang telah lama menjadi pelindung kini ditebang. Diganti tambak nila yang katanya demi ketahanan pangan. Lewat SK Menteri Kehutanan No. 274 Tahun 2025, lebih dari 20 ribu hektare kawasan lindung disulap menjadi zona produksi.

Kita seolah diminta percaya bahwa semua ini untuk kebaikan bersama, padahal yang paling awal merasakan dampaknya justru mereka yang paling lemah: nelayan kecil, warga pesisir, dan anak-anak yang kehilangan pelindung dari laut yang kian garang.

Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta, maka mangrove adalah bagian dari ciptaan-Nya yang layak dihormati. Ia bukan sekadar pepohonan, melainkan sistem kehidupan: menyerap karbon, menjadi rumah bagi ikan-ikan muda, menahan abrasi, menenangkan gelombang. Tapi di mata kebijakan, semua itu tampaknya tak lebih dari ‘lahan kosong’ yang bisa diratakan atas nama pembangunan. Ini bukan sekadar krisis ekologi. Ini juga soal ketauhidan yang kehilangan kepekaan sosial.

Di atas kertas, proyek tambak ini menjanjikan angka-angka: produksi ikan naik, investasi meningkat, pendapatan daerah tumbuh. Tapi siapa yang benar-benar diuntungkan? Proyek besar sering kali seperti pesta pernikahan mewah—ramai, megah, dan penuh janji. Namun tamu undangan utamanya, yakni masyarakat lokal, hanya jadi penonton. Mereka kehilangan sumber air bersih, tempat mencari nafkah, dan jejak kehidupan yang dulu akrab dengan pohon bakau. Sementara itu, yang kenyang tetap mereka yang punya modal, kuasa, dan akses ke keputusan.

KH. Abdurrahman Wahid, atau yang kita kenal dengan Gus Dur, pernah membuat pernyataan “hutan untuk rakyat”. Artinya, kelompok yang seharusnya paling berwenang dan memiliki kepentingan paling besar pada hutan adalah masyarakat lokal yang ada di sekitarnya. Hutan adalah ruang hidup mereka turun temurun. Dalam konteks hutan bakau atau mangrove, berarti masyarakat pesisir adalah kelompok yang paling mengerti kebutuhannya sendiri atas hutan tersebut.

Pembangunan, jika benar untuk semua, mestinya tak perlu menyingkirkan yang lemah. Apalagi pilihan lain tersedia: lahan tidur, bekas tambak mangkrak, atau zona-zona yang memang tak menyandang status lindung. Tapi keadilan sering kalah oleh kepraktisan. Yang penting cepat, yang penting untung, yang penting proyek jalan terus. Kita jadi lupa bahwa pembangunan bukan sekadar soal infrastruktur atau output ekonomi, tapi juga soal nilai—nilai keberpihakan, keadilan, dan keberlanjutan.

Kita juga lupa bahwa bangsa ini tumbuh dari tradisi yang arif pada alam. Masyarakat pesisir punya pengetahuan turun-temurun tentang pentingnya mangrove, bukan sebagai hambatan, tapi pelindung. Tapi kini, demi gengsi proyek nasional, akar-akar itu diputus. Seolah nilai-nilai keadilan, persaudaraan, dan kepekaan pada sesama tak lagi penting, tergantikan oleh jargon pertumbuhan.

Di tengah semua ini, kita perlu bertanya kembali: masihkah kita punya keberanian untuk bersuara? Atau kita akan terus diam, membiarkan hutan ditebang demi nila, gunung digali demi tambang, laut ditimbun demi properti? Persoalan ini bukan hanya milik nelayan atau aktivis lingkungan. Ini tentang kita semua—karena jika abrasi datang, kita satu perahu di laut yang sama.

Kalau Gus Dur masih hidup, mungkin beliau hanya akan tersenyum tipis dan berkata: “Lha wong Tuhan saja ngasih laut dan pohon gratis, kok malah kamu jual-jualin demi proyek.”

Karena itu, mari kita jaga yang masih tersisa. Mari bangun tanpa menghancurkan. Mari bicara meski pelan. Karena diam, dalam banyak hal, bisa jadi bentuk ikut serta.






Bahan Bacaan:

Antara News. 2022. “90 Persen Hutan Mangrove di Pantura Jabar Rusak.” Antara, 23 Juni 2022. https://www.antaranews.com/berita/2951661/90-persen-hutan-mangrove-di-pantura-jabar-rusak

Betahita. 2022. “90 Persen Mangrove di Pantura Jabar Rusak.” Betahita, 23 Juni 2022. https://betahita.id/news/lipsus/7704/90-persen-mangrove-di-pantura-jabar- rusak.html?v=1655942963

Betahita. 2024. “20.000 Ha Hutan Mangrove Pantura Akan Dimusnahkan Demi Tambak.” Betahita, 22 Juli 2024. https://betahita.id/news/detail/11258/20-000-ha-hutan-mangrove-pantura- akan-dimusnahkan-demi-tambak.html

Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. 2024. Laporan Tahunan Kerusakan Mangrove Pantura. Bandung: DLH Jabar.

FAO (Food and Agriculture Organization). 2021. The State of World Fisheries and Aquaculture 2020. Roma: FAO. https://www.fao.org/publications/sofia/2020

Giri, Chandra, John Long, Larry L. Tieszen, et al. 2019. “Mangrove Forest Distributions and Dynamics (1984–2020).” Global Ecology and Biogeography 30(4): 698–712. https://doi.org/10.1111/geb.13262

Greenpeace Indonesia. 2024. Mangrove: Benteng Terakhir Pesisir Indonesia. Diakses dari https://www.greenpeace.org/indonesia/

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 2023. Statistik Mangrove Indonesia. Jakarta: KLHK.

Siregar, Rudi. 2025. Hutan Lindung dan Ketahanan Pangan: Konflik Kepentingan dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam. Yogyakarta: Pustaka Maritim.

Wibowo, Ahmad, dan Budi Hermawan. 2022. “Krisis Ekologi dan Pembangunan Pesisir: Studi Kasus Tambak di Indramayu.” Jurnal Sosial Maritim 4(2): 87–99.

Yayasan LKiS. 2010. 9 Nilai Utama Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.

Alumnus Creator Academy GUSDURian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *