Di Balik Tengkorak Topi Jerami: Membaca One Piece dari Kacamata Gus Dur

Belakangan ini, tren mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak bertopi jerami sedang ramai dilakukan. Beberapa politisi dan pejabat bahkan memberi respons serius dan menganggapnya sebagai memecah belah bangsa. Publik menganggap pengibaran bendera ini sebagai bentuk protes atas kinerja pemerintah yang buruk. Tapi tahukah kita, kalau bendera yang biasa disebut Jolly Roger itu sebenarnya berasal dari manga atau komik Jepang berjudul One Piece?

Dalam dunia One Piece, Jolly Roger bukan sekadar lambang bajak laut yang menyeramkan. Di tangan Monkey D. Luffy dan kru Topi Jerami, karakter utamanya, simbol ini menjadi penanda idealisme, kebebasan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan struktural terhadap pemerintah dunia. Dalam manga karangan Eiichiro Oda tersebut, pemerintah dunia digambarkan sebagai kekuatan elite yang mampu melakukan cara-cara kotor sekalipun untuk menciptakan apa yang mereka percayai sebagai “keadilan”.

Di sisi lain, simbol ini juga dapat dibaca dari sudut pandang nilai-nilai kebangsaan, khususnya nilai-nilai yang diwariskan Sang Bapak Bangsa: Gus Dur. Simbol Jolly Roger dapat dibaca sebagai manifestasi fiktif dari perjuangan etis yang sejalan dengan nilai-nilai Gus Dur di dunia nyata.

Sementara itu, di Jaringan GUSDURian, nilai-nilai tersebut menjadi kompas gerakan yang menuntun para penerus perjuangan Gus Dur untuk mengupayakan keadilan, terpenuhinya hak-hak masyarakat, dan penguatan masyarakat sipil. Pada Temu Nasional 2022 di Surabaya, Jaringan GUSDURian menyepakati delapan isu prioritas yang terinspirasi dari nilai, perjuangan, keteladanan Gus Dur yang masih relevan dengan masalah-masalah hari ini. Delapan isu tersebut meliputi (1) Penguatan toleransi dan perdamaian; (2) Penguatan hukum, keadilan, dan HAM; (3) Keadilan ekologi; (4) Pendidikan berkualitas dan membebaskan; (5) Perwujudan keadilan hakiki dan ketangguhan keluarga, perempuan, dan anak; (6) Peningkatan kualitas demokrasi; (7) Pemenuhan keadilan ekonomi dan sosial; serta (8) Pribumisasi Islam.

Jika kita lihat lebih dalam, delapan isu ini sebenarnya juga tidak jauh-jauh dari perjuangan Kru Topi Jerami di dunia One Piece. Jika di GUSDURian menjadikan Gus Dur dan nilai-nilainya sebagai simbol, di dunia One Piece simbol itu bernama Jolly Roger. Lalu, irisan apa saja yang mempertemukan dua simbol tersebut?

Penguatan Toleransi dan Perdamaian

Kru Topi Jerami adalah representasi kuat dari komunitas yang menghidupi nilai keberagaman dan saling menghargai. Toleransi di antara para anggota, dari manusia rusa hingga manusia ikan, dibangun tanpa sekat prasangka dan diskriminasi. Ini mencerminkan pemikiran Gus Dur bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan aset bangsa (Fauzi, 2012). Dalam One Piece, Luffy tak pernah menolak seseorang bergabung karena ras, bentuk tubuh, atau latar belakang, melainkan karena semangat perjuangan yang sama. Hal ini sejalan dengan doktrin pluralisme Gus Dur yang menekankan pentingnya kohesi sosial melalui penerimaan terhadap perbedaan (Arif, 2010).

Toleransi dalam One Piece juga diwujudkan dalam hubungan antarkarakter yang berasal dari bangsa-bangsa berbeda. Di pulau-pulau seperti Skypiea dan Fishman Island, kita menyaksikan bagaimana krisis sosial muncul karena rasisme dan ketakutan terhadap “yang lain”. Namun, Jolly Roger yang dikibarkan oleh Luffy hadir untuk meruntuhkan batas-batas identitas ini. Ini menjadi representasi dari model intercultural citizenship yang diusung oleh Gus Dur, di mana masyarakat ideal dibangun atas dasar penerimaan dan cinta kasih (Wahid, 2016). Maka, simbol Jolly Roger menegaskan bahwa perdamaian lahir dari keberanian untuk menerima yang berbeda. 

Penguatan Hukum, Keadilan, dan HAM

Dalam narasi One Piece, Pemerintah Dunia digambarkan sebagai institusi yang menyalahgunakan hukum demi kepentingan elite penguasa. Sistem peradilan yang timpang serta dominasi angkatan laut atas nama “keamanan global” menunjukkan bagaimana hukum bisa dijadikan alat kekuasaan. Hal ini menggambarkan bentuk legal authoritarianism yang juga dikritik keras oleh Gus Dur selama masa pemerintahannya (Effendy, 2001). Sebaliknya, bajak laut yang tergabung dalam aliansi Topi Jerami justru menegakkan keadilan dengan mengandalkan moralitas dan empati. Jolly Roger dalam konteks ini menjadi simbol perlawanan terhadap hukum yang tidak adil, dan menyerukan pentingnya hak asasi manusia.

Contoh konkretnya adalah saat Luffy dan kawan-kawan membebaskan Robin dari eksekusi Pemerintah Dunia yang tak berdasar. Mereka mempertaruhkan nyawa demi satu prinsip: tidak ada seorang pun boleh dihukum karena berpikir atau karena mengetahui sejarah. Ini merefleksikan konsep rule of law yang menjunjung hak asasi setiap individu sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 dan ditegaskan Gus Dur selama reformasi (Ali-Fauzi, 2014). Hak sipil dan politik yang dijamin konstitusi sering kali dilanggar oleh negara sendiri, dan ini paralel dengan dunia fiktif One Piece. Maka, simbol bajak laut menjadi representasi suara rakyat kecil yang menolak tunduk pada kezaliman.

Keadilan Ekologi

Keadilan ekologi menjadi tema penting dalam banyak arc di One Piece, seperti di pulau Drum, Little Garden, hingga Skypiea. Eksploitasi alam yang dilakukan para penguasa demi emas atau sumber daya mencerminkan kerakusan kapitalistik yang merusak keseimbangan alam. Dalam teori ekologi politik, hal ini disebut sebagai bentuk eksternalisasi kerusakan lingkungan oleh elite kepada masyarakat miskin (Martinez-Alier, 2002). Gus Dur sendiri menekankan pentingnya pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan, serta menghargai hubungan manusia dengan alam (Nasr, 2004). Jolly Roger di sini menjadi simbol pembebasan dari pola relasi eksploitatif terhadap bumi.

Kru Topi Jerami tidak hanya melawan eksploitasi terhadap manusia, tetapi juga terhadap lingkungan. Mereka berjuang melawan sistem yang merusak alam dan menjajah masyarakat lokal. Dalam banyak kesempatan, mereka memulihkan harmoni antara manusia dan alam pasca-konflik, sebagaimana terlihat di arc Alabasta dan Zou. Ini mencerminkan prinsip keadilan ekologis yang mendorong hubungan timbal balik yang etis antara manusia dan lingkungan hidup (Lovelock, 2000). Dengan demikian, bendera bajak laut di sini tidak sekadar mengancam, melainkan menjadi lambang penyembuhan bagi bumi yang terluka.

Pendidikan Berkualitas dan Membebaskan

Robin adalah satu-satunya arkeolog yang menguasai sejarah sejati dunia, tetapi pengetahuannya dianggap sebagai ancaman. Pemerintah Dunia memusnahkan pulau Ohara dan para cendekiawan demi menghapus sejarah yang tak sesuai narasi resmi. Ini mencerminkan realitas represi terhadap kebebasan akademik yang juga dialami dalam rezim otoriter di dunia nyata (Said, 2000). Gus Dur menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan dan mencerdaskan, bukan sekadar menjejalkan ideologi negara (Tilaar, 2003). Jolly Roger menjadi simbol pendidikan alternatif—yang lahir dari keberanian mencari kebenaran meskipun harus melawan arus.

Dalam semesta One Piece, pendidikan menjadi medan konflik antara kekuasaan dan kebebasan berpikir. Ketika akses terhadap pengetahuan dimonopoli, masyarakat menjadi rentan terhadap manipulasi. Luffy dan krunya justru mendorong pembebasan melalui pemahaman, baik atas sejarah maupun kondisi sosial. Ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang pedagogi kritis yang juga diadopsi Gus Dur dalam visi pendidikannya. Maka, simbol bajak laut tak lain adalah simbol guru alternatif yang melawan pembodohan sistemik.

Keadilan untuk Perempuan, Anak, dan Keluarga

Karakter-karakter perempuan seperti Nami, Robin, dan Hancock mengalami kekerasan struktural dan psikologis akibat sistem yang patriarkal dan manipulatif. Namun, mereka bukan korban abadi. Mereka bangkit sebagai tokoh utama yang memegang kendali atas hidupnya. Ini mencerminkan perjuangan feminisme gelombang ketiga yang menekankan pemberdayaan perempuan dalam sistem yang tidak adil (Hooks, 2000). Gus Dur memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan anak dengan pendekatan humanistik yang menekankan martabat kemanusiaan (Wahid, 2010).

Luffy dan kru tidak pernah memandang perempuan sebagai objek atau pihak yang lemah. Mereka selalu menempatkan perempuan sebagai individu yang setara dalam keputusan dan perjuangan. Pendekatan ini mencerminkan prinsip gender justice yang menjadi salah satu fondasi nilai keislaman yang diperjuangkan Gus Dur. Dalam konteks keluarga pun, kru Topi Jerami membentuk ikatan yang erat dan saling mendukung, walau tanpa ikatan darah. Ini menunjukkan bahwa keluarga tidak melulu berbasis biologis, tapi bisa dibangun atas dasar solidaritas dan cinta, sebagaimana konsep keluarga sosial yang inklusif (Nussbaum, 2000).

Peningkatan Kualitas Demokrasi

Demokrasi dalam semesta One Piece kerap dimanipulasi oleh otoritas seperti Pemerintah Dunia dan raja-raja boneka yang tidak mewakili aspirasi rakyat. Contoh nyata terlihat pada Dressrosa, di mana Raja Riku digulingkan oleh Doflamingo dengan kekerasan, dan warga dibungkam melalui propaganda. Situasi ini mencerminkan demokrasi yang terkooptasi oligarki dan kapitalisme, sebuah fenomena yang juga diidentifikasi oleh Chomsky (2002) sebagai manufacturing consent. Dalam konteks Indonesia, Gus Dur berupaya memulihkan demokrasi substansial setelah era Orde Baru dengan menekankan partisipasi rakyat secara luas dan inklusif. Simbol Jolly Roger dalam hal ini menjadi lambang perlawanan terhadap demokrasi semu dan menyerukan keterlibatan rakyat secara langsung dalam menentukan nasibnya.

Luffy dan rekan-rekannya tidak hanya menumbangkan rezim diktator, tetapi juga membantu mengembalikan kedaulatan rakyat, seperti yang terjadi di Arabasta dan Enies Lobby. Mereka tidak mengklaim kekuasaan pasca-revolusi, tetapi mengembalikannya kepada masyarakat. Ini sejalan dengan prinsip deliberative democracy di mana partisipasi aktif rakyat menjadi kunci dalam pengambilan keputusan. Gus Dur sangat percaya bahwa demokrasi tidak cukup hanya prosedural melalui pemilu, tetapi harus substantif dengan melibatkan rakyat dalam setiap level pengambilan keputusan. Oleh karena itu, Jolly Roger menjadi ikon fiksi dari gerakan sipil yang membangun ruang demokrasi secara partisipatif.

Nilai demokrasi yang dibawa oleh simbol bajak laut menolak pengkultusan individu dan menolak sentralisasi kekuasaan. Meskipun Luffy adalah kapten, ia tidak pernah bersikap otoriter. Setiap anggota kru memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat, bahkan menentang keputusan sang kapten. Hal ini mencerminkan praktik demokrasi deliberatif yang bersifat egaliter dan dialogis sebagaimana yang dikembangkan dalam budaya santri dan pesantren, tempat Gus Dur tumbuh (Zamzami, 2012). Dengan demikian, Jolly Roger menjadi antitesis dari absolutisme dan metafora untuk sistem yang lebih terbuka dan manusiawi.

Pemenuhan Keadilan Ekonomi dan Sosial

Di banyak wilayah dalam One Piece, rakyat hidup dalam kemiskinan struktural akibat eksploitasi ekonomi oleh elite lokal maupun internasional. Contohnya terlihat di pulau Sabaody dan Alabasta, di mana sistem ekonomi sengaja didesain untuk memperkaya segelintir pihak. Hal ini menunjukkan bentuk economic injustice yang dalam konteks dunia nyata sering kali direproduksi melalui kebijakan neoliberal yang eksploitatif (Harvey, 2005). Gus Dur dalam kebijakan-kebijakannya memperjuangkan distribusi ekonomi yang adil dan berbasis kerakyatan, dengan penekanan pada penguatan ekonomi lokal (Syamsuddin, 2010). Oleh karena itu, Jolly Roger menjadi simbol perlawanan terhadap sistem ekonomi yang timpang.

Kru Topi Jerami tidak pernah mengumpulkan harta untuk akumulasi kapital. Mereka justru menggunakan kekuatan mereka untuk membebaskan komunitas tertindas dan mengembalikan akses terhadap sumber daya kepada rakyat. Ini mencerminkan gagasan ekonomi alternatif yang menolak logika kapitalistik murni dan mengedepankan prinsip gotong royong dan keadilan distributif. Gus Dur juga mendorong prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mengedepankan keadilan, keseimbangan, dan tidak menimbulkan ekses sosial. Dengan demikian, simbol bajak laut bukanlah lambang kekacauan ekonomi, melainkan kritik tajam terhadap sistem yang menindas rakyat.

Pemenuhan keadilan sosial juga tampak dalam sikap kru Topi Jerami terhadap kelompok marjinal seperti manusia ikan atau budak Tenryuubito. Mereka membela kaum lemah dan memperjuangkan penghapusan sistem kasta yang menyudutkan kelompok tertentu. Ini sejalan dengan perjuangan Gus Dur dalam membela hak-hak kelompok minoritas sosial seperti etnis Tionghoa dan kaum difabel. Dalam pemikiran keadilan sosial kontemporer, hal ini mencerminkan pendekatan berbasis hak (rights-based approach) yang mengakui semua warga sebagai pemilik hak ekonomi dan sosial yang setara (Rawls, 2003). Maka, simbol Jolly Roger menyuarakan revolusi sosial yang menyentuh akar ketimpangan ekonomi.

Pribumisasi Islam

Meski berasal dari karya budaya pop Jepang, One Piece mengandung nilai-nilai universal seperti kejujuran, kesetiaan, keberanian, dan solidaritas—semua ini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam konteks Indonesia, Gus Dur memperkenalkan gagasan pribumisasi Islam, yaitu upaya untuk mengharmoniskan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensi keagamaannya. Prinsip ini mendorong Islam yang membumi, ramah, dan terbuka terhadap kearifan lokal. Jika kita melihat Jolly Roger sebagai lambang perjuangan etis, maka ia bisa menjadi sarana reflektif dalam memaknai nilai-nilai Islam dalam konteks kontemporer yang inklusif dan humanis.

Luffy dan krunya tidak menyebarkan ideologi tunggal, melainkan memperjuangkan nilai-nilai yang dapat diterima semua orang tanpa paksaan. Mereka tidak memperjuangkan supremasi satu kelompok atas yang lain, tetapi mengedepankan martabat, kebebasan, dan tanggung jawab. Ini serupa dengan pendekatan Gus Dur dalam melihat Islam sebagai ethic of liberation—agama yang membebaskan bukan menindas (Abdullah, 2015). Dalam ruang multikultural seperti Indonesia, pendekatan semacam ini sangat penting untuk merawat keberagaman. Jolly Roger, dalam konteks ini, bisa dimaknai sebagai bendera simbolik dari nilai-nilai Islam yang tidak eksklusif dan tidak memaksa.

Melalui pribumisasi Islam, Gus Dur menolak Islam yang dogmatis dan kaku, serta mendorong narasi keberislaman yang mampu berdialog dengan realitas sosial. Simbol Jolly Roger yang fleksibel dan terbuka terhadap interpretasi mencerminkan semangat tersebut. Ia bukan lambang agama, tetapi bisa menjadi metafora bagi nilai-nilai spiritual yang inklusif, adaptif, dan membebaskan. Ini menunjukkan bahwa agama dan simbol budaya populer bisa berdialog secara kreatif selama keduanya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Maka, dalam pembacaan semiotik yang progresif, Jolly Roger dapat menjadi bagian dari narasi Islam Nusantara yang diperjuangkan Gus Dur.

Kesimpulan

Membaca simbol Jolly Roger dalam One Piece dari perspektif nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur membuka ruang dialog antara budaya populer dan nilai-nilai kemanusiaan. Di balik visual tengkorak bertulang itu, tersimpan pesan-pesan tentang keadilan, kebebasan, toleransi, dan perjuangan melawan tirani. Gus Dur, dengan warisan intelektual dan moralnya, telah meletakkan fondasi etika yang relevan untuk membaca ulang simbol-simbol kontemporer dengan pendekatan humanistik. Dunia fiksi ternyata mampu mencerminkan kegelisahan dan harapan yang nyata, bahkan mampu menginspirasi perubahan sosial yang berakar dari nilai. Maka, Jolly Roger bukan hanya bendera bajak laut, melainkan metafora bagi perjuangan membangun peradaban yang lebih adil dan berperikemanusiaan.







Daftar Pustaka

Abdullah, I. 2015. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ali-Fauzi, I. 2014. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Arif, S. (2010). Pluralisme dalam Pandangan Gus Dur. Jakarta: Penerbit Kompas.

Chomsky, N. 2002. Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda. New York: Seven Stories Press.

Effendy, B. 2001. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Fauzi, M. 2012. Gus Dur: Islam, Pluralisme, dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harvey, D. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

Hooks, B. 2000. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. Cambridge: South End Press.

Lovelock, J. 2000. Gaia: A New Look at Life on Earth. Oxford: Oxford University Press.

Martinez-Alier, J. 2002. The Environmentalism of the Poor. Cheltenham: Edward Elgar.

Nasr, S. H. 2004. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Chicago: Kazi Publications.

Nussbaum, M. C. 2000. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Rawls, J. 2003. Justice as Fairness: A Restatement. Cambridge: Harvard University Press.

Said, E. 2000. Reflections on Exile and Other Essays. Harvard University Press.

Syamsuddin, M. R. 2010. Ekonomi Kerakyatan dan Kebijakan Publik. Jakarta: LP3ES.

Tilaar, H. A. R. 2003. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Wahid, Y. 2016. Islam Rahmatan Lil Alamin: Gagasan Gus Dur Tentang Pluralisme dan Toleransi. Jakarta: Wahid Foundation.

Zamzami, Z. (2012). Pesantren dan Politik Kebangsaan Gus Dur. Jakarta: Pustaka Tokoh Bangsa.

Pegiat literasi dan pecinta Gus Dur. Aktif di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *