“Benarkah bendera Merah Putih terlalu suci untuk dikibarkan di negeri ini, sementara pemerintah justru menjadi sarang koruptor, hasil bumi dijual, data negara diperdagangkan, dan rakyat terus dirampok?”
Di sebuah negeri yang katanya demokratis, simbol bajak laut dari anime fiksi bisa bikin pejabat negara panik luar biasa. Belum lagi dikibarkan serempak, baru beredar di media sosial saja, sudah membuat gedung parlemen heboh, para politikus sudah mulai membahas kemungkinan makar, dan aparat hukum pun mulai ancang-ancang menjerat rakyat dengan pasal pidana. Ironis, ketika pemerintah terlihat begitu sigap menyikapi selembar kain bergambar tengkorak bertopi jerami, tapi justru lalai saat berhadapan dengan para koruptor berdasi yang merampok uang rakyat dalam senyap.
Bendera One Piece yang dikibarkan sebagian masyarakat dalam momentum Hari Kemerdekaan ke-80 bukanlah bentuk penghinaan terhadap negara. Sebaliknya, itu adalah ekspresi dari rasa frustasi dan kecewa terhadap kondisi negeri yang kian hari kian jauh dari rasa keadilan. Mereka tidak merasa merdeka. Mereka merasa dijajah, bukan oleh bangsa lain, tetapi oleh sistem yang korup dan pejabat yang tak tersentuh hukum.
Namun, alih-alih mendengarkan, pemerintah memilih meradang. Dalam wawancara Kompas TV, anggota DPR RI, Firman Subagyo, mengungkapkan kekhawatiran bahwa aksi ini bisa mengarah pada bentuk makar.
“Itu ada diskusi di DPR dan menyinggung isu mengenai bendera One Piece yang sedang marak dikibarkan. Kami khawatir bentuk ekspresi berlebihan yang bisa menimbulkan provokasi ini juga ujung-ujungnya dapat menimbulkan makar. Kita harus berhati-hati karena konflik besar, bisa terjadi dari perihal yang kecil. Dikhawatirkan akan terjadi konflik di masyarakat,” ujarnya.
Benar bahwa kewaspadaan diperlukan, tapi apakah ekspresi rakyat harus selalu dibaca dengan kacamata kecurigaan?
Sikap ini dikritik keras oleh Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur. Dalam wawancara yang sama, Isnur dengan tenang menyampaikan bahwa reaksi pemerintah terlalu berlebihan. Ia mengajak pemerintah belajar dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang justru mendekat kepada rakyat saat menerima kritik. Bagi Gus Dur, kritik adalah pintu untuk mengenali luka yang sedang dirasakan masyarakat.
“Pemerintah harus belajar dari Gus Dur, yang mendengar kritik masyarakat dengan santai, dan justru mencoba mengenali dan memahami apa masalah yang membuat hal itu terjadi. Bagi YLBHI ini adalah bentuk semangat warga, kepedulian masyarakat, partisipasi rakyat untuk mereka bertanya dan mengkritik tentang jalannya kebangsaan ini. Menurut saya sendiri selaku penggemar animasi One Piece memahami makna bahwa kami siap bergabung dalam partisipasi melawan ketidakadilan, jangan memahami secara berlebihan apalagi sampai menilai itu adalah makar,” tegas Isnur.
Ia juga menyampaikan bahwa mengibarkan bendera One Piece justru bentuk semangat rakyat untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan ketidakadilan. “Justru menurut saya harusnya pejabat negara peka terhadap apa yang dirasakan rakyat sehingga mereka bisa menyuarakan dengan simbolnya mereka,” tambahnya.
Bukankah itu esensi kemerdekaan yang sesungguhnya?
Sayangnya, semangat kritis warga malah dibalas dengan ancaman pidana. Padahal, di saat yang sama, kita menyaksikan pejabat yang terbukti korupsi masih bisa tersenyum lebar di persidangan. Beberapa malah mendapatkan keringanan hukuman karena alasan-alasan absurd seperti “bersikap sopan” atau “sudah mengembalikan sebagian kerugian negara”. Sementara itu, rakyat kecil harus berhadapan dengan jerat hukum yang kaku hanya karena simbol fiksi.
Ketimpangan penegakan hukum ini semakin mencolok. Jika rakyat mengibarkan bendera bajak laut dianggap berpotensi makar, bagaimana dengan para pembajak anggaran negara? Bukankah mereka jauh lebih nyata merusak sendi-sendi kehidupan bangsa? Mereka bukan karakter fiksi. Mereka nyata, punya jabatan, punya kuasa, dan punya akses untuk memanipulasi hukum.
Lebih jauh lagi, pemerintah juga tampak tak cukup serius menyelesaikan isu-isu mendasar seperti kemiskinan, nepotisme, perusakan lingkungan, atau krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Semuanya seperti berjalan di tempat, atau bahkan mundur. Tapi ketika simbol fiksi muncul, reaksinya bisa seolah negara sedang dalam ancaman serius. Ketimpangan prioritas ini sangat kentara: hukum tegas hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas.
Kita sedang hidup di era ketika simbol-simbol lebih diributkan ketimbang substansi. Ketika ekspresi kritik dibaca sebagai ancaman, bukan sebagai ajakan berdialog. Ketika pemerintah lebih memilih menindak “bendera bajak laut fiksi” ketimbang memberantas para pembajak duit negara yang nyata-nyata merugikan jutaan rakyat.
Mengibarkan bendera bukan hanya soal simbol, tapi tentang harapan dan suara yang ingin disampaikan. Jika suara rakyat terus dianggap ancaman, maka jarak antara rakyat dan pemerintah akan semakin lebar. Mungkin sudah waktunya pejabat belajar: mendengar tak akan pernah lebih berbahaya daripada membungkam.









