Indonesia bukan hanya rumah bagi keberagaman budaya, tetapi juga panggung bagi dinamika keagamaan yang kompleks. Di tengah kemajemukan ini, ideal toleransi menjadi pilar penting dalam membangun kehidupan berbangsa yang damai. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, marak fenomena intoleransi, ujaran kebencian, dan polarisasi identitas yang mengancam semangat kebinekaan. Krisis ini mengundang refleksi mendalam tentang cara beragama dan bernegara yang lebih sehat, inklusif, dan manusiawi. Salah satu sosok yang relevan dalam perenungan ini adalah KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur.
Gus Dur tidak hanya dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim dan Presiden Indonesia keempat, tetapi juga sebagai pengusung nilai-nilai Smiling Islam. Konsep ini mewakili Islam yang inklusif, terbuka, penuh welas asih, dan tidak kaku dalam menyikapi perbedaan. Dalam berbagai tulisannya, Gus Dur menekankan bahwa agama harus menjadi sumber kedamaian, bukan konflik (Wahid 2001). Melalui pendekatan kultural dan spiritual, ia memperkenalkan wajah Islam yang bersahabat, bahkan mampu menertawakan dirinya sendiri. Nilai-nilai inilah yang menjadi penting untuk dikaji ulang di tengah krisis toleransi yang semakin meruncing.
Fenomena intoleransi yang meluas dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari pergeseran cara masyarakat memahami agama dan kebangsaan. Berbagai studi menunjukkan meningkatnya sikap eksklusif keagamaan di kalangan muda, bahkan di lembaga-lembaga pendidikan formal (PPIM 2022). Hal ini diperparah oleh algoritma media sosial yang memperkuat ekokamar (echo-chamber) ideologis, mempersempit ruang dialog, dan menyuburkan radikalisme (Nisa 2020). Dalam konteks ini, pemikiran dan praktik keberagamaan Gus Dur menawarkan alternatif penting yang tidak hanya relevan secara moral, tetapi juga strategis dalam menjaga keutuhan bangsa. Esai ini akan menguraikan bagaimana Smiling Islam Gus Dur dapat menjadi warisan moral dan kultural yang perlu dihidupkan kembali di tengah krisis kebinekaan.
Smiling Islam yang Membebaskan dan Menggembirakan
Smiling Islam adalah istilah yang merangkum semangat keberislaman Gus Dur yang penuh kasih, terbuka, dan jenaka. Bagi Gus Dur, Islam bukan agama yang menakutkan atau menindas, melainkan agama yang membebaskan dan menggembirakan. Ajaran-ajaran Islam harus memerdekakan manusia dari ketakutan sosial, politik, dan spiritual. Dalam hal ini, Gus Dur memanifestasikan nilai-nilai Islam sebagai jalan welas asih dan keadaban, bukan sekadar formalisme hukum. Pendekatan ini berakar pada maqāṣid al-sharī‘ah yang menekankan pada kemaslahatan umat (Kamali 2008).
Gus Dur tidak memisahkan antara religiusitas dan kemanusiaan, melainkan menggabungkannya dalam praktik keagamaan yang santun. Ia memahami bahwa ekspresi keberagamaan tidak boleh menjauhkan manusia dari sesamanya. Dalam Islam yang tersenyum, Gus Dur menolak keras bentuk-bentuk ekspresi agama yang eksklusif, puritan, atau mengintimidasi pihak lain. Ia lebih memilih Islam yang mengundang tawa, dialog, dan penghargaan terhadap keragaman. Pendekatan inilah yang menjadikan Islam sebagai sumber kebahagiaan, bukan beban kehidupan.
Di masa kini, banyak umat Muslim muda yang cenderung terjebak dalam simbolisme dan identitas permukaan. Meningkatnya kesalehan simbolik ini tak selalu dibarengi dengan kedewasaan etis dalam hidup bermasyarakat. Di tengah kecenderungan ini, pendekatan Smiling Islam menjadi penting untuk dikedepankan. Islam yang ramah dapat menjadi penyeimbang di tengah kuatnya arus dakwah eksklusif berbasis ketakutan. Oleh karena itu, warisan Gus Dur patut dikontekstualisasi ulang untuk menjawab tantangan generasi hari ini.
Tantangan Pluralisme Hari Ini
Indonesia berdiri di atas fondasi kebinekaan yang telah diakui dalam konstitusi dan sejarahnya. Namun, realitas sosial-politik kontemporer menunjukkan gejala retaknya nilai-nilai pluralisme yang dulu dijunjung tinggi. Konflik horizontal berbasis agama dan etnis, pelarangan rumah ibadah, hingga politisasi identitas telah mencoreng wajah toleransi kita. Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kebinekaan jika tidak dirawat secara sadar dan konsisten. Gus Dur membaca hal ini jauh hari dan memberi peringatan keras akan bahaya intoleransi sistemik.
Salah satu penyebab utama melemahnya pluralisme adalah eksklusivisme agama yang menjalar melalui institusi sosial dan media. Data dari Wahid Foundation (2022) menunjukkan bahwa potensi intoleransi masih tinggi, terutama di kalangan anak muda. Selain itu, kurikulum pendidikan kita belum secara serius membekali siswa dengan wawasan kebangsaan dan penghargaan terhadap perbedaan. Akibatnya, generasi muda lebih rentan menjadi korban narasi tunggal dan radikalisme ideologis. Dalam kondisi ini, pendekatan Gus Dur menjadi sangat relevan untuk menghidupkan kembali etika keberagaman dalam sistem pendidikan.
Gus Dur tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak nyata dalam membela hak-hak kelompok minoritas. Ia pernah menyatakan bahwa “melindungi hak minoritas adalah bagian dari iman,” sebuah prinsip yang jarang dipegang oleh pemimpin keagamaan lain. Gus Dur mendobrak batas-batas mayoritas yang menindas, dan meyakini bahwa martabat kemanusiaan lebih tinggi daripada sekadar perbedaan keyakinan. Prinsip ini penting untuk diinternalisasi dalam kebijakan publik dan praksis sosial hari ini. Dengan meneladani Gus Dur, kita dapat membangun pluralisme yang bukan hanya konsep, tetapi praksis hidup sehari-hari.
Humor Gus Dur dan Kritik Sosial
Tawa bagi Gus Dur bukan sekadar ekspresi lelucon, tetapi cara mendalam dalam melawan ketidakadilan. Humor menjadi senjata sosial yang ampuh dalam mengkritik kekuasaan, meruntuhkan fanatisme, dan menyentuh hati publik. Dengan guyonannya yang khas, Gus Dur mampu menyampaikan kritik tajam tanpa menimbulkan permusuhan. Humor membuka ruang dialog yang sehat, bahkan di tengah ketegangan ideologis. Ini menjadi model komunikasi yang amat relevan di era keterbelahan seperti sekarang.
Budaya debat publik kita kini sering kali diwarnai oleh kemarahan, sinisme, dan polarisasi. Kehadiran humor ala Gus Dur bisa menjadi alternatif penyembuh dalam wacana publik yang penuh kebencian. Dalam banyak kesempatan, Gus Dur menertawakan diri sendiri, agamanya, bahkan bangsanya—bukan untuk meremehkan, tetapi untuk mengajak berpikir secara lebih dewasa. Tawa dalam hal ini menjadi bentuk refleksi, bukan pelarian. Hal ini diperkuat oleh riset Ziv (2010) yang menyatakan bahwa humor dapat memperkuat kohesi sosial dan mengurangi konflik antarkelompok.
Kekuatan Gus Dur terletak pada kemampuannya mengemas nilai-nilai kemanusiaan dalam narasi yang jenaka dan membumi. Ia membuktikan bahwa humor bukanlah penghalang bagi keseriusan berpikir. Dalam konteks Indonesia hari ini, di mana banyak orang mudah tersinggung dan gampang tersulut provokasi, pendekatan humoris dan santai ala Gus Dur sangat dibutuhkan. Tertawa adalah bentuk keberanian melawan kekakuan berpikir. Dan dalam hal ini, Gus Dur adalah pelopor Islam yang berani menertawakan diri untuk menyelamatkan orang lain.
Dari Gagasan ke Gerakan
Mewarisi Gus Dur tidak cukup hanya dengan mengutip kata-katanya atau mengunggah fotonya di media sosial. Warisan sejati Gus Dur terletak pada nilai-nilai yang ia perjuangkan dan tindakan-tindakan yang ia lakukan. Hal ini mencakup pembelaan terhadap kaum lemah, penghargaan terhadap perbedaan, dan keberanian melawan ketidakadilan. Smiling Islam bukan hanya ajaran, tetapi juga gerakan etis dan spiritual yang harus dihidupkan dalam keseharian. Oleh karena itu, setiap individu bisa menjadi “Gus Dur kecil” di ruangnya masing-masing.
Gerakan GUSDURian menjadi salah satu contoh nyata dari pewarisan nilai-nilai tersebut. Komunitas ini tidak hanya memperingati Gus Dur sebagai tokoh, tetapi melanjutkan perjuangannya melalui pendidikan, advokasi, dan kebudayaan. Mereka merawat nilai-nilai pluralisme melalui kegiatan lintas iman, literasi kebangsaan, dan penguatan masyarakat sipil. Dalam hal ini, GUSDURian menunjukkan bahwa Smiling Islam bisa menjadi basis gerakan sosial yang transformatif. Ini membuktikan bahwa warisan Gus Dur tidak mati, tetapi terus tumbuh.
Penting bagi generasi muda untuk tidak sekadar mengidolakan Gus Dur, tetapi menjadikan pemikirannya sebagai lensa dalam menghadapi tantangan zaman. Di tengah krisis etika politik dan fundamentalisme agama, ajaran Gus Dur dapat menjadi pegangan moral. Pendidikan yang menjunjung keberagaman, dakwah yang humanis, dan politik yang berkeadaban adalah cerminan dari warisan tersebut. Dengan semangat Smiling Islam, kita bisa membangun Indonesia yang bukan hanya toleran, tetapi juga bahagia. Sebab tawa Gus Dur adalah tawa kita, tawa untuk masa depan yang lebih manusiawi.
Di tengah maraknya intoleransi, eksklusivisme agama, dan krisis kebinekaan, pemikiran Gus Dur tentang Smiling Islam menjadi oase spiritual dan sosial yang sangat relevan. Islam yang ramah, terbuka, dan penuh humor bukan hanya mampu meredakan ketegangan, tetapi juga membangun kesadaran baru tentang pentingnya kemanusiaan. Melalui tawa dan tindakan nyatanya, Gus Dur menunjukkan bahwa agama dan keberagaman dapat bersatu dalam satu pangkuan kasih sayang.
Warisan Gus Dur tidak boleh berhenti pada simbol dan retorika. Ia harus ditanamkan dalam pendidikan, media, kebijakan publik, dan praktik sosial sehari-hari. Mewarisi Gus Dur berarti menghadirkan Islam yang memanusiakan dan membebaskan, bukan yang menakutkan dan membelenggu. Generasi muda memiliki peran penting untuk membawa semangat ini ke masa depan yang lebih inklusif. Sebab dalam tawa Gus Dur, terdapat kekuatan untuk menyembuhkan bangsa ini dari luka-luka perpecahan.
Daftar Pustaka
Kamali, Mohammad Hashim. 2008. Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.
Nisa, Eva F. 2020. “Social Media and the Birth of an Islamic Social Movement: ODOJ (One Day One Juz) in Indonesia.” Indonesia and the Malay World 48(140): 20–43.
PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat). 2022. Potret Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah dan Kampus. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Wahid Foundation. 2022. Laporan Tahunan Indeks Kota Toleran. Jakarta: Wahid Foundation.
Ziv, Avner. 2010. Personality and Sense of Humor. New York: Springer.









