Meneladani Nabi secara Konsekuen dalam Kepemimpinan dan Kehidupan Bernegara

Sebagai umat Muslim, kita patut berbangga menjadi umat Nabi Muhammad dan menjadikannya sebagai teladan dalam seluruh gerak-gerik kita, ucapan dan tingkah laku kita. Sebab tidak ada lagi akhlak, tidak ada lagi moralitas, gaya hidup (life style), yang paling mulia dan paling tinggi nilai-nilai kemanusiaannya dibanding dengan sikap Nabi Muhammad SAW.

Allah menyampaikan dalam Al-Qur’an sebagai rekomendasi mutlak, wa innaka la’ala khuluqin ‘azhim—sesungguhnya engkau Muhammad berada pada puncak ketinggian akhlak yang paling agung. Sehingga tidak heran Allah merekomendasikan setiap jengkal tubuh Nabi, sebagai makhluk yang paling mulia.

Allah merekomendasikan mata atau pandangan Nabi Muhammad yang tidak pernah sebelumnya direkomendasikan kepada nabi dan rasul yang lain. Allah berfirman, ma zaghal basharu wa ma thagha—sungguh pandangan (Nabi Muhammad) itu tidak pernah melakukan kecurangan dan keluar dari batasnya.

Bahkan lisan Nabi Muhammad, ucapannya, tidak pernah mengikuti syahwat, kecuali kalimat dan kata-kata itu adalah wahyu, wa ma yanthiqu ‘anil hawa, in huwa illa wahyuy yuha. Tidak ada nabi dan rasul yang disucikan seluruh tubuhnya kecuali Nabi Muhammad SAW.

Allah SWT, ketika mengajari kita, memerintahkan kita untuk meneladani Nabi Muhammad, secara tegas menyampaikan, laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanatun li man kana yarjullaha wal yaumal akhir—sesungguhnya pada kehidupan Nabi Muhammad itu terdapat seluruh keteladanan, kemuliaan, yang pernah ada dan diberikan kepada manusia, tetapi bagi sesiapa yang menginginkan Allah SWT.

Dalam hal keteladanannya pun, dalam ayat ini, dikaitkan langsung kepada Allah dan akhirat, bukan pada hal kebendaan maupun keduniawian. Oleh karena itu tidak ada alasan kita untuk tidak meneladani Nabi Muhammad, tidak pula lagi bertanya-tanya apakah akhlak, pola hidup Nabi Muhammad akan terus relevan di setiap waktu dan tempat. Beliau adalah keteladanan absolut bagi umat Muslim.

Bercermin dengan Akhlak Nabi pada Masa Kini

Ada beberapa keteladanan Nabi Muhammad SAW yang harus kita ketahui dalam kehidupan ini. Pertama, keteladanan dalam ucapan. Nabi Muhammad tidak pernah mengatakan sesuatu yang menyakiti orang lain, beliau tidak pernah mengucapkan kata-kata yang membuat orang marah, beliau juga tidak pernah mengatakan ucapan dengan kesombongan dirinya.

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang selalu tawadhu’ dan selalu mengucapkan kata-kata yang lembut. Allah SWT berfirman, fabima rahmatin minallahi linta lahum, wa lau kunta fazzhan ghalizal qalbi lanfaddhu min haulik—karena rahmat Allah SWT kepada mu wahai Muhammad hendaknya engkau mengucapkan kata-kata yang lembut kepada mereka.

Secara tersirat ayat di atas juga menunjukkan Rasul tidak pernah mengucapkan kata-kata yang kasar sehingga menyinggung hati orang lain (fazzhan), bahkan hati beliau pun tidak keras, sifat yang berlawanan dengan frasa ghalizhal qalbi yang diartikan sebagai hati yang keras, penuh ego, penuh emosi dan kecongkakan.

Hal demikian terasa kontras sekali dengan fenomena pejabat negara belakangan ini, dalam hal ini komunikasi publik yang nirempati. Gestur yang menyakiti hati dan keberpihakan pada rakyat. Seolah punya banyak cara untuk melecehkan rakyat.

Akhlak Nabi selanjutnya, menyambung ayat sebelum, ialah, tidak pernah sombong dan keras kepala. Maka Allah sampaikan, fa’fu ‘anhum wastaghfir lahum—maaf kan kesalahan mereka dan mohonkan ampun untuk mereka wahai Muhammad. Sehingga Nabi tidak pernah sekalipun menyimpan dendam dan tidak pernah menyimpan di hati kesalahan umatnya.

Bahkan potongan ayat selanjutnya, bahwa akhlak Nabi SAW berikutnya adalah selalu kolaboratif, selalu kerja sama, selalu bersinergi antara umatnya, beliau tidak menunjukkan egonya, padahal dituntun oleh wahyu 24/7. Allah SWT berfirman, wa syawirhum fil amr—dalam segala urusan penting bermusyawarahlah wahai Muhammad.

Lantas bagaimana dengan kita atau “pemimpin-pemimpin” kita yang sering kali secara diam-diam membahas sebuah undang-undang, melakukan proses legislasi secara sembunyi-sembunyi. Tidak ada konsultasi publik yang memadai, minimnya meaningful participation. Peraturan perundang-undangan dibuat tanpa keberpihakan yang jelas kepada rakyat.

Sehingga dalam ayat tersebut setelah dilakukannya musyawarah, fa idza ‘azamta fa tawakkal ‘alallah—apabila engkau telah membuat keputusan, bertakwalah kepada Allah. Sayangnya, hari ini, seringkali mufakat telah terjadi terlebih dahulu lalu baru kemudian seolah-olah ada musyawarah.

Tanggung Jawab Bernegara dalam Kacamata Rasulullah

Rasulullah SAW memandang kepemimpinan dan tanggung jawab bernegara sebagai amanah yang sangat berat. Dalam salah satu hadis disebutkan: “Tidaklah seorang hamba yang diberi otoritas untuk memimpin rakyat, kemudian ia tidak menjaga mereka dengan nasihat dan perlindungan, melainkan ia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari).

Hadis ini secara tegas menggambarkan tanggung jawab seorang pejabat yang harus berjuang untuk memperbaiki kehidupan, pendidikan, kesehatan, stabilitas sosial dan seluruh aspek kehidupan masyarakat, sehingga ia harus berusaha menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk mereka.

Pejabat atau penguasa yang memiliki kekuatan yang lebih besar tentu membawa beban lebih banyak. Untuk itu ada pepatah mengatakan “great power comes with great responsibility”. Sebab secara proporsional, seseorang yang mempunyai lingkup pengaruh lebih luas, maka ia memiliki tanggung jawab lebih besar.

Ketika seseorang diberi kuasa untuk mengatur urusan orang lain, maka dalam sudut pandang Rasul ia harus menjalankannya dengan adil dan penuh tanggung jawab. Bertindak atas kepentingan rakyat dan bukan untuk mengkhianati kepentingan rakyat.

Dalam menunjukkan pentingnya keadilan dan tanggung jawab seorang penguasa, Imam al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk bahkan sampai berujar “seorang pemimpin adil, lebih utama daripada ahli ibadah seratus tahun”. Menunjukkan pentingnya keadilan pemimpin sebagai prasyarat untuk kesejahteraan rakyat, di dunia dan akhirat.

Kekuasaan tidak boleh dilihat sebagai sebuah privilese untuk meraih keuntungan pribadi, memperkuat kedudukan atau memperluas pengaruh politik. Melainkan kepemimpinan harus dimaknai sebagai tugas suci yang menuntut ketulusan, keberanian, dan pengorbanan dalam melayani masyarakat.

Pada momen hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini, semoga kita semua terus mampu menyampaikan selawat dan salam kepada beliau, cinta dan mengikuti secara konsekuen apa-apa saja sunnahnya, sehingga kita termasuk ke dalam pengikutnya, hingga hari kiamat tiba.

Mahasiswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *