Di tengah hiruk-pikuk dinamika politik pasca-demonstrasi besar Agustus 2025, sebuah peristiwa menarik perhatian publik: kunjungan Komandan Satuan Siber (Dansat Siber) Mabes TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring, ke Polda Metro Jaya pada 8 September 2025.
Tujuannya? Berkonsultasi terkait “fakta-fakta dugaan tindak pidana” yang diduga dilakukan oleh Ferry Irwandi, konten kreator sekaligus CEO Malaka Project yang dikenal vokal mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk revisi UU TNI.
Temuan ini berasal dari “patroli siber” yang dilakukan Satuan Siber TNI, namun hingga kini, detail pidana apa yang dimaksud tetap samar-samar, seperti kabut yang sengaja ditebarkan untuk menakut-nakuti.
Kasus ini bukan sekadar isu hukum biasa. Ia mencerminkan tren mengkhawatirkan di mana institusi militer seperti Satuan Siber TNI, yang seharusnya bertugas mendeteksi dini ancaman siber terhadap keamanan nasional, justru tampak berubah fungsi menjadi alat gertak bagi aktivis sipil. Ferry Irwandi, yang aktif menyuarakan “17+8 Tuntutan Rakyat” dan menolak wacana darurat militer, tiba-tiba menjadi target. Apakah ini bentuk penegakan hukum yang adil, atau malah upaya sistematis untuk membungkam suara kritis di ruang digital?
Mandat Satuan Siber TNI: Deteksi Ancaman, Bukan Pemburu Pendapat
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, satuan siber militer memiliki peran dalam operasi militer selain perang (OMSP), termasuk menangkal ancaman siber yang mengganggu kedaulatan negara. Ini mencakup spionase digital, sabotase infrastruktur kritis, atau serangan cyber dari aktor asing bukan memantau unggahan media sosial aktivis sipil.
Brigjen Sembiring menyebut temuan dugaan pidana Ferry berasal dari patroli siber, tapi apa sebenarnya “fakta-fakta” itu? Pernyataan tentang “algoritma dan lain-lain” yang disebutkan samar, tanpa bukti konkret bahwa aktivitas Ferry mengancam keamanan negara.
Ini bukan kali pertama institusi keamanan digunakan untuk menargetkan kritik sipil. Dalam konteks Ferry, yang baru saja menutup akun X-nya pada April 2025 karena khawatir pelacakan IP dan privasi, kunjungan TNI ke polisi ini terlihat seperti langkah intimidasi.
Ferry sendiri merespons dengan tegas: “Saya tidak pernah dididik jadi pengecut atau penakut,” sambil menegaskan kesiapannya menghadapi proses hukum dan membantah klaim TNI bahwa ia sulit dihubungi. Respons ini justru menunjukkan keteguhan seorang aktivis, bukan pelaku pidana yang kabur.
Lebih jauh, keterlibatan TNI dalam urusan sipil ini melanggar prinsip pemisahan kewenangan. UU Pertahanan Negara Nomor 3 Tahun 2002 membatasi peran TNI pada ancaman militer, sementara pidana umum seperti hoaks atau ujaran kebencian jika itu yang dimaksud adalah domain kepolisian dan peradilan sipil.
Dengan mendatangi Polda Metro Jaya, TNI seolah “melempar bola panas” ke polisi, tapi proses ini menimbulkan persepsi bahwa militer sedang memanfaatkan wewenangnya untuk menekan oposisi. Seperti yang dikritik oleh pegiat hak asasi manusia, langkah ini bisa menimbulkan “kekebalan hukum” bagi militer dan ketidakadilan bagi warga sipil.
Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat: Pola yang Berulang
Ruang siber seharusnya menjadi arena demokrasi, di mana warga seperti Ferry bisa menyuarakan kritik tanpa takut diburu. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi, selama tidak melanggar batas hukum. Namun, kasus Ferry mirip dengan pola pembungkaman aktivis lain, seperti Direktur Lokataru Foundation yang ditetapkan tersangka atas dugaan penghasutan pasca-demonstrasi.
Di media sosial, reaksi publik pun membara: banyak yang mempertanyakan apakah TNI sedang “mencuci tangan” atas isu demonstrasi dengan menjadikan Ferry kambing hitam.
Ini bukan sekadar isu individu. Jika Satuan Siber TNI terus digunakan untuk “patroli” konten sipil, kita berisiko masuk ke era di mana setiap kritik politik dianggap “ancaman siber.”
Bayangkan: seorang konten kreator dengan 1,92 juta pengikut di YouTube diburu karena membahas darurat militer atau tuntutan rakyat. Apakah ini pertahanan negara, atau malah erosi demokrasi? Amnesty International Indonesia pernah menyoroti risiko ini, menyebutnya sebagai “persepsi ketidakadilan” yang bisa memicu ketidakpercayaan publik terhadap institusi.
Kesimpulan: Kembalikan Satuan Siber ke Mandat Asli
Satuan Siber TNI harus kembali ke peran utamanya: deteksi dini ancaman siber nyata, seperti serangan hacker negara asing atau sabotase digital terhadap infrastruktur vital. Bukan menjadi “polisi pikiran” yang mengintimidasi aktivis seperti Ferry Irwandi. Pemerintah perlu menegaskan batas wewenang ini, agar ruang siber tetap menjadi tempat bebas berekspresi, bukan arena perburuan.
Kasus ini adalah pengingat: demokrasi kuat ketika suara kritis dilindungi, bukan dibungkam. Jika tidak, kita bukan hanya kehilangan aktivis seperti Ferry, tapi juga esensi kebebasan yang kita perjuangkan sejak Reformasi 1998. Waktunya bertindak sebelum terlambat.









