Manusia vs AI: Benarkah Di Masa Depan Kita Melawan Mesin?

Dalam film waralaba The Matrix, karakter bernama Neo dikisahkan memimpin perlawanan kepada entitas akal imitasi (AI) yang ingin mengeksploitasi manusia. Sementara itu film blockbuster lain, Terminator, AI bernama Skynet lepas kendali dan berkeinginan memusnahkan manusia. Fiksi-ilmiah seperti itu, jalinan narasi: manusia vs mesin, cukup banyak ragamnya.

Berkaca pada kondisi sekarang, di mana pemakaian AI semakin meningkat, kita pun bertanya, apakah di masa depan nanti yang jadi lawan manusia itu benar-benar mesin?

Keberadaan situs AI belakangan ini sudah menggeser perilaku manusia dalam berselancar di internet. Beberapa peneliti meyakini, AI saat ini hanya fase awal dari perkembangannya yang menuju sistem yang lebih canggih lagi yakni Artificial Generated Intelligence (AGI). Bentuk AI yang baru itu dipercaya mampu memaksimalkan kemampuan AI, yakni memberikan perintah kepada perangkat lunak maupun keras serta berkoordinasi secara mandiri seolah semua instruksi itu datang dari manusia sungguhan.

Menurut Karen Hao, kolumnis isu IT asal Amerika Serikat (AS), para pengembang AI yang kebanyakan merupakan kalangan saintis, ketika berbicara soal masa depan AGI sering kali berdiri pada sisi ekstrem1. Satu kelompok, yang Hao sebut sebagai boomer, ialah kalangan yang super optimistis bahwa AGI akan menjadi solusi bagi seluruh masalah di dunia. Namun ketika ia mewawancarainya, “Bagaimana AI itu dapat menyelesaikan persoalan seperti kemiskinan?”, jawaban yang diperoleh semacam “Semua orang akan dimudahkan oleh teknologi, sehingga semua orang akan mendapatkan banyak uang.” Jawaban tersebut tampaknya terlontar dari orang kelas ekonomi atas yang berjarak dari masalah sosial dan hanya memahami bahwa ketimpangan dapat diselesaikan dengan memperbanyak putaran uang.

Sementara kalangan yang pesimistis yang Hao sebut sebagai doomer cenderung punya mimpi fantastis, bahwa AGI akan lepas dari kendali manusia dan mulai berupaya menggantikan manusia sebagai spesies unggul di muka bumi. Pandangan AI akankah menjadi savior atau justru destroyer tersebut tak beda jauh dengan cerita-cerita fiksi-ilmiah populer yang saya sebutkan tadi. Semua tampak hitam dan putih. Itulah mengapa menurut Hao, ketika membicarakan soal AGI, semua mendadak membahasnya seperti kerangka keimanan agama saja2. Bahwa benda yang belum ada itu, materialnya belum terjamah karena masih teori, namun proyeksinya semakin spekulatif dan membicarakannya terkadang seperti ramalan cenayang ketimbang prediksi yang rasional. 

Tetap butuh manusia

Kedua pandangan ekstrem itu juga mengabaikan fakta bahwa jaringan komputer seperti AI juga butuh perangkat fisik dan manusia. Mesin pembelajar itu perlu data center yang harus beroperasi 24 jam non-stop. Juga infrastruktur fisik yang dibangun oleh manusia dan dirawat oleh manusia. Semua sistem itu membutuhkan lahan dengan luas yang ideal. Semakin luas, maka semakin besar kapasitas dan kemampuan data center mempercepat respons atas prompt dari para pengguna AI. Lahan tersebut sebisa mungkin dekat dengan akses air bersih, sebab komputer canggih ini perlu mesin pendingin bagi mesin yang terus bekerja non-stop3. Untuk itu pula, data center perlu suplai energi yang stabil. Sebagian besar energi itu masih diperoleh dari energi fosil seperti minyak, gas, dan batu bara.

Perusahaan-perusahaan teknologi itu kini berlomba-lomba menambah data center masing-masing. Mereka mengincar lahan luas yang punya akses air bersih dan listrik. Di tengah kepadatan penggunaan lahan oleh manusia, maka ekspansi besar-besaran ini merambah tanah adat hingga hutan hujan. Seperti kasus di Chili dan Uruguay, baru-baru ini terjadi konflik agraria karena rencana pembangunan data center mencaplok tanah warga yang digunakan turun temurun untuk kepentingan ekonomi lokal4.

Kapitalis teknologi

Setelah dilahirkan dari rahim saintis, pengembangan AI dicaplok oleh kepentingan korporasi global yang sangat kapitalistik. Konflik agraria yang terjadi dalam perebutan lahan untuk data center jadi cerminan bahwa para perusahaan pengembangnya itu sangat eksploitatif. Untuk itu menjadi penting menganalisis latar belakang ideologi para pebisnis AI ini. Sebab AI bukan lagi perangkat bebas nilai belaka. Ia adalah komoditas global yang terikat dengan kondisi ekonomi politik dunia.

Salah satu konglomerat, Elon Musk, pasca mengakuisisi Twitter (X.com), sibuk berinvestasi pada AI bernama Grok. AI tersebut sempat menimbulkan kontroversi karena memuji Hitler di media sosial. Menurut beberapa laporan, pengembangan Grok tidak seutuhnya berpaku pada sains5. Para ahli komputer yang direkrut Musk mengembangkan AI berdasarkan pengejawantahan atas cara pandang Musk. Dengan narsistik, perilaku Grok telah dirancang sedemikian rupa untuk menyerupai pemikiran pemiliknya.

Pada saat pemilihan presiden AS, Musk memodali kampanye Donald Trump yang menarik pemilih dengan isu rasistik dan kebijakan kontra-imigran yang menonjolkan wajah ultra-konservatif6. Setelah berhasil memenangkan kandidat yang ia dukung, ia dipercaya pemerintahan Trump untuk terlibat dalam lembaga bernama Department of Government Efficiency, disingkat DOGE, terdengar seperti lelucon dari meme koin DOGE yang ramai di kalangan pedagang krypto. Inisiatif pembentukan departemen itu karena Trump menganggap banyak pemborosan terjadi di sektor publik. Akibatnya beberapa unit dan agensi pelayanan publik di AS harus tutup serta melakukan PHK. Isu efisiensi ini kontras dengan pemerintahan AS yang suka menghamburkan uang di sektor militer dan tak sungkan mendanai perang proksi di banyak kawasan di dunia.

Musk juga pernah berinvestasi di perusahaan inkubator, OpenAI, dengan produk AI bernama ChatGPT. Namun ia berseberangan jalan dengan co-founder ChatGPT, Sam Altman, yang juga berupaya merapat ke pemerintahan Trump7. Belum lama ini Trump mengajak Altman dalam penandatanganan kerja sama atas lahan data center OpenAI dengan salah satu negara Arab8. Pandangan Altman terhadap masa depan AI juga sama oportunistiknya dengan Musk. Ia diketahui terus memacu perkembangan AI tanpa peduli dengan rambu-rambu etisnya.

Termakan adagium yang jamak menghantui para kapitalis teknologi, “Jika bukan kita yang menemukan (inovasi atau penemuan teknologi baru), maka akan ada pihak lain yang menciptakannya dan menjualnya lebih dahulu.” Akibat pola pikir ini, segala cara dihalalkan dalam kompetisi pengembangan AI.

Mereka tak menyenangi regulasi dan kode etik yang ketat. Dalih untuk mengelaknya ialah, aplikasi digital yang canggih akan mendorong terciptanya demokrasi dan kesempatan ekonomi. Tapi sesungguhnya kemajuan demokrasi yang ditawarkan kapitalis teknologi itu semu. Sedari awal pengguna internet memakai aplikasi digital, sedari itu pula data personal diambil tanpa izin. Data itu dijadikan bahan mentah untuk merekayasa perilaku manusia di dunia maya agar lebih konsumtif. Pada penggunaan AI, konsumsi dapat disamakan dengan pemakaian layanan AI terus-terusan. Alih-alih mengembangkan mesin AI yang mampu merespons kebutuhan pengguna dengan bijak dan seperlunya, saat ini ada perekayasaan (engineering) AI untuk memberikan jawaban yang tidak benar-benar utuh9. Pengguna sengaja diberi jawaban menggantung oleh AI. Lalu AI akan membujuk pengguna untuk menambah prompt terus-terusan. Supaya screen time pengguna semakin lama, sehingga semakin banyak behavioural data yang dapat diperoleh mesin AI. Tak puas mencuri data, visi para kapitalis teknologi itu mengarahkan pemasaran AI sebagai mesin yang mampu melakukan segala pekerjaan. Sehingga mereka ramalkan banyak profesi di dunia ini akan usang dan digantikan dengan robot secara utuh.

Untuk memuluskan agenda konsumerisme dan perwujudan efisiensi produksi dari AI itu, para kapitalis itu perlu menempel pada rezim pemerintahan, yang tentu saja tidak demokratis. Lebih otoritarian, lebih baik. Sebab mereka dapat merayu agar regulasi, terutama terkait kendali sumber daya alam, manusia serta privasi warga tidak diperketat. Hal itu akan memudahkan operasi mereka yang perlu stabilitas politik dan akses eksploitasi atas ekonomi dan sosial. Pemerintahan yang demokratis pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sebab masyarakatnya berpartisipasi mengawasi pemerintahannya dan kepentingan seluruh warga jadi hal yang utama, bukan hanya kepentingan segolongan pebisnis saja. Rezim otoritarian juga memudahkan para kapitalis teknologi ini mengeksploitasi lahan dan sumber daya energi untuk menjalankan infrastruktur mereka dengan mengabaikan komunitas atau masyarakat adat setempat. Hal itu tak gampang dilakukan pemerintahan yang demokratis. Di mana masyarakat adat dilindungi haknya dan didengar suaranya. Segala sesuatu yang melibatkan eksploitasi alam tak boleh memarginalkan masyarakat yang hidup di lingkungan tersebut.

Publik vs Elite

Tidak ada yang benar-benar baru dari fenomena ini. Para kapitalis teknologi itu sama seperti kapitalis yang sudah mapan di era sebelumnya. Baik dari sisi ideologi dan pengoperasiannya sama-sama oportunistik. Jika ada distingsi, hanya dari sisi komoditasnya. Jika dahulu mayoritas komoditas ialah produk jadi, saat ini beralih dalam bentuk aplikasi digital. Cara operasionalisasi bisnisnya pun masih sama, bertopang pada konsumerisme, eksploitasi sumber daya alam dan manusia, dan penimbunan surplus keuntungan yang tidak pernah dibagi secara merata.

Bentuk-bentuk elitisme ini mengalienasi dimensi sosial kemanusiaan itu sendiri. Sehingga tak heran, meski perkembangan teknologi dan sains terus maju, tapi kemiskinan dan kemelaratan tak pernah juga sirna. Sebab teknologi itu diciptakan dengan landasan memperkaya sebagian kelompok saja. Tak ada desakan bahwa teknologi dan mesin canggih itu mampu membawa kesejahteraan bersama. Sebab penguasaannya, pengendaliannya, dan pengoperasiannya dimiliki oleh sekelompok orang dengan landasan ingin memperkaya diri sendiri.

Orang yang mengkritik kemajuan teknologi dipandang sinis sebagai konservatif kolot atau wahabi lingkungan hidup. Seolah-olah mempertanyakan moralitas dan tujuan kemajuan penemuan di bidang teknologi ialah dosa besar. Dihardik, menghambat kemajuan sains! Masyarakat dipaksa menerima kemajuan teknologi informasi ini sebagai keniscayaan. Seakan tidak ada alternatif lain. Seperti halnya sistem ekonomi, seakan tidak ada alternatif dari pasar bebas yang terbukti gampang ambruk karena inflasi tak berujung serta tak sukses memecahkan problem kemiskinan. Begitu pula dengan kemajuan teknologi AI ini, seakan tidak ada alternatif bagaimana AI bekerja di tengah peradaban manusia selain mengganti hampir seluruh peran-peran kehadiran manusia dalam kehidupan.

Kita tidak perlu AI yang hegemonik dan menggantikan peran manusia secara utuh. Alat seperti itu tetap butuh pengawasan dan pengoperasian dari manusia sebagai bagian dari kehidupan ini. Masalah di dunia modern yang juga ditimbulkan oleh manusia, tentu punya obat penawar dari manusia itu juga. Misalnya pada kasus pengembangan jasa konsultasi kesehatan dengan AI. Kita tak butuh AI yang menggantikan peran manusia sebagai dokter dengan mendiagnosis dan memberikan resep. Kita butuh mesin itu yang menjadi asisten dan tenaga pendukung, duduk berdampingan dengan tenaga kesehatan, agar kerja-kerja manusia semakin optimal dan presisi. Dengan cara itu efisiensi pekerjaan akan diperoleh untuk mencapai keselamatan dan kebahagian bersama. Bukannya, menggantungkan dan mempercayakan semua layanan kepada sebuah bot AI.

Di masa depan dengan laju perkembangan AI ini, lawan manusia bukanlah mesin seutuhnya. Melainkan orang yang mengendalikan mesin tersebut, dalam hal ini para kapitalis teknologi yang menguasainya. Diskursus zaman ini masih terus berlanjut dengan pertentangan yang terjadi antara sesama manusia. Sebuah perebutan atas akses teknologi dan sumber daya alam. AI sebagai mesin hanyalah alat. Tak ubahnya alat produksi di pabrik. Mesin itu harus diregulasi dengan kesadaran bahwa pengembangannya di masa kini dan depan harus transparan dan melibatkan publik secara luas. Supaya penggunaannya mampu membawa kesejahteraan bersama, bukannya menjadi agen eksploitasi oleh manusia kepada sesamanya.


________

1 Karen Hao menulis buku Empire of AI yang memblejeti para kapitalis dan konglomerat baru di bidang teknologi dalam mengembangkan AI. Berikut wawancaranya dalam saluran “Democracy Now!” terkait buku dan investigasinya dalam dunia per-AI-an tersebut: https://www.youtube.com/watch?v=s4hZz9Vd0lY&t=1s

2 Hao menyebutnya dengan istilah Quasi-Religious, semacam kepercayaan yang hampir menyerupai agama. Dalam blog Sam Altman, CEO OpenAI yang memiliki produk ChatGPT, mengutip perkataan “Successful people create companies. More successful people create countries. The most successful people create religions.” lihat di: https://blog.samaltman.com/successful-people

3 Menurut laporan Bloomberg, mayoritas data center untuk AI sudah mengkonsumsi air dalam taraf mengancam kebutuhan komunitas lokal dimana lokasi data center berada. Simak di: https://www.bloomberg.com/graphics/2025-ai-impacts-data-centers-water-data/

4 Di Chili dan Uruguay terdapat protes warga atas proyek data center yang dibangun di kawasan mereka. Baca laporan menarik dari Mongabay berikut: https://news.mongabay.com/2023/11/the-cloud-vs-drought-water-hog-data-centers-threaten-latin-america-critics-say/#:~:text=This%20poster%20was%20made%20by,Image%20courtesy%20of%20Pamela%20Ramirez.

5 Laporan tirto.id memperlihatkan bagaimana desain Grok jadi penyambung lidah tuannya, Elon Musk, baca di: https://tirto.id/kontroversi-grok-ai-penyambung-lidah-tuan-pencipta-heWt#

6 Sebelumnya di 2016 ia mendukung Hillary Clinton dan di 2020 mendukung Joe Biden, keduanya kandidat presiden dari Partai Demokrat. Lihat lebih lanjut: https://theconversation.com/the-blow-up-between-elon-musk-and-donald-trump-has-been-entertaining-but-how-did-things-go-so-bad-so-fast-258394

7 Konflik meruncing di saat Musk memperkarakan Altman berkaitan dengan persaingan bisnis diantara keduanya, baca di: https://www.theguardian.com/technology/2025/sep/25/elon-musk-xai-openai-sam-altman-lawsuit

8 Rencananya OpenAI membangun data center berkapasitas 5 gigawatt di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, baca di: https://www.reuters.com/world/middle-east/openai-help-uae-develop-one-worlds-biggest-data-centers-bloomberg-news-reports-2025-05-16/

9 Kecenderungan ini diperingatkan Yoshua Bengio, seorang saintis yang turut mempelopori pengembangan AI, tonton ceramahnya di: https://www.youtube.com/watch?v=qe9QSCF-d88

GUSDURian Jakarta. Mantan wartawan media nasional di ibu kota. Saat ini bekerja untuk pemerintah di ibu kota pula.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *