Gus Dur dan Syarikat: Ikhtiar Santri Membangun Rekonsiliasi Tragedi 65/66

Dalam catatan sejarah, di Indonesia pernah terjadi tragedi kemanusiaan, di saat semua orang sedang mendengkur. Pada dini hari, tujuh “Pahlawan Revolusi” dibunuh dan dibuang oleh tim kecil Angkatan Darat ke dalam sebuah sumur di area perkebunan karet bernama Lubang Buaya. Tragedi ini dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Selang beberapa saat, ratusan ribu orang ditangkap dan dibantai di berbagai daerah. Saat itu PKI dianggap sebagai “dalang” di balik G30S. Sehingga, setelah usaha “kudeta” itu, seluruh anggota dan simpatisan PKI dibantai secara membabi-buta. Pembunuhan massal tersebut berlangsung selama kurun tahun 1965-1966.

Persis setelah Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto, mengambil alih kepemimpinan militer, segenap anggota Angkatan Darat Republik Indonesia (ABRI) dan sebagian elemen masyarakat berbondong-bondong “mengadili” PKI. Orang-orang tak berdosa (sebagian besar Muslim) menjadi korban usai “geger” di Jakarta itu. Tragedi 65/66 telah menjadi “noktah merah” dalam perjalanan bangsa, dan termasuk pelanggaran HAM berat dalam catatan sejarah Indonesia. Selama lebih dari tiga dekade, Orde Baru (di bawah kekuasaan Soeharto) secara konsisten menggencarkan narasi utama, bahwa “PKI adalah dalang G30S”.

Pada tahun 1998, rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto tumbang. Momen ini menandai masa transisi Indonesia, dari otoritarianisme menuju demokrasi. Sejak saat itu, Indonesia benar-benar membuka kran kebebasan dan demokratisasi di berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam konteks tragedi 65/66. Segenap usaha memahami ulang dan rekonsiliasi, baik secara politis maupun kultural, telah dilakukan. Kendati penolakan dari berbagai pihak datang silih berganti dalam proses rekonsiliasi. Namun hal itu tidak lantas membuat ikhtiar rekonsiliasi menjadi redup.

Salah satu tokoh yang pernah melakukan usaha rekonsiliasi terhadap tragedi 65/66, ialah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Cucu pendiri NU ini memang dikenal sangat berani, dan tidak pernah mempersoalkan ras, suku, bahasa, atau agama seseorang. Di mata beliau, semua manusia sama. Selama hidup, Gus Dur senantiasa berada di barisan kaum tertindas, kelompok marginal, dan bahkan membela mereka yang dipandang “sebelah mata”. Sebab, bagi Gus Dur, kemanusiaan harus diutamakan dan diwujudkan dengan cara memenuhi hak-hak dasar manusia dalam kerangka kehidupan sosial (Arif, 2013: 287).

Dalam konteks tragedi 65/66, beliau pernah mendengungkan “rekonsiliasi nasional” terhadap eks-tapol-napol dan para penyintas. Karena gagasan itu, Gus Dur langsung dituduh sebagai “pembela PKI” oleh sebagian besar masyarakat. Kendati terjadi berbagai penolakan, gagasan rekonsiliasi itu kemudian diterima oleh “santri-santri” Gus Dur, dan diterjemahkan menjadi sebuah gerakan advokasi. Mereka lantas mendirikan sebuah organisasi yang bernama: Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) Indonesia.

Gus Dur & Tragedi 65/66: Menyemai Gagasan Rekonsiliasi

Pada 1995, ketika Gus Dur masih menjabat Ketua Umum PBNU, beliau mengakui bahwa ada keterlibatan warga NU dalam “pembantaian PKI”. Pengakuan ini disampaikan Gus Dur di beberapa kesempatan, salah satunya dalam pertemuan bersama para LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Empat tahun kemudian, 1999, saat masih menjadi Presiden Indonesia ke-4, Gus Dur menyatakan permintaan maaf di depan TVRI, dan dalam sebuah pidato HAM Internasional, Gus Dur memerintahkan kepada para menteri untuk memulihkan hak-hak seluruh eksil—yang tidak bisa pulang ke Tanah Air akibat G30S (Tempo.co, 2021).

Usaha rekonsiliasi itu kemudian memuncak, ketika beliau hendak mencabut TAP MPRS No. XXV tahun 1966. Alasan mendasar pencabutan ini, dalam pandangan Gus Dur, karena ketetapan tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi negara dan memberangus eksistensi ajaran Marxisme-Leninisme di Tanah Air. Secara terbuka, beliau menulis sebagai berikut:

“Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 1966 harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR atau produk hukum apa pun” (Wahid, 2006: 51-52).

Namun tidak semua orang “paham” dan sepakat dengan gagasan rekonsiliasi Gus Dur. Di kalangan parlemen sendiri, banyak yang menentang usulan Gus Dur untuk mencabut TAP MPR tersebut. Bahkan seorang sastrawan kondang asal Blora, Pramoedya Ananta Toer, juga menolak gagasan beliau (Mun’im DZ, 2013: 178).

Perhatian Gus Dur dalam konteks tragedi 65/66 itu, bagaimanapun, harus dipandang sebagai gagasan revolusioner. Setidaknya, sebagai tokoh Islam-NU, Gus Dur secara jujur “mengakui sejarah”. Kemudian, sikap tersebut merupakan ikhtiar Gus Dur untuk menciptakan inklusivitas dalam kehidupan sosial, dan melindungi semua golongan, tak terkecuali eks-tapol dan penyintas tragedi 65/66 (Budiawan, 2004: 186-187).

Gagasan “rekonsiliasi nasional” tersebut bisa kita temukan dalam tulisan-tulisan Gus Dur. Misalnya, tulisan bertajuk “Keadilan dan Rekonsiliasi” (2004). Dalam konteks tragedi 65/66, beliau pernah menggambarkan bagaimana para korban, eks-tapol, dan penyintas mengalami tekanan hebat dan kehilangan seluruh harta-benda:

“Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan, karena dituduh ‘terlibat’ dan bahkan memimpin PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilu. Rumah-rumah dan harta-benda mereka dirampas. Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini” (Wahid, 2006: 155).

Untuk memulihkan dan memenuhi hak mereka sebagai warga negara, menurut Gus Dur, kita harus menegakkan keadilan, sebagai syarat utama dalam menuju demokratisasi. Sebab, salah satu ciri sikap demokratis ialah senantiasa menerima “kehadiran” mereka yang tidak sepaham dengan kita. Demikian ditulis Gus Dur sebagai berikut:

“Di sini penulis [Gus Dur, ed.] ingin menekankan, bahwa konflik-konflik bersenjata di masa lampau, dapat dianggap selesai, apa pun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok mana pun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar” (Wahid, 2006: 156).

Bagi Gus Dur, semua manusia itu setara. Tidak peduli apakah dia Muslim atau non-Muslim. Sebuah gerakan pembebasan, termasuk rekonsiliasi, merupakan “pembebasan” tanpa landasan apa pun, kecuali (karena) manusia itu sendiri (Arif, 2013: 142). Dalam konteks ini, Gus Dur hendak membebaskan orang-orang yang dianggap “terlibat” tragedi 65/66 dari tekanan, stigma, ketidakadilan, dan ketertindasan. Sebab, sebagaimana kata Gus Dur, “prinsip demokrasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki kehidupan” (Wahid, 2023: 75).

Syarikat Indonesia: Membangun Rekonsiliasi Kultural di Akar Rumput

Pengaruh Gus Dur di kalangan anak muda NU, bisa dibilang cukup besar. Geliat pemikiran dan gerakan kritis-progresif anak muda NU, menurut Ken Miichi, tidak bisa dilepaskan dari peran seorang Gus Dur. Bahkan, ide dan gagasan Gus Dur senantiasa menjadi rujukan anak muda NU dalam lingkaran intelektual (Miichi, 2001: 164). Sehingga tak heran, jika “rekonsiliasi nasional” Gus Dur tersebut kemudian dilanjutkan oleh anak-anak muda NU. Dan untuk menempuh ikhtiar kemanusiaan itu, beberapa anak muda NU di Yogyakarta mendirikan sebuah organisasi bernama: “Syarikat Indonesia”.

Pada medio 2000, Syarikat didirikan oleh kaum muda NU di Yogyakarta. Dengan segenap keberanian, tekad, dan dorongan dari beberapa pihak, termasuk para kiai, mereka mendirikan organisasi itu untuk melakukan rekonsiliasi atas tragedi 65/66. Kesadaran perlunya rekonsiliasi ini, sebenarnya sudah sejak lama mereka diskusikan. Bahkan sempat menjadi pembahasan dalam pertemuan Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU) di Jakarta tahun 1994. Hanya saja, hal tersebut baru bisa direalisasikan (secara terbuka) usai Presiden Soeharto turun dari tampuk kekuasaan (Wajidi, 2003: 69).

Bagi Syarikat, kejahatan HAM masa lalu, seperti tragedi 65/66, harus direkonsiliasi. Sebab, buntut pembunuhan massal itu disertai stigma tidak hanya kepada korban dan eks-PKI, tetapi juga seluruh keluarga mereka. Bahkan stigma itu berjalan cukup lama, dan menghilangkan hak-hak sipil maupun politik mereka (Mun’im DZ, 2003: 22). Menurut M. Imam Aziz (allahu yarhamhu), salah seorang pendiri Syarikat, rekonsiliasi adalah proses mengungkap kebenaran (tabayyun), terdapat jaminan tidak terulang kembali kejahatan kemanusiaan di masa depan dengan cara membuat aturan dan kebijakan yang nir-diskriminatif (taubat), rehabilitasi hak-hak dan memberi kompensasi (ittiba’ bi al-ma’ruf) serta ampunan (Aziz, 2003: 7).

Secara praktis, Syarikat memulai usaha rekonsiliasi dengan cara melakukan investigasi tentang tragedi 65/66. Mereka menyebut investigasi itu sebagai “riset pembebasan”. Kegiatan investigasi ini dilakukan di 18 kota di Jawa, dan bermaksud mencari jawaban dari tiga persoalan mendasar: “sebab”, “proses peristiwa”, dan “akibat yang ditimbulkannya” (Wajidi, 2003: 70). Dari “riset pembebasan” tersebut, mereka akhirnya bisa mengumpulkan orang-orang eks-PKI dan anti-PKI dalam satu forum di beberapa tempat, seperti: Jepara, Blitar, Cilacap, dan seterusnya (Said Ali, 2008: 150).

Memang, model rekonsiliasi mereka lebih menggunakan pendekatan sosio-kultural. Sehingga, cara-cara yang kerap dilakukan ialah, seperti duduk bersama, mediasi antara korban dan pelaku, serta menggelar pertunjukan kesenian, antara lain: wayang, ketoprak, dan lain sebagainya. Selain melakukan “rekonsiliasi kultural” di akar rumput, Syarikat juga menerjemah dan menerbitkan beberapa buku, antara lain: Hasan Raid, Pergulatan Seorang Muslim Komunis (2001); Benedict Anderson dan Ruth McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal (2001); dan Ahmadi Moestahal, Dari Gontor ke Pulau Buru (2000) (Budiawan, 2004: 192).

Syarikat memang dikenal kontroversial, terutama di kalangan NU. Namun, tidak sedikit kiai yang memahami maksud dan tujuan organisasi kemanusiaan ini. Mereka hendak menyembuhkan luka lama, merajut kembali harmoni, dan membangun rekonsiliasi di akar rumput. Dengan kata lain, Syarikat “hadir” untuk mereka yang sengaja dipinggirkan. Tak peduli aral melintang, Syarikat tetap menempuh jalan kemanusiaan itu. Sebagaimana “guru”-nya, Gus Dur, yang tidak pernah takut dan lelah untuk memperjuangkan keadilan dan membela kaum tertindas.

Santri asal Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *