Dari sekian banyak materi pelatihan yang dirumuskan Seknas GUSDURian, materi level of listening yang menurutku paling berkesan. Awalnya materi ini aku anggap remeh, tidak terlalu peduli. “Apa sih pentingnya mendengar, sehingga harus disisipkan dalam materi pelatihan? Mendengar, ya mendengar saja, memang kodrat telinga begitu, kok!” kataku saat itu.
Namun seiring perjalanan waktu, ternyata makna mendengar tidak sesederhana yang aku pahami. Justru setelah menyelami materi ini, aku kemudian menyadari, ternyata mendengar tidak semudah yang aku bayangkan. Mendengar tidak hanya sekadar melibatkan pancaindra untuk memahami dan menangkap sesuatu, tetapi juga empati dan pengertian.
Stephen Covey dalam bukunya berjudul The 7 Habits of Highly Effective People menyampaikan bahwa membaca, menulis, berbicara dan mendengarkan adalah tipe dasar komunikasi. Namun dalam aktivitas keseharian, sebagian besar manusia menghabiskan waktu dan usianya dengan berbicara, membaca, dan menulis, namun sangat sedikit yang menggunakan telinganya untuk mendengar.
Kalaupun harus mendengar, itu pun hanya sekadar seperti angin lalu yang tak pernah singgah. Kata-kata terdengar, tapi makna tak pernah benar-benar diterima. Mungkin karena itulah, Covey, dalam bukunya yang legendaris itu sangat serius membedah teori mendengarkan.
Covey menyadari bahwa telinga bukanlah alat utama dalam mendengarkan. Justru hati dan pikiranlah yang menentukan apakah seseorang benar-benar hadir dalam percakapan. Ia menekankan bahwa kebanyakan orang tidak mendengarkan dengan niat memahami, melainkan dengan niat menjawab. Dan di situlah letak kegagalan komunikasi yang paling mendasar.
Dalam dunia yang penuh kebisingan, kemampuan untuk mendengar dengan sungguh-sungguh adalah seni yang langka. Covey mengajak kita untuk melatihnya, karena hanya dengan memahami, kita bisa membangun hubungan yang bermakna.
Level of Listening
Covey menyebutkan ada lima level mendengar pada manusia. Level pertama adalah seseorang mendengar hanya untuk menjawab. Di level ini, pendengar tidak benar-benar hadir untuk memahami, melainkan sibuk menyiapkan respons. Bahkan, tak jarang respons itu berubah menjadi penghakiman.
Fenomena ini sangat umum terjadi dalam relasi yang tidak setara, misalnya antara junior dan senior, bawahan dan atasan, atau murid dan guru. Ketimpangan posisi membuat satu pihak merasa lebih berhak untuk menilai daripada memahami.
Pada situasi seperti ini, komunikasi menjadi timpang. Yang satu berbicara dengan harapan didengar, yang lain mendengar dengan niat membalas. Pada konteks ini, mendengar sering kali dikalahkan oleh ego dan dominasi.
Level kedua, mendengar dengan mengabaikan. Covey menyebutkan bahwa level kedua dalam mendengar adalah ketika seseorang mendengar dengan mengabaikan. Ini bukan sekadar tidak fokus, melainkan bentuk pendengaran yang pura-pura, seolah-olah hadir, padahal hati dan pikiran sedang menjauh.
Fenomena ini kerap muncul dalam relasi kuasa. Seorang bawahan, misalnya, hanya bisa mengangguk-angguk di depan senior yang tengah berbicara panjang lebar. Bukan karena ia setuju, melainkan karena ia tak punya ruang untuk menyela.
Dalam hatinya mungkin gusar, tak sepakat, bahkan lelah. Namun karena tak kuasa melawan dominasi sang penutur, ia memilih untuk berpura-pura mendengar, demi menjaga harmoni, atau hanya sekadar membuat penutur merasa nyaman. Pendengar semacam ini juga biasa juga diistilahkan pendengar kamuflase yang tidak hanya terjadi pada relasi kuasa, tetapi juga dalam relasi sebaya.
Di level ini, komunikasi tak ubahnya seperti sandiwara. Yang satu berbicara dengan penuh keyakinan, yang lain mendengar dengan wajah sopan tapi hati kosong. Tidak ada pertukaran makna, hanya pertukaran peran.
Level ketiga, mendengar selektif (selective listening), yaitu mendengarkan secara parsial, hanya pada bagian-bagian yang sesuai dengan pemahaman, pengalaman, atau keyakinan pribadi. Pendengar di level ini tidak hadir secara utuh, melainkan menyaring informasi berdasarkan apa yang ingin ia dengar, bukan apa yang sebenarnya disampaikan.
Dalam praktiknya, tipe pendengar ini cenderung mencari pembenaran, bukan pemahaman. Ia akan fokus pada kata-kata yang mendukung pandangannya, dan mengabaikan bagian yang bertentangan. Akibatnya, komunikasi menjadi bias dan tidak menyeluruh. Dialog berubah menjadi monolog batin, di mana pendengar hanya memperkuat narasi internalnya sendiri.
Fenomena ini sering terjadi dalam diskusi yang melibatkan opini, nilai, atau pengalaman hidup. Alih-alih membuka diri terhadap perspektif baru, pendengar selektif menutup pintu pemahaman demi kenyamanan mental. Ia tidak mendengar untuk belajar, tetapi untuk mengafirmasi.
Pendengar semacam ini juga sering diistilahkan pendengar yang tidak utuh. Ia hadir secara fisik, tetapi tidak secara mental dan emosional. Komunikasi menjadi terfragmentasi, dan potensi untuk membangun koneksi yang mendalam pun terhambat.
Level keempat, mendengar dengan penuh perhatian. Di Level ini, pendengaran bukan lagi sekadar aktivitas pasif, melainkan bentuk keterlibatan penuh. Pendengar memfokuskan energi dan perhatiannya pada setiap kata yang terucap, seolah-olah setiap kalimat adalah kunci untuk memahami isi hati penutur. Ia hadir sepenuhnya: secara fisik, mental, dan emosional.
Pendengar semacam ini juga dikenal sebagai pendengar simpati. Ia tidak hanya menyimak, tetapi juga menyetujui dan menilai dengan rasa kagum. Sosok penutur sering kali menjadi pusat perhatian, dan pendengar merasa terhubung secara emosional.
Namun, di balik kekaguman itu, tersembunyi potensi ketergantungan. Karena terlalu larut dalam pesona dan persetujuan, pendengar bisa kehilangan objektivitas dan menjadi terlalu bergantung pada pandangan atau kehadiran sang penutur.
Level kelima, mendengar dengan empati. Mendengar dengan empati adalah level tertinggi dalam mendengarkan. Mendengar atau melihat dunia sebagaimana lawan bicara kita melihatnya. Level mendengar hal ini, tidak hanya mampu memahami cara pandang lawan bicara, tetapi juga memahami perasaan lawan bicara mereka.
Mendengar secara empatik tentu berbeda dengan mendengar secara simpati. Menurut Covey, inti dari mendengarkan secara empatik, bukan berarti harus setuju dengan apa yang diungkapkan oleh lawan bicara, melainkan memahami secara mendalam lawan bicara, baik secara emosional maupun intelektual.
Mendengar dengan empati, tidak hanya sekadar mendengar dengan telinga, tetapi juga melibatkan mata, hati dan perasaan. Dengan mendengar secara empatik, kita tidak akan mudah menghakimi orang lain, mendukung, berpura-pura (kamuflase) dan mengagumi. Singkatnya, menurut Covey, mendengar secara empatik adalah inti dari komunikasi yang efektif dan manusiawi.
Jalan Menuju Kemenangan
Dari penjelasan tersebut, aku semakin memahami mengapa Tuhan menganugerahkan dua telinga dan hanya satu mulut, agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sebab mendengar bukan sekadar diam; ia adalah kerja batin yang menuntut kesabaran, empati, dan kerendahan hati.
Sampai di sini, aku tiba pada sebuah kesimpulan bahwasanya mendengar bukanlah perkara mudah. Ia bukan sekadar aktivitas pasif menangkap suara, melainkan sebuah seni yang menuntut kesabaran, kerendahan hati, dan keterbukaan. Belajar mendengar berarti belajar menahan diri, memberi ruang bagi orang lain untuk hadir sepenuhnya dalam percakapan.
Hal ini penting dipahami, karena sering kali kita tidak bisa mendengar orang lain bukan karena adanya gangguan kesehatan pada telinga, melainkan karena adanya ego yang terlalu tinggi. Ego ini membuat kita enggan membuka diri terhadap orang lain, terutama ketika pandangan mereka berbeda dengan kita.
Akibatnya, kemampuan untuk mendengarkan dengan tulus terhalang oleh prasangka dan rasa superioritas. Pada akhirnya, musuh terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Karena itu, penting untuk menyelesaikan diri terlebih dahulu sebelum menyelesaikan orang lain, sebab kemenangan pribadi, melampaui kemenangan publik, kata Covey.









