Dari Margorejo ke Polda, dari rak kosong ke ruang interogasi.
Beberapa waktu yang lalu, aku dikejutkan dengan kabar tutupnya toko buku Togamas di Margorejo, Surabaya. Aku terdiam sebentar, mencoba memahami arti kehilangan ini. Sial, Togamas yang lima tahun terakhir mulai menutup beberapa tokonya, kini sudah mencapai babak akhir. Hilang sudah diskon 10% dan 15% untuk pelajar atau mahasiswa yang dulu terasa begitu membantu. Dimulai dari Togamas UNESA, lalu Manyar, Nginden, Diponegoro, dan berakhir di Margorejo.
Tak hanya Togamas, Toko Buku Agung juga mulai melakukan penutupan sejak tahun 2020, dimulai dari Plaza Surabaya yang akrab kita sebut Delta, lalu DTC, Grand City, hingga terakhir di CITO. Beberapa toko buku independen lainnya bahkan menghilang diam-diam, seakan lenyap dari peta Surabaya tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Tanpa toko buku seperti Togamas atau Agung, sepertinya aku hanya akan menjadi peminjam buku abadi atau lebih buruk lagi, penonton yang bodoh di tengah banjir kebodohan.
Tahun ini bisa dibilang sebagai tahun meredupnya pengetahuan dan budaya baca. Bagaimana tidak, ketika toko buku murah tutup, di sisi lain negara justru sibuk menangkap orang-orang yang membaca buku “tidak sesuai kaidah kenegaraan” atas nama keamanan. Ironi yang sulit dicerna: membaca bisa dianggap ancaman.
Padahal, menurut data BPS dan Perpusnas, tingkat kegemaran membaca justru meningkat. Namun sayangnya, kebiasaan membaca kini lebih banyak berpindah ke ruang digital, timeline, caption, dan thread panjang di media sosial. Akibatnya, ruang interaksi literasi di Kota Surabaya makin berkurang. Tidak ada lagi tempat bagi anak-anak muda untuk sekadar membolak-balik halaman buku sambil mencium aroma kertas baru. Tantangan kita hari ini bukan hanya menjaga minat baca, tetapi juga mempertahankan ruang fisik tempat budaya membaca bisa tumbuh dan hidup bersama masyarakat. Sebab akses terhadap buku bukanlah urusan hobi, tapi urusan kesetaraan sosial.
Yang lebih menyedihkan, dari toko buku yang tutup karena sepi pembeli, kini kita justru menyaksikan buku-buku lain disita. Penyitaan buku sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Tahun 1990-an, bahkan jauh sebelumnya, peristiwa serupa sudah terjadi. Kita tentu masih ingat bagaimana Pramoedya Ananta Toer diasingkan dan tulisannya pernah dilarang beredar.
Jika kamu pernah membaca Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, kamu pasti mengenal Laut, seorang pemuda idealis yang diculik, dibunuh, dan jasadnya tak pernah ditemukan. Ia dianggap berbahaya hanya karena berani berpikir dan menulis. Ironi itu kini terasa hidup kembali. Tahun ini, beberapa anak muda yang juga mencintai pengetahuan mengalami nasib serupa dalam bentuk yang berbeda. Ada Paul, aktivis demokrasi; Dalpedro, direktur Lokataru; Sam Oemar, penulis dan aktivis; serta Faiz Yusuf, seorang pelajar dan pegiat literasi di Kediri. Mereka ditangkap secara sporadis setelah demonstrasi akhir Agustus lalu. Tuduhannya macam-macam, tapi yang paling menyedihkan: barang buktinya adalah buku. Sebuah negeri yang takut pada buku, sesungguhnya sedang takut pada pikirannya sendiri.
Maka aku bertanya, apa sebenarnya yang membuat buku begitu ditakuti? Apakah karena ia menyebarkan ide, atau karena ia bisa membangkitkan kesadaran?
“Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, bakarlah bukunya terlebih dahulu.” Fahrenheit 451
Pertanyaan paling mendasar pun muncul yang kerap menggangguku: apakah negara berhak mengatur bacaan warganya? Negara boleh melindungi rakyat dari disinformasi, tetapi tidak dengan membatasi wacana dan pemikiran. Batas antara perlindungan dan represi kini semakin kabur. Negara seperti ingin memegang pena sekaligus penghapus. Mereka menentukan apa yang boleh ditulis dan mana yang harus dihapus dari sejarah.
Beberapa bulan terakhir, semuanya terasa absurd. DPR mengolok-olok rakyat, rakyat muak, lalu turun ke jalan. Ekonomi lesu, para aktivis ditangkap, lembaga bantuan hukum sibuk bolak-balik ke polda. Dan di tengah kesibukan dunia itu, aku kembali bertanya: DPR sekarang ngapain, ya?
Mungkin, di tengah kebisingan politik dan ketakutan negara pada pengetahuan, buku hanya ingin mencari rumahnya kembali. Rumah yang tidak sekadar toko, tapi ruang aman bagi pikiran-pikiran yang berani hidup. Karena literasi tidak benar-benar mati, ia hanya sedang bersembunyi, menunggu kita membaca lagi dengan keberanian.









