Bangsa Indonesia memang bangsa yang menyukai hal-hal viral. Hal-hal berat seperti kasus pelanggaran hak masyarakat adat seperti di Pubabu dan Pulau Rempang menjadi perhatian masyarakat karena viralitas beritanya. Tagar #NoViralNoJustice pun menjadi populer. Demikian juga hal-hal sederhana seperti tren telolet atau tren minum oralit saat sahur bagi kaum Muslim.
Tentu saja ini erat kaitannya dengan menguatnya kehadiran media sosial secara global dalam kehidupan manusia zaman sekarang. Tetapi, hal ini tidak lepas dari watak masyarakat Indonesia yang terkenal dengan adat berkumpul, misalnya tradisi njagong (Yogya), serawung (Jawa), dan ngariung (Sunda), serta bergotong royong. Media sosial kemudian menjadi tempat untuk njagong tanpa batas bagi orang Indonesia. Pertemuan antara watak komunal dan faktor eksternal berupa teknologi informasi menyebabkan orang Indonesia mudah terjebak pada bandwagon effect (Efek Ikut-ikutan).
Efek Ikut-ikutan ini disebabkan oleh rasa takut tertinggal (fear of missing out/FOMO), konformitas sosial, dan keinginan untuk mendapatkan perhatian dari sesama. Pada orang Indonesia, ketiga aspek ini tampak sangat jelas. Tetapi, di sisi lain, Efek Ikut-ikutan ini juga membawa peluang perubahan sosial yang positif. Tren mengabarkan tentang sebuah warung yang sepi dengan penjual renta cukup sering kita temui di media sosial, dengan harapan warganet berbelas kasih kepada sang penjual.
Tepuk Sakinah menjadi tren terakhir yang sedang ramai di media sosial dan menjadi bahan pembahasan mulai dari akademisi sampai para pemengaruh sosial. Diawali dengan konten Tepuk Sakinah oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Menteng, Jakarta, yang viral, video-video pendek mulai dari bentuk asli sampai parodi bermunculan. Demikian juga versi musiknya yang semakin beragam, seperti versi rock metal, dangdut, pop funk, bahkan versi mars.
Sebagian masyarakat menilai bahwa Tepuk Sakinah terlalu menyederhanakan kehidupan perkawinan atau tidak sesuai dengan realitas perkawinan yang lebih banyak bermasalah. Tetapi, sebagian besarnya menyukai Tepuk Sakinah dan menjadikannya pesan harapan.
Tepuk Sakinah sejatinya bukan barang baru. Sejak 2016, ia menjadi bagian dari kegiatan Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin Muslim di KUA (Bimwin Catin). Kegiatan ini dikembangkan atas permintaan Menteri Agama kala itu sebagai upaya untuk memperbaiki versi lama, yaitu Kursus Calon Pengantin yang melulu berupa ceramah/penasihatan. Saya didaulat beliau untuk mengoordinasi tim pakar Hukum Keluarga Islam dan psikologi keluarga, sampai lahirlah Bimwin Catin yang didesain dengan model semiloka partisipatif, di mana Tepuk Sakinah sebagai salah satu teknik internalisasi nilainya.
Lirik Tepuk Sakinah cukup sederhana: berpasangan, janji kokoh, saling cinta, saling hormat, saling jaga, saling ridho, musyawarah untuk sakinah. Kata-kata kunci ini adalah pesan utama dari konsep keluarga sakinah yang dikembangkan, dengan merujuk kepada pesan-pesan dalam Al Quran terkait perkawinan.
Sebagaimana termuat dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah (Kemenag RI, 2017), keluarga sakinah digambarkan seperti bangunan rumah. Fondasinya perlu kuat dan dalam, yaitu prinsip keadilan, kesalingan, dan keseimbangan (Mu’adalah, Mubadalah, dan Muwazanah). Perkawinan akan kokoh bila kedua orang tersebut mampu menjaga prinsip adil dan saling menguatkan. Prinsip keseimbangan mengingatkan kedua pasangan agar mampu menjaga keseimbangan dirinya antara peran sebagai pasangan dan individu, serta antara peran domestik dan peran publik.
Dengan fondasi yang kuat, pilar-pilar bangunan keluarga akan berdiri lebih kokoh. Terdapat lima kata kunci, yaitu perspektif zawaj (berpasangan), mitsaqan ghalidza (janji kokoh), mu’asyarah bil ma’ruf (saling berlaku baik), musyawarah, dan taradlin (rida).
Pilar-pilar yang kokoh ini akan menopang atap bangunan keluarga, yaitu kemaslahatan keluarga (kebaikan bersama bagi setiap anggota keluarga). Hanya dengan kokohnya bangunan keluarga, akan terwujud suasana batin sakinah mawaddah rahmah (tenteram-menenteramkan dengan cinta dan kasih sayang).
Pesan-pesan inilah yang disisipkan dalam Tepuk Sakinah. Suami istri didorong untuk mengingat bahwa perkawinan adalah janji kokoh yang diucapkan atas nama Tuhan. Mereka juga menjaga sikap saling alias tidak egosentris dalam menjalani hidup bersama, dan saling berlaku baik kepada pasangan seperti sikap saling menghormati dan mendukung, mengharap rida satu sama lain, serta mengutamakan dialog, bukan menang-menangan otoritas.
Dengan konsep seserius ini, tentu saja tidak mudah untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada para calon pengantin di KUA. Di dalam Bimwin, para calon pengantin diajak untuk memperkuat bekal fondasi, lalu mengurai psikologi keluarga, literasi keuangan, kesehatan reproduksi, serta menyiapkan diri untuk menjadi orangtua dengan menggunakan prinsip nilai dasar tersebut.
Tepuk Sakinah menjadi alat sederhana untuk menanamkan nilai-nilai ini. Bagi publik umum yang tidak mengikuti Bimwin Catin, nilai-nilai tersebut mungkin terasa idealistik atau asing. Tetapi, bagi calon pengantin yang hadir ke KUA, ia tidak semata seseruan. Ia menjadi pengingat atas konsep keluarga sakinah yang sedang mereka perjuangkan.
Pilihan gerakan Tepuk Sakinah pun diselaraskan dengan pesan-pesan ini. Gerak jari bergantian, jejari yang terkatup, dan gerakan lainnya akan memperkuat pesan untuk masuk ke alam bawah sadar pasangan suami istri, sebagaimana prinsip neuro-linguistic programming.
Viralnya Tepuk Sakinah menunjukkan tren bangsa kita yang mudah menyerap hal-hal yang dianggap menyenangkan dan sederhana. Kali ini, setidaknya pesan yang viral adalah pesan yang bermakna, tidak sebatas joget-joget belaka.
Salut untuk para penyuluh agama dan penghulu di KUA seluruh Indonesia yang selama ini telah konsisten membekali para calon pengantin dengan konsep keluarga sakinah dan Tepuk Sakinah dengan cara sederhana dan menyenangkan. Semoga keviralan ini membuahkan pemahaman publik yang lebih luas dan berdampak pada resiliensi keluarga Indonesia.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 12 Oktober 2025









