YOGYAKARTA – Forum Lingkar Jagat Jaringan GUSDURian mengadakan diskusi publik bertajuk “Yogyakarta Merdeka dari Sampah, Mungkinkah?” di Ruang Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Kamis (16/10).
Diskusi ini diikuti oleh para tokoh lintas iman, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum. Persoalan sampah di Yogyakarta semakin ke sini menjadi semakin genting. Pasalnya masalah yang dihadapi berlapis-lapis dan kompleks. Praktik baik yang telah dilakukan oleh komunitas, unit-unit, perlu untuk ditularkan kepada masyarakat lainnya serta berkesinambungan dengan pemerintah.
Wiji Nurasih selaku narasumber dari Penggerak JAGAT Jaringan GUSDURian menuturkan, kondisi sampah di Yogyakarta sekarang menghadapi persoalan yang sangat kompleks. Ketika para aktivis mencoba memulai membahas permasalahan sampah, mereka harus berhadapan dengan para pengepul sampah. Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah masih rendah, sehingga saat menggunakan alat pengolahan sampah alatnya akan cepat rusak, karena sampah masih tercampur.
“Sampah yang tercampur ada yang basah, kering, maka membuat pemrosesan tidak berhasil,” tutur Wiji.
Senada dengan Wiji, Ahmad Uzair selaku narasumber dari kalangan akademisi memaparkan bahwa persoalan sampah menjadi kompleks karena melibatkan banyak hal, mulai dari kebijakan, kemauan, dan partisipasi masyarakat. Sehingga jika mau menekan persoalan sampah harus saling tergantung.
“Kita tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah sendiri, apa yang dilakukan orang lain berdampak kepada kita,” papar dosen UIN Sunan Kalijaga tersebut..
Di sisi lain, sampah ini juga menimbulkan masalah ketidakadilan. Sampah dari kota akan dibawa jauh menuju daerah dataran tinggi. Penduduk yang tinggal di dekat TPA akan terdampak, utamanya terhadap kesehatan.
“Mereka yang miskin jauh dari kota terkena dampak negatif yang mengancam kesehatan dan nyawa,” imbuh Uzair.
Diana Jirjis, selaku narasumber sekaligus pengasuh PP Krapyak Yayasan Ali Maksum, menjelaskan bahwa melihat kondisi Yogyakarta sekarang, berbagai pihak harus melakukan kolaborasi. Menurutnya, gerakan ini tidak bisa hanya satu unsur saja, melainkan harus bergerak secara bersama-sama. Mulai dari unit terkecil hingga pusat.
“Sulit untuk bisa menyelesaikan permasalahan sampah ini tanpa adanya kolaborasi,” ujar Diana.
Wiji menceritakan praktik baik yang telah dilakukan Komunitas GUSDURian Jogja sebagai upaya untuk menangani persoalan sampah. Sejak tahun 2023, papar Wiji, komunitas sudah melakukan pendampingan terkait pengelolaan sampah di Kelurahan Banguntapan, di antaranya dengan membuat forum diskusi, dialog, dan udar rasa. Pendampingan ini mengumpulkan para tokoh agama untuk bersama kolaborasi terkait persoalan sampah.
“Untuk meminimalisir sampah, ketika mengadakan sebuah acara, kami memilih konsumsi yang tidak menggunakan banyak bungkus, tidak menggunakan minuman kemasan sekali pakai, dan menghimbau peserta untuk membawa tumbler. Selain itu, juga menyediakan tempat sampah yang sudah terpilah,” jelas salah satu presidium GUSDURian Jogja tersebut.

Praktik baik juga datang dari Diana. Gerakannya berawal dari keresahan atas mahalnya biaya operasional dan pengangkutan sampah ke TPA Piyungan yang hanya memindahkan saja. Ponpes Krapyak Yayasan Ali Maksum menginisiasi untuk mengolah sampah secara mandiri. Dimulai dengan melakukan pemilahan sampah, setidaknya ada sembilan macam sampah. Setelah dipilah, sampah akan dijual dengan bergabung di Kelurahan Panggungharjo.
“Cara ini cukup signifikan dalam upaya mengurangi sampah yang awalnya 2 ton hanya menjadi 1 kuintal,” ujar Diana.
Dukungan dari para pengasuh komplek menjadi titik poin penting untuk kemudian mengajak para santri bersama-sama mengatasi masalah sampah. Dalil dan nasihat kiai dengan ajakan menjaga kebersihan menjadi penguat.
“Salah satu ajaran Kiai Ali Maksum adalah nek ora gelem ngresiki ojo ngregeti (kalau tidak mau membersihkan jangan mengotori),” imbuh Diana.
Sjamsu Agung Widjaja, narasumber sekaligus Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup DIY menuturkan, Yogyakarta banyak bangunan hotel, restoran, kafe, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 075 tahun 2019. Dalam peraturan tersebut, jelas bahwa bangunan-bangunan tadi harus menyusun road map pengurangan sampah.
“Hotel-hotel yang ada sekarang ini ini harus melaporkan sampah yang dihasilkan itu dari mana, digunakan untuk apa, dibuang di mana,” ujar Agung.
Sekarang tinggal bagaimana kita mencontoh praktik baik yang telah dipaparkan oleh para narasumber. Mulai dari komunitas, pesantren, dan para jejaring sampah di DIY. Pemerintah akan men-support dengan dana keistimewaan
“Memang ini menjadi harapan-harapan kita untuk terus berjejaring,” pungkas Agung.









