SERANG – Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten menggelar diskusi ilmiah bertema “Moderasi Beragama di Tengah Arus Perbedaan: Perspektif Minoritas dan Tantangan Kebangsaan”. Kegiatan ini berlangsung di Kantor PCNU Kota Serang, Lingkungan Kahuripan, Cipocok Jaya, Senin, 17 November 2025.
Acara ini menjadi ruang dialog penting bagi mahasiswa lintas iman. Mereka membahas bagaimana moderasi beragama dipahami, dijalankan, dan diperjuangkan di tengah realitas sosial yang masih diwarnai intoleransi dan diskriminasi.
Koordinator GUSDURian Serang Raya dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Serang, Kharis Pranatal Sihotang, menyampaikan pandangan di sesi dialog dari perspektif Kristen. Menurutnya, moderasi beragama berarti menjalankan iman secara tulus, terbuka, dan penuh kasih tanpa terjebak ekstremisme.
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” kutip Kharis dari Matius 22:39. Baginya, prinsip ini mengajarkan umat Kristen untuk setia pada keimanan, namun tetap menghormati keyakinan orang lain.
Ia menegaskan, menjadi minoritas bukan alasan untuk menarik diri dari kehidupan sosial. Tantangan seperti stereotip, diskriminasi, dan kesulitan pendirian rumah ibadah masih terjadi. Namun, menurutnya, umat Kristen justru terpanggil untuk menjadi “garam dan terang dunia”. Sikap itu diwujudkan melalui teladan kasih, perdamaian, dan keadilan.
Kharis mengurai prinsip moderasi dalam ajaran Kristen. Ia menyebut nilai kasih dan pengampunan, hidup damai dengan semua orang, serta kebebasan beragama yang disertai tanggung jawab. Semua prinsip itu mendorong umat Kristen ikut menjaga persatuan bangsa.
Dalam konteks kebangsaan, ia menyebut tiga tantangan utama: radikalisme, politisasi agama, dan minimnya dialog antariman.
“Umat Kristen harus berperan aktif memperkuat Pancasila, toleransi, dan persaudaraan lintas iman,” tegasnya.
Sementara itu, Presidium Forum Komunikasi Pemuda Lintas Iman (FOKAPELA) Banten dan Senior Advisor GUSDURian Serang Raya, Taufik Hidayat, memaparkan dasar hukum moderasi beragama pada sesi dialog tersebut. Ia menyebut empat landasan utama: UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2, UU HAM No. 39/1999 Pasal 22 Ayat 2, Perpres No. 83/2015 Pasal 2 tentang Kementerian Agama, dan Perpres No. 18/2020 RPJMN 2020–2024.
“Negara menjamin kebebasan beragama. Itu bukan hanya slogan, tetapi mandat konstitusi,” ujar Taufik.
Ia menjelaskan moderasi beragama sebagai sikap beragama yang seimbang, adil, dan tunduk pada konstitusi. Konsep ini bertujuan menjaga martabat kemanusiaan dan kemaslahatan umum, tanpa kehilangan identitas keagamaan.
Taufik juga memetakan empat indikator moderasi beragama: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan tradisi.
Menurutnya, penguatan moderasi membutuhkan keterlibatan banyak sektor, mulai dari birokrasi, pendidikan, TNI-Polri, media, organisasi masyarakat sipil, hingga partai politik.
Masih di tempat yang sama, Ketua PK PMII UIN SMH Banten, Ima Mahdawani, dalam sesi dialog menegaskan bahwa moderasi beragama bukan slogan semata.
“Moderasi beragama adalah komitmen bersama membangun harmoni. Kita harus membawa pulang pelajaran dari forum ini, lalu menerapkannya dalam kehidupan sosial,” ujarnya.

Kendati demikian, Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN SMH Banten, Salim Rosyadi, mengakui bahwa pemahaman moderasi beragama di kalangan mahasiswa masih rendah. Ia menyebut, masih banyak mahasiswa yang terpapar paham ekstrem dan minim literasi lintas iman.
“Secara program, moderasi beragama mungkin dianggap selesai. Tapi di akar rumput, masih banyak miskonsepsi. Sikap ekstrem masih muncul,” ujar Salim.
Ia menekankan pentingnya pendekatan baru. Moderasi menurutnya tidak cukup dilakukan lewat kegiatan formal, tetapi harus diperluas melalui ruang diskusi kritis, terutama dengan menghadirkan perspektif minoritas.
Salim menyinggung isu sensitif tentang potret kerukunan. Menurutnya, selama ini kerukunan beragama lebih sering digambarkan dari perspektif mayoritas. Padahal, suara minoritas lebih tepat menggambarkan realitas di lapangan.
Ia mencontohkan kasus jemaat HKBP yang sempat mengalami polemik rumah ibadah di Kota Cilegon. Karena itu, Salim mengapresiasi kehadiran perwakilan jemaat HKBP Serang dalam forum diskusi tersebut.
“Inilah kolaborasi yang kita butuhkan. UIN SMH Banten dan PMII membuka ruang dialog. Tahun depan, saya berharap kerja sama ini terus berlanjut,” katanya.
Diskusi ilmiah ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kesadaran lintas iman di kalangan mahasiswa, Hadir dengan khidmat Ketua PCNU Kota Serang KH Saifun Nawasi, Kapus Moderasi Beragama UIN SMH Banten Salim Rosyadi, Sekretaris PCNU Kota Serang Akbarudin, Presidium Koordinator GUSDURian Serang Raya dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Serang Kharis Pranatal Sihotang, Presidium Forum Komunikasi Pemuda Lintas Iman (FOKAPELA) Banten dan Senior Advisor GUSDURian Serang Raya Taufik Hidayat, para peserta, terdiri dari aktivis mahasiswa, pegiat lintas iman, dan tokoh agama.









