Perpustakaan dan Ruang Pembebasan: Refleksi Haul ke-16 Gus Dur

“Perpustakaan adalah tempat untuk memenuhi dahaga ilmu pengetahuan.”

Jika direnungkan lebih dalam, kalimat tersebut menyimpan makna filosofis, sosial, dan kultural yang sangat kuat. Kalimat Gus Dur tersebut tidak sekadar berbicara tentang bangunan penuh rak dan buku, melainkan tentang relasi manusia dengan pengetahuan, tentang kebutuhan batin manusia untuk memahami dunia, dan tentang peradaban yang tumbuh atau runtuh bergantung pada seberapa serius ia memuliakan ilmu.

Dengan menggunakan kata dahaga, Gus Dur sengaja memilih metafora yang sangat manusiawi. Dahaga bukan sekadar keinginan, tetapi kebutuhan mendasar. Orang yang haus tidak bisa menunda minum, karena haus berkaitan langsung dengan keberlangsungan hidup. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan diposisikan sebagai “air” bagi akal dan nurani manusia. Tanpa ilmu, manusia akan kering, rapuh, dan mudah terombang-ambing oleh prasangka, kebencian, serta manipulasi.

Perpustakaan, dalam pandangan Gus Dur, bukanlah simbol kemewahan intelektual, apalagi sekadar pelengkap birokrasi pendidikan. Ia adalah sumber kehidupan intelektual masyarakat. Di sanalah manusia belajar memahami masa lalu, membaca realitas masa kini, dan membayangkan masa depan. Perpustakaan adalah ruang sunyi yang sesungguhnya penuh percakapan—percakapan lintas zaman antara penulis dan pembaca, antara gagasan lama dan pertanyaan baru.

Gus Dur memahami betul bahwa ilmu pengetahuan tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari tradisi membaca, mencatat, dan mendialogkan pikiran. Sejarah peradaban dunia selalu menunjukkan satu pola yang sama: peradaban maju adalah peradaban yang menghormati buku dan perpustakaan. Dari Bayt al-Hikmah di Baghdad, Perpustakaan Cordoba di Andalusia (Spanyol), hingga pesantren-pesantren Nusantara dengan kitab-kitab kuningnya, semua menjadi bukti bahwa ilmu tumbuh subur di tempat-tempat yang memberi ruang bagi pembacaan dan pemikiran.

Namun Gus Dur juga sadar, perpustakaan sering kali diperlakukan secara tidak adil. Banyak perpustakaan dibangun megah, tetapi sepi pengunjung. Buku-buku berdebu, rak tertata rapi, tetapi jarang disentuh. Dalam kondisi seperti ini, perpustakaan kehilangan ruhnya. Ia berubah menjadi monumen, bukan sumber kehidupan. Pernyataan Gus Dur menjadi kritik halus terhadap cara kita memandang ilmu: apakah ilmu sungguh kita butuhkan, atau sekadar kita pajang sebagai simbol kemajuan semu?

Lebih jauh, Gus Dur melihat perpustakaan sebagai ruang demokratis. Di perpustakaan, semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan ilmu. Tidak peduli latar belakang ekonomi, jabatan, atau status sosial, siapa pun yang masuk perpustakaan berhak mengakses pengetahuan. Buku tidak bertanya siapa pembacanya. Ia terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar. Dalam pengertian ini, perpustakaan adalah salah satu wujud paling nyata dari keadilan sosial.

Di tengah masyarakat yang kerap terpolarisasi oleh perbedaan pandangan politik, agama, dan identitas, perpustakaan menawarkan jalan lain: jalan dialog. Melalui buku, seseorang bisa memahami pandangan yang berbeda tanpa harus berdebat secara emosional. Membaca melatih empati intelektual—kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Gus Dur, yang dikenal sebagai tokoh pluralisme, tentu melihat perpustakaan sebagai fondasi penting bagi masyarakat yang toleran dan dewasa.

Bagi Gus Dur, membaca bukanlah aktivitas elite. Ia adalah hak dan kebutuhan semua orang. Karena itu, perpustakaan tidak boleh eksklusif. Perpustakaan harus ramah, terbuka, dan membumi. Ia harus hadir di desa-desa, sekolah-sekolah kecil, pesantren, bahkan ruang-ruang publik yang dekat dengan masyarakat. Ketika perpustakaan hanya hadir di pusat kota atau institusi besar, maka dahaga ilmu sebagian besar masyarakat dibiarkan tak terpuaskan.

Dalam konteks Indonesia, pernyataan Gus Dur ini terasa sangat relevan. Kita hidup di negeri dengan kekayaan budaya dan tradisi lisan yang luar biasa, namun sering kali lemah dalam tradisi membaca. Informasi beredar begitu cepat, tetapi pemahaman sering kali dangkal. Hoaks mudah dipercaya, ujaran kebencian mudah menyebar. Dalam situasi seperti ini, perpustakaan seharusnya menjadi benteng nalar publik, tempat masyarakat belajar memilah informasi dan berpikir kritis.

Gus Dur tidak memisahkan antara ilmu dan nilai kemanusiaan. Bagi beliau, ilmu yang sejati adalah ilmu yang membebaskan manusia dari kebodohan, ketakutan, dan kebencian. Perpustakaan menjadi ruang pembebasan itu. Di sana, seseorang bisa menemukan jawaban, tetapi juga menemukan pertanyaan baru. Dan justru dari pertanyaan-pertanyaan itulah akal manusia terus tumbuh.

Sebagai seorang kiai, Gus Dur juga melihat keterkaitan erat antara ilmu dan spiritualitas. Dalam tradisi Islam, membaca adalah perintah pertama: Iqra’. Membaca bukan hanya teks tertulis, tetapi juga membaca realitas, membaca tanda-tanda kehidupan. Perpustakaan, dalam pengertian ini, adalah ruang ibadah intelektual. Setiap buku yang dibaca dengan niat mencari kebenaran adalah bagian dari perjalanan spiritual manusia.

Sayangnya, semangat ini sering kali tergerus oleh pragmatisme. Pendidikan diukur dari ijazah, bukan dari kedalaman pemahaman. Buku dibaca untuk ujian, bukan untuk kehidupan. Perpustakaan dikunjungi karena kewajiban, bukan karena kebutuhan. Gus Dur, melalui pernyataannya, seolah mengajak kita kembali pada hakikat ilmu: sebagai penawar dahaga batin, bukan sekadar alat administratif.

Lebih jauh lagi, perpustakaan juga memiliki fungsi kultural. Ia menyimpan ingatan kolektif suatu bangsa. Tanpa perpustakaan, sejarah mudah dipalsukan, pengetahuan lokal mudah dilupakan, dan identitas budaya perlahan menghilang. Gus Dur, yang sangat mencintai tradisi dan kearifan lokal, tentu memahami pentingnya perpustakaan sebagai penjaga memori bangsa.

Dalam era digital, makna perpustakaan memang mengalami perluasan. Buku tidak lagi hanya berbentuk fisik. Informasi tersedia di layar gawai. Namun, esensi perpustakaan tetap sama: menyediakan akses yang adil dan bertanggung jawab terhadap pengetahuan. Gus Dur tidak anti teknologi, tetapi ia selalu menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menggunakan ilmu. Perpustakaan, baik fisik maupun digital, harus menjadi ruang yang mendidik, bukan sekadar menumpuk informasi tanpa makna.

Akhirnya, pernyataan Gus Dur ini adalah ajakan reflektif bagi kita semua. Apakah kita masih merasa haus akan ilmu? Ataukah kita merasa sudah cukup tahu, lalu menutup diri dari pembelajaran? Perpustakaan hanya bermakna jika ada manusia yang mau datang dengan kerendahan hati sebagai pencari ilmu, bukan sebagai pemilik kebenaran.

“Perpustakaan adalah tempat untuk memenuhi dahaga ilmu pengetahuan”, bukan sekadar pujian terhadap buku dan rak-raknya. Ia adalah seruan moral agar kita kembali memuliakan ilmu, menjaga tradisi membaca, dan membangun masyarakat yang berpikir jernih serta berjiwa manusiawi. Selama perpustakaan masih hidup dan dikunjungi, harapan bagi peradaban tetap menyala. Dan Gus Dur, dengan kejernihan pikirannya, mengingatkan kita bahwa di sanalah dahaga intelektual manusia menemukan penawarnya. Di sana pulalah kita temukan ruang pembebasan.

Penggerak Senior Komunitas GUSDURian Majene, Sulawesi Barat. Pegiat Literasi PaGi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *