Kecenderungan Perilaku Koruptif Kepala Desa dalam Pembangunan Desa

Pada dasarnya tidak ada definisi tunggal tentang korupsi. Korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Korupsi bisa berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi, misalnya, penggelapan uang atau di luar organisasi, misalnya, pemerasan.

Korupsi kadang-kadang membawa dampak positif di bidang sosial, tetapi korupsi menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan, dan ketimpangan. Korupsi ada yang dilakukan secara freelance artinya pejabat secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap. Namun korupsi bisa mewabah dan tersusun secara sistematis. Menurut Luis Moreno Ocampo bahwa korupsi bisa mencapai level hypercorruption. Sedangkan Herbert Werlin menyebutnya sebagai secondary corruption, yang dibandingkan dengan kecanduan minuman keras.

Korupsi yang sudah memasuki stadium hypercorruption membawa implikasi berbahaya. Korupsi inilah yang biasanya ditemui dalam lingkup pemerintahan daerah (desa) di berbagai negara. Korupsi sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif; kerugian politik karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan; kerugian sosial karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.

Apabila korupsi telah berkembang secara mengakar sedemikian rupa sehingga hak milik tidak lagi dihormati, aturan hukum dianggap remeh, dan insentif untuk investasi kacau, maka akibatnya pembangunan ekonomi dan perpolitikan mengalami kemandegan. Semakin jamaknya praktik korupsi tidak cukup hanya dijelaskan dari satu sudut pandang saja, misalnya pada batas-batas tertentu kehidupan politik lebih banyak menunjukkan diri sebagai ”panglima” dalam penegakan hukum. Ketidakjelasan dunia politik memberi imbas atas munculnya lorong gelap dalam pemberantasan korupsi, misalnya mereka yang terindikasi korupsi berupaya mencari perlindungan ke partai politik. Begitu mendapatkan tempat di partai politik, penegakan hukum terancam mengalami mati suri. Partai politik menjadi bunker bagi para koruptor.

Berlakunya UU Desa telah mereposisi kewenangan pembangunan desa yang dari awalnya merupakan kewenangan pemerintah daerah diubah menjadi kewenangan pemerintah desa. Hal ini menjadi arti penting bagi desa di mana desa yang merupakan kesatuan masyarakat hukum diberikan kembali hak-hak untuk menentukan arah pembangunannya sebagaimana diatur dalam UU Desa Pasal 18 yang berbunyi: “Kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa”.

Selain itu, UU Desa juga telah banyak memberikan perubahan berarti kepada desa. Meskipun adanya perubahan paradigma tersebut, namun dalam praktiknya, yang menjadi kelemahan UU Desa terletak pada pemberian kewenangan pembangunan desa lebih kepada pemerintah desa, tanpa dibarengi penguatan hak masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan desa, maupun peningkatan peran lembaga lainnya seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal tersebut secara otomatis berimplikasi kepada besarnya kewenangan kepala desa apabila dibandingkan dengan pihak lainnya dan memposisikan kepala desa sebagai figur sentral dan dominan dalam pembangunan desa (Kushandajani, 2015; Mardyanto, 2014; Turmudi, 2017).

Adanya dominasi kepala desa dalam perencanaan pembangunan desa yang didasarkan kepada UU Desa Pasal 79 sudah terlihat dari awal, baik dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) maupun dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). Kepala Desa memiliki hak dalam menentukan Tim Penyusun RPJM Desa, sekaligus menduduki jabatan sebagai pembina. Sebagai gambaran bahwa Tim Penyusun RPJM Desa memiliki peran penting sebagai pihak yang menyusun perencanaan pembangunan desa. Kondisi tersebut berlanjut dalam tahapan berikutnya, termasuk dalam tahap Musrembang Desa (UU Desa Pasal 80). Di mana kepala desa berperan sebagai penyelenggara forum Musrenbang Desa yang mempertemukan berbagai pihak termasuk di dalamnya masyarakat.

Hal yang sama juga terjadi dalam proses penyusunan RKP Desa, yang mana rencana pembangunan tahunan desa beserta alokasi anggaran pembangunan desa disusun. Peran kepala desa sangat besar, bahkan sampai dengan tahap akhir berupa pembuatan rancangan peraturan desa tentang RKP Desa. Proses pelaksanaan pembangunan desa yang didasarkan kepada UU Desa Pasal 81, dominasi peran kepala desa sudah terlihat dari tahap awal persiapan pelaksanaan pembangunan desa.

Kepala desa memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menetapkan siapa-siapa saja yang akan menjadi pelaksana kegiatan. Dominasi peran kepala desa berlanjut sampai tahap berikutnya. Seperti kepala desa memiliki hak untuk mengkoordinasikan tahap pembekalan pelaksana kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan, pemeriksaan kegiatan infrastruktur desa, dan pengelolaan pengaduan dan permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Besarnya kewenangan kepala desa di sisi lain nyatanya tidak didukung dengan kewenangan lembaga lain di tingkat desa yang memiliki kewenangan yang seimbang dengan pemerintah desa, khususnya untuk mengawasi kepala desa dalam pembangunan desa. Sehingga tidak memunculkan sistem checks and balances antarlembaga di tingkat desa.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang secara aturan memiliki kewajiban mengawasi kepala desa, tidak berjalan dengan optimal. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu: Pertama, minimnya peran BPD dalam pembangunan desa. BPD tidak dihadirkan dalam keseluruhan proses pembangunan desa, sehingga isu dan rencana pembangunan desa yang selama ini ada dari awal merupakan gagasan dari pemerintah desa. Kedua, kurangnya pemahaman anggota BPD terhadap tugas dan kewajiban yang diembannya, baik dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan, minimnya pelatihan maupun faktor lainnya. Ketiga, terbatasnya anggaran BPD jika dibandingkan dengan tugasnya sebagaimana diatur dalam UU Desa yaitu membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa dan melakukan pengawasan kinerja kepala desa (UU desa pasal 55).

Ketiga permasalahan tersebut pada akhirnya tidak hanya berkontribusi pada kurang optimalnya pengawasan yang dilakukan oleh BPD, tetapi juga adanya sikap kepala desa yang menganggap BPD inferior jika dibandingkan dengan jabatan kepala desa. Hal ini dibuktikan dengan orientasi kepala desa yang lebih mementingkan bentuk pertanggungjawaban kepada Bupati/ Walikota dibanding dengan bentuk pertanggungjawaban kepada BPD.

Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor pendorong perilaku koruptif kepala desa yang memberikan keleluasaan kepada kepala desa baik dalam perencanaan pembangunan desa maupun dalam pelaksanaan pembangunan desa untuk korupsi tanpa takut diawasi oleh BPD.

Atas dasar permasalahan di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa perilaku koruptif kepala desa dalam pembangunan desa dilihat dari aspek regulasi didasarkan kepada 2 (dua) hal, yaitu: Pertama, dominannya kedudukan kepala desa dalam pembangunan desa jika dibandingkan dengan BPD, hal ini dikarenakan besarnya pemberian kewenangan pembangunan desa kepada pemerintah desa. Kedua, tidak optimalnya peran BPD dalam mengawasi kepala desa. Hal ini dikarenakan secara peraturan sulit bagi BPD untuk menjadi lembaga tingkat desa yang setara dengan pemerintah desa dan secara langsung face to face dengan pemerintah desa, atau bahkan menjadi lembaga kontrol di tingkat desa yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada kepala desa jika ditemukan pelanggaran dalam pembangunan desa.

Simpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: Pertama, reposisi penyelenggaraan pembangunan desa dari yang awalnya merupakan kewenangan pemerintah daerah menjadi kewenangan pemerintah desa berimplikasi kepada besarnya kewenangan pemerintah desa dan menempatkan posisi kepala desa sebagai sentral pembangunan desa yang dalam prakteknya kewenangan tersebut dimanfaatkan oleh sebagian kepala desa untuk korupsi. Selain itu, ketiadaan lembaga tingkat desa yang memiliki kewenangan yang kuat untuk mengontrol kepala desa tidak hanya turut berkontribusi kepada tidak optimalnya sistem checks and balances, tetapi juga berkontribusi kepada keleluasaan kepala desa untuk berperilaku koruptif.

Penggerak Komunitas GUSDURian Sumedang, Jawa Barat.