Peta Intelektualisme dan Tema Pokok Pemikiran Gus Dur

Kehadiran Gus Dur—panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI Keempat dan Ketua Umum PBNU 1984-1999 yang wafat pada 30 Desember 2009—tidak bisa dipisahkan dari sejarah kontroversi dan kenylenehan di negeri ini, utamanya sepanjang era Orde Baru. Semenjak kepulangan dari studinya di Mesir dan Irak sekitar awal 1970-an, ia mulai membuat kejutan-kejutan baru. Baik lewat tulisan-tulisannya di pelbagai media massa terkemuka saat itu, maupun lompatan-lompatan tindakannya dari bandara tradisi habitatnya, pondok pesantren, Gus Dur selalu menggulirkan wacana kritis ke hadapan publik—jika ia sendiri tidak menjadi konsumsi untuk wacana publik. Pertanyaannya kemudian: mengapa terjadi kontroversi dan mengapa dianggap nyleneh? Apakah karena faktor Gus Dur yang memicu kontroversi ataukah karena kondisi masyarakat atau negara yang belum siap menerima ajakan Gus Dur, sehingga menimbulkan kontroversi dan menganggapnya nyleneh?

Pertanyaan ini penting dimajukan setidaknya karena dua hal. Pertama, untuk menguji sejauh mana kualitas pemikiran Gus Dur di hadapan publik sehingga mampu membuat kontroversi dan dianggap nyleneh. Kedua, sebaliknya, untuk menilai sejauh mana kedewasaan masyarakat atau negara dalam menghadapi dan menerima pemikiran-pemikiran cerdas dan tindakan-tindakan kritis yang mengagetkan di luar mainstream. Kedua hal ini memang harus dilihat dan diketahui agar kita bisa membaca secara jernih pemikiran atau tindakan Gus Dur, baik dari aspek substantif maupun dari segi pengaruh sosialnya ketika hal itu dilontarkan. Dari sini akan menjadi jelas mana dimensi ontologis dan epistemologis pemikiran Gus Dur—yang oleh beberapa ahli filsafat ilmu bisa bebas nilai—dan mana dimensi aksiologisnya yang tidak bisa mengabaikan sistem nilai di mana pemikiran itu hendak diterapkan.

Pengakuan Berbagai Kalangan

Terlepas dari debat filosofi pemikiran dan tindakannya, sebagaimana umum diketahui, jauh sebelum jadi presiden, Gus Dur memang sering memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara. Perjuangannya yang gigih menegakkan demokrasi dan pemikirannya yang di luar kebiasaan umum selalu diposisikan sebagai ‘pesaing politik’ dari negara. Menjadi tak heran, kalau ia kemudian dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial politik paling independen di Indonesia sepanjang Orde Baru. Jika Presiden Soeharto dengan kalangan tentara dan birokrasi, pada saat itu, dianggap sayap negara (the state), maka Gus Dur dengan NU dan kalangan pro-demokrasi adalah sayap masyarakat sipil (the civil society). Tak ayal lagi, negara dan civil society selalu berhadapan dan bersitegang akibat proses demokratisasi yang selalu membentur benteng otoritarianisme-birokrasi raksasa politik Orde Baru.

Juga tak aneh kemudian, bila komentar-komentarnya dan gerakannya selalu menghiasi halaman-halaman media massa sebanding lurus dengan penampilan negara yang kian hegemonik. Demikian juga keberaniannya menentang arus utama negara dan dalam hal-hal tertentu juga arus masyarakat yang tidak sesuai dengan gagasan dan pikirannya, serta kesetiaannya pada Islam dan nilai-nilai kebangsaan, menjadikannya sebagai tokoh yang populer dan disegani sekaligus dimusuhi dan dicaci-maki sepanjang hidupnya.

Walhasil, Gus Dur menjadi the news maker dan pernah terpilih menjadi tokoh terpopuler tiga kali: pertama, tokoh tahun 1989 oleh Surat Kabar Pikiran Rakyat; kedua, tokoh tahun 1990 oleh Majalah Editor, dan ketiga, tokoh tahun 1999 oleh Surat Kabar Kompas. Lebih dari itu, dia juga banyak menerima penghargaan nasional maupun internasional, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.

Dalam bidang akademik, Gus Dur banyak menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari berbagai universitas dunia ternama. Gus Dur disejajarkan dengan Soekarno sebagai ilmuwan yang masuk ke dalam deretan orang-orang pandai di dunia. Soekarno mampu mengantongi 24 gelar Doktor Honoris Causa (HC), Gus Dur memperoleh 10 gelar Doktor HC. Dalam bidang non-akademik, Gus Dur, di antaranya, memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award dari Philipina (1993), Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations New York (2003), World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul Korea Selatan (2003), Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement (2003), Simon Wiethemtal Center, AS (2008), penghargaan dari Mebal Valor, AS (2008), penghargaan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir, penghargaan dan kehormatan dari Temple University, Philadelphia, AS, yang memakai namanya untuk penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies (2008).

Sedangkan penghargaan nasional, di antaranya, adalah Bintang Tanda Jasa Kelas 1, Pin Penghargaan Keluarga Berencana dari Perhimpunan Keluarga Berencana I, Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie. Tidak hanya semasa hidupnya penghargaan diperoleh, setelah wafat pun penghargaan masih mengalir diberikan kepadanya. Di antaranya adalah Universitas Mahendradatta memberikan Mahendradatta Award A di bidang akademik (2010), Dewan Adat Papua (DAP) menganugerahi Bapak Demokrasi Papua oleh (2010), dan LSM Charta Politika memberikan anugerah Lifetime Achievement Charta Politika Award (2010). Julukan Guru Bangsa dan Bapak Bangsa—bahkan Pahlawan Nasional–hampir diberikan oleh seluruh komponen organisasi, baik dari lembaga Negara, Pemerintah, NGO’s, maupun komunitas sosial lainnya.

Penghargaan-penghargaan ini suatu bukti pengakuan nasional dan internasional terhadap peran dan kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia dalam mewujudkan masyarakat demokratis, adil, dan berkeadaban.

Tokoh Muslim Terkemuka

Pada sisi pemikiran, sejak terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidhiyyah PBNU pada tahun 1984, Gus Dur telah menjadi salah seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Hal ini bukan saja didukung oleh posisinya di NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, melainkan juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, pluralisme, Pancasila, dan demokrasi. Douglas E Ramage [1], Greg Barton [2], Adam Schwarz [3], Mitsuo Nakamura [4], dan Einar M. Sitompul [5], secara umum—meskipun tersirat—sepakat menyebutnya sebagai salah seorang intelektual Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer dengan corak pemikiran Islam yang kritis dan progresif [6]. Dalam penjelasan mereka, Gus Dur pada satu sisi dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur genius dan karismatik setingkat wali, namun pada sisi lain, ia ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi yang sekular atau sebagai intelektual liberal. Kedua posisi inilah yang, dalam perjalanan sosial Gus Dur, menjadi kekuatan sekaligus juga sasaran kritik dari banyak kalangan Islam sendiri.

“Kontroversial” dan kenylenehan” menjadi fokus, karena titik-titik inilah yang telah banyak dijelaskan para ahli pada bidangnya, yakni oleh agamawan, budayawan, politikus, politisi, feminis, ekonom, dan ahli tasawuf. Pencatatan ini penting dilakukan, setidak-tidaknya, sebagai pintu masuk (entry point) kita dalam memahami Gus Dur melalui pendekatan antropologis.

Disadari, memang tidak mudah merumuskan pokok-pokok pemikiran Gus Dur. Karena pemikirannya tersebar ke berbagai media massa dan ditulis dalam waktu yang berlainan secara singkat-singkat, jika tidak hanya berupa lontaran-lontaran gagasan belaka. Kesulitan demikian diakui sendiri oleh Gus Dur ketika memulai kata pengantarnya untuk dua buah buku bunga rampainya, Bunga Rampai Pesantren (1978) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1983). Dia menyadari bahwa betapa sukarnya untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya itu ke dalam sebuah tema atau susunan yang utuh, bukan saja bagi pembaca tapi juga bagi dirinya sendiri.

Kata Barton, peneliti tulisan-tulisan Gus Dur dari Australia, pengakuan Gus Dur tersebut merupakan ekspresi dari kenyataan yang ada, bahwa kedua bukunya itu memuat sejumlah artikel yang ditulis untuk maksud serta audiens yang berbeda. Meski begitu, tidak berarti bahwa pemikiran-pemikiran Gus Dur tak memiliki tema pokok yang dapat memayunginya sebagai sebuah tawaran pemikiran alternatif. Tulisan-tulisan yang berjumlah lebih dari 500 buah itu jika dilakukan klasifikasi dan reformulasi secukupnya kiranya bisa membuahkan satu bangunan pemikiran yang relatif utuh. Karena itu, seperti dikatakan Barton, pengakuan yang disampaikan Gus Dur secara terang-terangan itu sebenarnya hanyalah ungkapan halus dari sikap rendah hatinya kepada para pembaca [7]. Buktinya, secara konsisten, Gus Dur tetap berada pada mainstream paradigma pemikiran makronya, meski dengan gaya zig-zag dalam implementasi partikularnya. Ingin dikatakan, bahwa gaya zig-zag inilah yang sering disalahpahami dan menjadi sasaran kontroversi di tingkat publik.

Tema-Tema Pokok Pemikiran Gus Dur

Dari studi bibliografis yang saya lakukan, ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000. Kini hingga akhir hayatnya (2009) bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya intelektual yang ditulis selama lebih dari dua dasa warsa itu kami klasifikasikan ke dalam delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku, terjemahan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan makalah. Rincian jumlah dari setiap klasifikasi tersebut sebagai berikut:

Jumlah Tulisan Gus Dur dengan Berbagai Bentuknya Tahun 1970-an hingga Tahun 2000)

No.Bentuk TulisanJumlahKeterangan
1.Buku12 bukuTerdapat pengulangan tulisan
2.Buku Terjemahan1 bukuBersama Hasyim Wahid
3.Kata Pengantar Buku20 buku
4.Epilog Buku1 buku
5.Artikel41 buku
6.Antologi Buku263 bukuDi berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media masa
7.Kolom105 bukuDi berbagai majalah
8.Makalah50 bukuSebagian besar tidak dipublikasikan
  493 buku 

Dari tabel di atas jelaslah bahwa Gus Dur tidak sekadar membuat pernyataan dan melakukan aksi-aksi sosial politik, kebudayaan, dan pemberdayaan civil society belaka, melainkan juga merefleksikannya ke dalam tulisan, baik dalam bentuk artikel, kolom, makalah, maupun kata pengantar buku, yang sebagian tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam bentuk buku. Hanya saja, karena buku-buku yang diterbitkan itu dalam bentuk bunga rampai, tanpa ada rekonstruksi dari Gus Dur sendiri, maka kesan ketidakutuhan bangunan pemikiran menjadi tidak bisa dihindari. Tetapi itulah barangkali cermin dari latar intelektual Gus Dur yang bukan dari tradisi akademik “sekolah modern” di mana setiap tulisan mesti terikat dengan suatu metodologi dan referensi formal.

Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau mungkin —meminjam istilah Antonio Gramsci— “intelektual organik” dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi yang disampaikannya.

Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu bisa terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan bisa dilihat dari kecenderungan tulisan-tulisan tersebut.

Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fikih praktis di pesantren hingga wacana global “rekayasa masa depan” disinggung oleh Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur. Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema pokok.

Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:

1.    pandangan-dunia pesantren,

2.    pribumisasi Islam,

3.    keharusan demokrasi,

4.    finalitas negara-bangsa Pancasila,

5.    pluralisme agama,

6.    humanitarianisme universal, dan

7.    antropologi kiai.

Ketujuh tema pokok ini secara umum menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan gender. Tema-tema pokok inilah barangkali yang melandasi seluruh gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan, maupun ekonomi. Semua tema tersebut, dalam banyak tulisan, dibidik Gus Dur dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekayaan intelektual dan kebudayaan pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang membentuk karakter keberagamaan Gus Dur. Sementara pengembaraannya di Timur Tengah dan di Barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu-isu mondial yang membuat Gus Dur harus berpikir kosmopolit dan progresif.

Tema Pokok Pemikiran Gus Dur (1970-an sampai 2000)

No.Bentuk TulisanJumlahKeterangan
1.Pandangan dunia pesantren70 buahTermasuk tema pesantren vs modernisasi, dan pengembangan masyarakat
2.Pribumisasi Islam43 buahTermasuk tema pembaruan Islam
3.Keharusan demokrasi140 buahTermasuk tema civil society dan pemberdayaan ekonomi
4.Finalitas negara bangsa Pancasila73 buahTermasuk tema hubungan NU, agama dan negara
5.Pluralisme agama31 buahTermasuk tema Islam toleransi dan inklusif
6.Humanitarianisme universal72 buahTermasuk tema HAM, gender, dan lingkungan hidup
7.Antropologi kiai24 buahSebagian besar berbentuk kolom

Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur memang melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal; kedua, budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya Barat yang liberal, rasional, dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai akhir hayatnya, Gus Dur senantiasa berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Inilah, barangkali, anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversial [8].

Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat dekatnya, mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat dari beban sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam Indonesia mampu menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara, demokratisasi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, Gus Dur, menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting yang melengkapi khazanah intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik. Dalam konteks inilah, ia —bersama Nurcholish Madjid— lantas disebut sebagai kelompok neo-modernist [9].

Mempertimbangkan penjelasan di atas, kita kadang menyayangkan sekali mengapa sebagian orang bisa mencapai kesimpulan bahwa pemikiran atau tindakan Gus Dur tidak konsisten, hanya karena melihat zig-zag politiknya yang artistik itu. Padahal tampak jelas visi dan gagasan makronya. Hal itu bisa jadi karena mereka tidak begitu intens membaca tulisan-tulisan Gus Dur dan tidak menangkap narasi besar Gus Dur. Jika mereka bersedia membaca lebih dekat tulisan-tulisan yang dihasilkan Gus Dur, maka akan terlihat konsistensi pemikiran dan sikap Gus Dur, meski dengan cara zig-zag dan melawan arus ke sana ke mari. Keterkaitan satu tulisan dengan tulisan lainnya itulah yang membentuk substansi pemikiran progresif, kritis-transformatif, dari Gus Dur.

Untuk mengetahui spektrum intelektualitas Gus Dur dari waktu ke waktu, dan kecenderungan wacana yang dikembangkannya, lihat periodesasi berdasarkan dekade. Dari tabel tersebut, tergambar produktivitas tulisan Gus Dur dari periode ke periode. Secara kuantitatif, statistika tulisan Gus Dur dari tahun ke tahun kian meningkat: dari 37 buah (1970-an) ke 189 buah (1980-an) hingga 253 buah (1990-an). Wacana yang dikembangkannya pun tampaknya mengikuti garis statistik ini.

Periodesasi Tulisan dan Kecenderungan Wacananya (1970-an sampai 2000)

No.PeriodeJumlah TulisanKecenderungan Wacana
1.1970-an37 buahTradisi pesantren, modernisasi pesantren, NU, HAM, reinterpretasi ajaran, pembangunan, demokrasi
2.1980-an189 buahDunia pesantren, NU, ideologi negara (pancasila), pembangunan, militerisme, pengembangan masyarkat, pribumisasi Islam, HAM, modernisme, kontekstualisasi ajaran, partai politik
3.1990-an253 buahPembaruan ajaran Islam, demokrasi, kepemimpinan umat, pembangunan, HAM, kebangsaan, partai politik, gender, toleransi agama, universalisme Islam, NU, globalisasi

Kompleksitas wacana yang menjadi perhatian Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang generalis, bukan spesialis keilmuan tertentu. Hampir setiap isu kontemporer direspons Gus Dur. Ini mungkin berkaitan dengan posisinya sebagai pemimpin publik dan aktivis gerakan sosial, terutama di organisasi NU. Sebagai pemimpin berjuta-juta umat pada level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP) memaksa Gus Dur untuk terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana internal keagamaan dan ke-NU-an hingga wacana global yang menjadi tren Dunia Ketiga.

Meski secara kuantitatif garis statistiknya kian meningkat, namun belum tentu untuk kualitas tulisan-tulisan tersebut. Untuk mengetahui secara pasti kualitas masing-masing tulisan tersebut kiranya butuh penelitian khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa standar tulisan di jurnal ilmiah, seperti Prisma, lebih serius dan lebih bermutu ketimbang tulisan artikel atau kolom di majalah atau surat kabar harian, maka periode pertengahan akhir 1970-an hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan puncak keemasan intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya bisa disebut “periode ilmiah” Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur mencurahkan energi intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di Prisma, Tempo, dan Kompas. Beberapa tulisannya juga termuat di berbagai media massa ternama, seperti Pelita, Pesantren, AulaHorison, Pesan, dan Peninjau. Tulisan-tulisan serius di Prisma, dan kolom-kolom kritis di Tempo, lahir pada periode ini. Selain beberapa dalam bentuk antologi buku, ada dua buah buku yang diterbitkan dalam periode ini, yaitu buku Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: CV Dharma Bhakti, 1978), dan buku Muslim di Tengah Pergumulan (Jakarta: Lappenas, 1981). Dua-duanya bunga rampai dari tulisan-tulisannya tentang pondok pesantren dan tentang Islam versus modernitas dengan berbagai pembaruannya.

Sementara pada periode pertengahan akhir 1980-an hingga pertengahan awal 1990-an, tulisan Gus Dur memang tersebar ke berbagai media massa dengan jangkauan lebih luas lagi. Bukan hanya Prisma, Tempo, Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum Keadilan, dan sejenisnya. Akan tetapi, tulisan-tulisan periode ini relatif lebih pendek dan singkat ketimbang pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi. Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya satu, yakni Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi (Jakarta: RMI bekerjasama dengan Jawa Pos, 1989).

Sementara pada periode 1990-an akhir, tulisan-tulisan Gus Dur selain dalam bentuk artikel dan kolom di pelbagai media massa juga menulis kata pengantar untuk sejumlah buku. Pada periode inilah tulisan-tulisan Gus Dur mulai diterbitkan dalam bentuk buku dan antologi buku secara meluas. Praktis, tulisan-tulisan periode ini, boleh dikatakan, selain memang ada inovasi baru, juga berupa pengembangan dan reproduksi dari gagasan-gagasan besar periode sebelumnya.

Mengapa demikian? Sebab, seperti berulang kali dikemukakan sebelumnya, Gus Dur itu selain intelektual dan pemikir, juga seorang aktivis organisasi dan gerakan sosial. Di sini, produktivitas tulisan Gus Dur tampaknya menunjukkan garis berbanding terbalik dengan frekuensi aktivitas gerakan sosialnya. Ketika Gus Dur belum menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur sangat kreatif dan produktif menulis: menghasilkan banyak karya tulis intelektual yang bermutu dan genuine. Tulisannya tajam, kritis, dan disertai referensi yang handal. Tetapi, setelah Gus Dur duduk di puncak kepemimpinan PBNU lebih sering terlibat di berbagai gerakan sosial, seperti NGO’s, Forum Demokrasi, WCRP, GANDI, dengan akselarasi gerakan yang tinggi, maka produktivitas tulisan pun menurun. Tulisan-tulisan ilmiah bermutu itu berganti dengan komentar-komentar dan statemen-statemen yang hampir tiap hari menghiasi wacana koran atau majalah. Apalagi setelah nuansa gerakan politiknya kian pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI Keempat, maka tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato dan statemen-statemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya.

Dengan pemaparan data-data karya tulis intelektual ini, tampak jelas bahwa Gus Dur ternyata bukan hanya seorang aktivis gerakan sosial dan gerakan politik semata, melainkan juga seorang intelektual dan pemikir cerdas yang terkemuka, sejajar dengan pemikir-pemikir besar lainnya, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Meski ia tak pernah belajar di dunia akademik yang terdepan dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam daftar karya intelektual Gus Dur itu jelas terlihat kedalamannya meramu ilmu-ilmu sosial dengan pengetahuan keagamaan kritis.

Ilmuwan Multitalenta

Dalam beberapa kali diskusi rutin kami di INCReS Bandung sepuluh tahun yang lalu dan di Fahmina-institute lima tahun terakhir ini, tersirat suatu kesimpulan untuk tidak memposisikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran yang ada atau ke dalam golongan-golongan ahli disiplin ilmu yang lazim diberikan oleh perguruan tinggi kita. Bukan karena takut salah atau latah, juga bukan karena khawatir terkena tuduhan Benedict R.O’G Anderson tentang scholarly prejudices (prasangka ilmiah) dalam studi-studi Indonesia yang pernah ditujukan pada para Indonesianis yang karenanya untuk beberapa dasawarsa wacana Nahdlatul Ulama (NU) seolah menjadi tak terpikirkan (unthought-of[10].

Akan tetapi memang terdapat sejumlah keberatan untuk memposisikan Gus Dur dalam satu segi disiplin ilmu saja. Selain karena tak cukup dukungan ilmiah yang kuat dan meyakinkan, juga secara relatif Gus Dur bisa masuk ke dalam semua kategori dan golongan-golongan yang telah dibuat orang. Lebih dari itu, Gus Dur bisa berada di luar semua kategori-kategori positivistik itu (beyond the categories of positivism).

Membaca kembali secara cermat tulisan-tulisan Gus Dur sejak tahun 1970-an hingga sekarang, baik yang sudah dibukukan belakangan maupun yang masih manuskrip, terasa ada nuansa reflektif yang mendalam untuk beberapa cabang disiplin ilmu. Tak tampak bahwa dia pakar dalam satu disiplin ilmu secara penuh, juga tidak tepat apabila Gus Dur diposisikan secara eksesif bahwa ia tidak menguasai satu bidang keilmuan pun. Tulisan-tulisan Gus Dur yang berjumlah lebih dari 500 judul itu tampak menyediakan banyak hal untuk banyak objek kajian, tapi tak satu pun dari kajian itu yang tuntas hingga ke akar-akarnya, kecuali jika direkonstruksi ke dalam satu wacana yang utuh. Tulisan-tulisan itu memang kompleks dan secara materi boleh dikata komprehensif, menarik, tajam, dan selalu mengandung gagasan-gagasan cerdas, tetapi tetap saja masih menyisakan ruang untuk bertanya akibat penulisannya yang singkat dan kadang terkait dengan peristiwa atau wacana yang ngetren saat itu [11].

Akan tetapi sebagai penggagas dan pemikir, Gus Dur sangat maju dan kreatif melontarkan hal-hal baru, semaju dan kreatifnya dalam memperjuangkan liku-liku demokrasi di Indonesia. Jika diibaratkan suatu hidangan dalam suatu pesta, maka Gus Dur adalah seorang koki yang serba bisa masak berbagai jenis makanan dan mampu menyediakannya ke dalam pesta itu secara menarik; di dalam setiap masaknya, koki itu kerap menemukan ramuan masakan terbaru yang belum ada sebelumnya, tetapi —entah kenapa— ramuan terbaru itu tak pernah dimasaknya hingga selesai.

Walhasil, secara kelakar —meniru catatan harian Ahmad Wahib [12]— dapat dikatakan bahwa “Gus Dur bukanlah seorang sosiolog, bukan seorang politikus, bukan seorang politisi, bukan seorang seniman, bukan seorang budayawan, bukan seorang agamawan, bukan seorang feminis, dan juga bukan seorang pemikir, tapi Gus Dur adalah semuanya”. Lebih dari itu, Gus Dur juga seorang humoris [13]. Sebagai budayawan, agamawan, politikus, atau apa saja namanya, orang segera memahami Gus Dur, tapi untuk status yang terakhir ini ada penjelasan kecil dari Gus Dur. Lewat tulisan kolomnya “Melawan Melalui Lelucon” di Tempo tahun 1981, Gus Dur menyatakan “Lelucon, dan bentuk-bentuk humor lain, memang tidak dapat mengubah keadaan atas ‘tenaga sendiri’, sebagaimana juga ideologi-ideologi besar tidak mampu melakukan hal itu sendirian. Namun, lelucon yang kreatif tetapi kritis akan merupakan bagian yang tidak boleh tidak harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultural suatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak ingin kehilangan kehidupan waras dan sikap berimbang dalam menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup sangat luas. Dera kepahitan dalam jangka panjang tidak mustahil akan ditundukkan oleh kesegaran humor.” [14]

Kelakar model ini menemukan pembenarannya ketika dihubung-hubungkan dengan gerakan dan manuver-manuvernya, baik sebelum maupun saat dan setelah menjadi Presiden RI Keempat. Jika hanya dilihat dari satu perspektif saja, manuver dan gerakan itu selalu mengundang kontroversi dan kenylenehan-kenylenehan yang berarti. Kontroversi ini tidak saja dirasakan oleh kalangan NU, melainkan juga oleh mereka yang sering disebut dengan berbagai julukan akademis itu. Ini tidak lain karena Gus Dur selalu menampilkan peran yang multidimensi dengan multistatus di alam kehidupan ini sekaligus.

Oleh karena itu, kami setuju dengan Hairus Salim HS dan Nuruddin Amin, dua peneliti muda kreatif NU yang lahir dari rahim LKiS Yogyakarta, bahwa untuk memahami sosok Gus Dur secara utuh harus dilakukan oleh banyak pengamat dari banyak jalur disiplin. Periodesasi juga penting dilakukan untuk mengetahui masa-masa yang paling menentukan bagi formasi intelektualitas Gus Dur.

Dasawarsa 1970-an hingga 1980-an awal, jika kita mau membagi-bagi secara periodik, di mana Gus Dur sangat kreatif menulis, bisa disebut sebagai “periode-ilmiah” Gus Dur. Yakni ketika Gus Dur lagi gandrung dengan penggunaan metodologi ilmu sosial —terutama antropologi— untuk menjelaskan ‘ideologi’nya. [15] Pada periode ini, pemikiran dan gerakan Gus Dur terfokus pada persoalan sosial, budaya, politik, dan keagamaan yang langsung berkaitan dengan pergolakan dunia pesantren. Sementara akhir dasawarsa 1980-an hingga 1990-an awal adalah periode sepak terjang politik Gus Dur dan munculnya ide-ide Gus Dur yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, humanitarianisme, kebebasan berpendapat, pribumisasi Islam, dan lain-lain, yang bisa dianggap sebagai praksis dari pelbagai pemikiran yang dilontarkannya sekitar satu dasawarsa silam [16].

Belakangan, 1990-an akhir, Gus Dur lebih tampak sebagai politisi yang ikut terlibat dalam gonjang-ganjing politik dalam negeri. Lebih-lebih setelah dirinya dipilih MPR sebagai Presiden RI Keempat, menggantikan BJ Habibie, pada 20 Oktober 1999. Meski sebagai politisi, tetapi Gus Dur tetap menjadi budayawan yang manuver dan pernyataannya membuat dunia politik menjadi dunia seni, yang tidak sakral, tidak hitam-putih, dan tidak menang-menangan. Itu sumbangan terbesar Gus Dur kepada praksis politik kita.

Sejalan dengan berkurangnya produktivitas tulisannya, pernyataan dan manuvernya kian nyleneh dan kontroversial, yang oleh sebagian orang sulit dipahami dengan ukuran rasionalisme dan logika-logika positivistik. Begitulah seni dan menariknya: Gus Dur bukan lagi koki, ia malah hidangan pesta itu sendiri, di mana setiap orang bisa datang ke pesta itu dan bisa menikmati setiap jenis makanan sesuai selera. Greg Barton, Greg Fealy, Douglas E Ramage, Al-Zastrouw Ng, Arief Affandi, Ellyasa K.H. Dharwis, Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Laode Ida & A Thantowi Jauhari, Ahmad Bahar, Ma’mun Murod al-Barabasy, dan Saeful Arief, melalui bukunya masing-masing [17] adalah sedikit orang yang mampu menikmati hidangan itu. Bagi orang yang tidak memahami kosmologi dan antropologi Gus Dur tampak tak dapat menikmati, bahkan enggan mencicipi.

Itulah sebagian sosok Gus Dur, beyond the positivism. Penampilannya di wilayah publik selalu mengundang polemik: kritik dan apresiasi. Pemikiran, gagasan, dan perilakunya tidak mudah begitu saja dipahami. “Sulit memahami Gus Dur”. Pernyataan ini biasanya terdengar dari orang-orang yang kebingungan membaca berbagai pernyataan Gus Dur. Para pengamat politik yang menganalisis pernyataan Gus Dur hanya dengan kerangka teori tertentu pasti tak mudah segera memahaminya. Membaca Gus Dur dengan paradigma positivistik diduga kuat akan gagal memberikan penjelasan yang sebenarnya.

Pernah ada pada tahun 1999, seorang pengamat politik muda yang marah-marah dengan (memaksa) melarang pers memberitakan manuver Gus Dur karena dianggap irasional. Sinyalemen pun muncul —entah ngejek atau memuji— untuk menandai manuvernya, bahwa Gus Dur merupakan tambahan baru dari tiga rahasia Tuhan yang pernah disitir Nabi SAW. Tak seorang pun akan bisa mengetahui kecuali Allah SWT tentang: kematian, rizki, jodoh, dan Gus Dur.

Nyleneh dan “Membingungkan”?

Memang bagi segenap pembaca dan pendengar, ada sesuatu yang brilian dan mencerdaskan dari Gus Dur, sekaligus juga ada yang ‘membingungkan’ dan mengacaukan akal sehat bagi segenap yang lain. Untuk yang terakhir ini, Gus Dur sering dijadikan ‘kambing hitam’ sebagai orang yang membuat keresahan masyarakat akibat pernyataan dan tindakannya yang khariq lil ‘adah (di luar kebiasaan).

Berkaitan dengan kesan yang terakhir: betulkah Gus Dur membingungkan sehingga meresahkan masyarakat? Sejumlah kiai “tradisional” NU dan aktivis pro-demokrasi yang pernah saya wawancarai, semuanya dapat memahami pernyataan dan tindakan Gus Dur. Tak seorang pun yang bingung dan resah akibat itu. Bahkan mereka dengan sangat baik menjelaskan mengapa pernyataan dan tindakan itu muncul dan harus dimunculkan dalam kondisi masyarakat Indonesia seperti ini. Jadi, timbul satu pertanyaan: mengapa sering dimunculkan praduga bahwa “Gus Dur membingungkan dan meresahkan masyarakat”? Siapa sebetulnya yang bingung dan siapa yang membuat kebingungan dan keresahan, tidak demikian jelas.

Agaknya kita harus cermat betul dengan dua istilah ini: “membingungkan” dan “meresahkan”. Dua istilah itu mempunyai akar sejarahnya sendiri dalam wacana kepolitikan Orde Baru. “Membingungkan” dan “meresahkan” adalah dua stigma sosial yang sering digunakan aparatus Orde Baru untuk menundukkan lawan politiknya. Pemikiran yang cerdas dan kritis terhadap negara Orde Baru saat itu selalu dicap “membingungkan” dan “meresahkan” untuk tidak mengatakan “membahayakan” dan “merongrong” kekuasaannya. Atas nama labeling semacam itu, Orde Baru mempersalahkan mereka, dan bila perlu segera menyeretnya ke penjara. Maka jelaslah, dua istilah itu sangat bernuansa politis-ideologis: untuk mengalienasi dan mendorong orang untuk bersikap anti terhadap Gus Dur. Dengan kata lain, sebuah sikap ‘perlawanan’ atas gagasan, pemikiran, dan gerakan Gus Dur yang ingin mengubah status quo!

Lepas dari makna-makna kontroversial yang berkembang, Gus Dur memang dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak status. Selain populer diakui sebagai seorang intelektual kritis, budayawan pluralis, agamawan inklusif, politisi dan politikus independen, Gus Dur juga akrab dengan dunia metafisik (tasawuf). Meski Gus Dur sendiri menolak, tapi oleh sejumlah kalangan Gus Dur diyakini sebagai waliyullah (the holy person). Gus Dur, dengan demikian, memerankan tokoh yang serba bisa untuk segala urusan.

Pemikiran, gerakan, dan wacana yang dikembangkan Gus Dur kadang melampaui Nahdlatul Ulama (beyond the NU), organisasi besar yang dipimpinnya selama lima belas tahun, dan melintas Indonesia (post-Indonesia), negara tempat dia menancapkan pakem-pakem demokrasi. Akan tetapi pada saat lain, sejumlah pemikiran dan gerakannya dinilai cenderung bermuatan ideologis karena keberaniannya melawan arus. Namun, di atas semua itu, komitmen Gus Dur terhadap demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia, termasuk keterlibatannya melindungi dan membela kalangan minoritas dan yang tertindas, tak diragukan sedikit pun.

Dia bahkan telah melintasi sejumlah simbol (beyond the symbols), termasuk simbol-simbol keagamaan, yang kerap digunakan orang-orang yang mengkritiknya. la ibarat burung elang yang terbang tinggi di atas awan “simbol-simbol bumi” dan mengepakkan dua sayapnya ke segala penjuru tanpa beban dan batas yang membelenggunya. Gus Dur sendiri pernah mengatakan, “Siapa saya sebenarnya tidak ada yang tahu, karena pada waktu (dianalisis) itu, (saya) berada di luar jangkauan siapa pun.” [18]

Apresiasi, pemujaan, di satu sisi, dan kritik, tuduhan, hujatan, di sisi lain merupakan hal yang biasa mengena kepadanya. Tidak saja dari kalangan dalam NU, basis komunitas tempat pijakannya, melainkan juga dari kalangan internasional dan kelompok-kelompok yang gemar membawa simbol Islam. Membaca semua fenomena itu, dalam pandangan kami, Gus Dur adalah Gus Dur. Gus Dur tidak bisa direpresentasikan atau merepresentasikan apa pun. Gus Dur adalah sebuah fenomena otonom, yang seluruh kenyelenehan dan kontroversi pemikiran dan tindakannya hanya bisa dipahami dengan mengungkap secara telanjang semua latar sosial-intelektual-biografisnya, situasi sosial-politik-budaya kemunculannya, dan makna-makna tersembunyi (makro) di balik gerakannya. Itulah, kira-kira, partikel-partikel antropologis yang penting dijelaskan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang sosok Gus Dur.

Kita perlu membongkar arkeologi sosial-pemikiran dan gerakan Gus Dur untuk menjelaskan makna (tafsir) dari sejumlah simbol yang sering digunakan Gus Dur di hadapan publik. Banyak memang pemikiran, gagasan, dan perilaku Gus Dur yang membutuhkan penjelasan ilmiah lebih lanjut secara khusus. Belakangan muncul buku-buku tentang Gus Dur, baik tulisan-tulisannya sendiri maupun tulisan orang tentang Gus Dur. Akan tetapi, buku yang mencoba menggali penjelasan-penjelasan antropologis dari sejumlah gerakan, manuver, dan pemikirannya agaknya belum tampak hadir. Kebanyakan buku selain lebih suka membeberkan aspek materiil dari pemikiran dan gerakannya, juga melihat Gus Dur pada sisi politiknya.

Tanpa mengurangi kajian literatur dan dokumen, penjelasan Gus Dur dapat diperoleh dari pendapat, komentar, kritik, dan apresiasi para pakar yang mempunyai otoritas pada bidangnya. Saya pernah mencoba menyajikan “sejarah lisan” dari teori dan pengalaman para ahli tersebut. Ada tujuh fokus kajian tentang Gus Dur, yaitu kajian kebudayaan, politik, agama, ekonomi, gender, dan tasawuf. Masing-masing fokus ini hanya bisa dibedah oleh ahlinya melalui perspektif kritis, non-positivistik.

Bagi saya, Gus Dur adalah sesuatu yang menarik dan sangat berarti bagi pengayaan intelektualisme Indonesia dan catatan biografi sosio-politiko-intelektual seorang pemikir dan pejuang demokrasi di Indonesia. Hipotesis bahwa Gus Dur adalah tokoh multidimensi—sebagai agamawan, politikus, politisi, budayawan, feminis, dan sufi—hanya bisa diungkap dalam keseluruhan peta pemikiran dan gerakan sosial di Indonesia.

Arkeologi sosial-intelektual Gus Dur, yang saya sebut “narasi-kecil perjalanan sosial-intelektual Gus Dur” merupakan pengetahuan dasar untuk memahami dan mengalisis Gus Dur, setidaknya, karena faktor-faktor ini mempunyai peranan yang signifikan dalam pembentukan jati dirinya dalam konjungtur kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, ‘membaca’ Gus Dur tanpa mempertimbangkan “narasi-kecil perjalanan sosial-intelektual Gus Dur” bisa menghasilkan kesimpulan yang keliru.[]

[1] Baca tulisannya yang berjudul “Democratisation, Religious Tolerance, and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid”, dalam Greg Barton dan Greg Fealy (Ed.), NU, Traditional Islam and Modernity, (Clyton: Monash University, 1995), dan “Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Paska Asas Tunggal” dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1997).

[2] Baca bukunya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980, (Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan Ford Foundation, 1999); “Memahami Abdurrahman Wahid” kata pengantar untuk buku K.H. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999); dan “The Impact of Islamic Neo-Modernism on Indonesian Islamic Thought: the Emergence of a New Pluralism” dalam David Bourchier dan John Legge, Democracy in Indonesia 1950s and 1990s, (Clayton: Monash University, 1994).

[3] Baca tulisannya yang bersubtitel “Mam: Coming in from the Cold”, dalam A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s, (Sydney: Alien & Unwin Ply Ltd., 1994).

[4] Baca bukunya yang berjudul Agama dan Perubahan Politik-Tradisionalisme Radikal NU di Indonesia, (Surakarta: Hapsara, 1982), dan ‘The NU’s Leader­ship Crisis and Search for Identity in the Early 1980’s: From Semarang (1979) to Situbondo (1984) Congress” dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed.), NU, Traditional Islam and Modernity, (Clyton: Monash University, 1995).

[5] Baca bukunya yang berjudul Nahdlatul Ulama dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989); dan “NU, Asas Tunggal Pancasila, dan Komitmen Kebangsaan: Refleksi Kiprah NU Paska Khittah 26” dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1997).

[6] Greg Barton, Ph.D, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdur­rahman Wahid 1968-1980, (Jakarta: Kerja sama Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan Ford Foundation, 1999), hlm. 332.

[7] Satu contoh aktual konsistensi pemikiran dan kebijakan Gus Dur terakhir ini adalah soal usulannya kepada MPR untuk mencabut TAP MPRS XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan Paham Komunisme, Marksisme-Leninisme di Indonesia. Orang menduga usulan ini bersifat politis dan hanya untuk kepentingan politiknya semata agar mendapat dukungan politik dari kalangan pro-PKI atau dukungan internasional, berkaitan dengan posisinya sebagai presiden. Praktis, usulan itu mendapat protes, penolakan, dan demonstrasi dari berbagai kalangan, terutama kalangan umat Islam, di berbagai daerah. Padahal kalau kita membaca kembali tulisan Gus Dur tahun 1988 di Majalah Aula, yang berjudul “Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme”, maka kita segera paham dan tahu konsistensi berpikirnya. Menurut Gus Dur dalam tulisan itu, “…. Salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan antara Islam dan Marxisme-Leninisme, keduanya [adalah] sebagai semacam ajaran kemasyarakatan. ….Kesamaan orientasi tersebut, dapat dilihat pada besarnya semangat egalitarianisme dan populisme dalam kedua sistem kehidupan itu. Karenanya, menurut Gus Dur, “…..Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme, melalui ketetapan MPR, adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum Komunis, di tahun 1948 dan 1965. Penolakan itu dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.” Dalam alinea lain, ia menulis, “…. Kenyataan seperti ini, memang jarang dimengerti, karena tinjauan yang dilakukan selama ini—alas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme—sering kali bersifat dangkal, melihat persoalannya dari satu sisi pandangan saja. Itu pun yang bersifat sangat formal. Wajar saja, kalau kaitan antara Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, melainkan diterima dalam praktik…..” Baca sepenuhnya pada Abdurrahman Wahid, “Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme”, Majalah Aula, Surabaya: PWNU Jawa Timur, September 1988.

[8] Cf. Al-Zastrouw Ng, Gus Dur Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hlm. 33-34.

[9] Editor, No. 31/Thn. VI/1 Mei 1993.

[10] Lihat Benedict R. O’G. Anderson, “Religion and Politics in Indonesia Since Independence,” dalam Benedict R. O’G. Anderson, Mitsuo Nakamura, dan Mohammad Slamet (eds.), Religion and Social Change in Indonesia, (Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1977).

[11] Diketahui bahwa hampir seluruh tulisan-tulisan Gus Dur berupa kolom di berbagai majalah, artikel di berbagai media massa, “kata pengantar” di berbagai buku, dan makalah-makalah yang dipresentasikan di berbagai seminar di dalam maupun luar negeri. Topik pembicaraannya berbeda-beda sesuai dengan permintaan dan situasi sosial kapan ia menulis.

[12] Djohan Effendi dan Ismed Natsir (eds.), Pergolakan Pemikiran Islam Catalan Harian Ahmad Wahib, Cet. V, (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 46.

[13] Perihal status humoris ini, data paling mutakhir ditunjukkan saat Jaya Suprana mewawancarai Presiden Gus Dur dalam acara talkshow di TPI dalam rangka peringatan hari ulang tahun TPI, Minggu, 23 Januari 2000, dari pukul 20.00-21.00. Betapa Gus Dur mampu menampilkan diri sebagai seorang humoris yang cerdas bahkan paling cerdas di antara setumpuk lelucon-lelucon —entah dalam bentuk paket acara apapun— yang kerap muncul di televisi akhir-akhir ini. Ketika Jaya Suprana meminta klarifikasi, “Apa ada kepala negara lain yang lebih lucu ketimbang Gus Dur?” Gus Dur menjawab agak serius, “Nggak tahu saya.” Jaya Suprana menimpali, “Belum tahu, ya. Tetapi menurut hemat Gus Dur?” Mendengar itu, Gus Dur pun tangkas menjawab, “Nggak tahu. Saya ini ‘kan kesasar. Masih mau jadi pelawak kok jadi presiden.” Di sini, meski Gus Dur duduk dalam posisi sebagai insan nomor wahid di Indonesia, ia tetap mampu tampil sebagai orang biasa yang penuh humor dan kocak. “Presiden keempat itu bukan yang paling gila, tetapi yang bikin orang gila!,” demikian selorohnya. Lihat Kompas, Sabtu, 22 Januari 2000.

[14] “Pesantren, Gegeran, Ger-geran,” Pengantar LKiS untuk buku Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. v.

[15] Lihat Hairus Salim HS dan Nuruddin Amin, “Gus Dur, Politik, dan “Khittah Yang Terancam”, dalam Majalah Basis, No. 5-6 Tahun ke-46, Mei-Juni 1997.

[16] Baca Greg Barton, “Memahami Abdurrahman Wahid”, pengantar buku K.H. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xx-xiv.

[17] Buku-buku atau tulisan-tulisan mereka tentang Gus Dur adalah Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation, 1999); Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-Dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (Eds.), Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997); Arief Affandi, Islam Demokrasi Atas-Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996); Douglas E Ramage, “Demokratisasi, Toleransi Agama, dan Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (Eds.), Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997); Douglas E Ramage, “Pemahaman Abdurahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Pasca Asas Tunggal”, dalam Ellyasa K.H. Dharwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994); Laode Ida & A Thantowi Jauhari, Gus Dur Di Antara Keberhasilan dan Kenestapaan (Jakarta: Rajawali Press, 1999); Al-Zastrouw Ng., Gus Dur Siapa sih Sampeyan: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999); Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Bina Utama Jakarta, 1999); Ma’mun Murod al-Barabasy, Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais: Sebuah Perbandingan (PT Rajawali Press); Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998).

[18] Lihat wawancara Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim dalam Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik, Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 98.

Sumber: fahmina.or.id

Salah satu pendiri Yayasan Fahmina. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lapesdam PBNU) dan Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu, Ciwaringin Cirebon.