Profesor Fathul Wahid meminta agar tidak dipanggil dengan sebutan profesor. Bahkan, ia mengeluarkan surat edaran agar dalam korespondensi organisasinya, kata profesor tidak dituliskan selain pada ijazah dan transkrip nilai. Melalui sikap ini, rektor Universitas Islam Indonesia tersebut menyatakan protesnya terhadap praktik penggunaan gelar profesor.
Gelar profesor sejatinya merupakan pengakuan terhadap khidmat panjang seorang pengajar di perguruan tinggi, dengan kedalaman ilmu pengetahuan yang dikuasai, serta dedikasinya untuk kemajuan disiplin ilmu yang ditekuni. Gelar ini sangat sulit didapat, sebagaimana gelar syekh atau kiai haji. Namun, tahun-tahun belakangan ini, gelar profesor diberikan kepada individu yang tidak memenuhi kriteria di atas, dengan berbagai alasan.
Gelar penghormatan tertinggi dalam dunia akademis pun berubah menjadi gelar ”kehormatan”. Bedanya? Penghormatan lebih berkaitan dengan (apresiasi) lingkungan dunia tersebut, sedangkan kehormatan hanya berfokus pada individu yang bersangkutan. Walhasil, sang profesor kehormatan justru tidak mendapatkan penghormatan dari ekosistemnya. Semacam seseorang yang menahbiskan diri sendiri dengan gelar kiai haji, tetapi tidak dikenal di kalangan ulama.
Gelar penghormatan tertinggi dalam dunia akademis pun berubah menjadi gelar ’kehormatan’. Bedanya? Penghormatan lebih berkaitan dengan (apresiasi) lingkungan dunia tersebut, sedangkan kehormatan hanya berfokus pada individu yang bersangkutan.
Wolak-walik ing jaman alias jaman terbalik, demikian menurut Jangka Jayabaya. Terjadi dalam berbagai bentuk. Apa yang menjadi dampak berubah menjadi alasan. Apa yang menjadi efek samping berubah menjadi tujuan.
Banyak artis dan atlet menjadi kaya-raya oleh endorsement produk-produk konsumen. Kontrak didapatkan karena mereka menunjukkan prestasi dalam bidangnya. Passion mereka adalah pada seni dan olahraga yang ditekuni. Kekayaan dan popularitas hanya dampak dari keberhasilan mereka. Tetapi saat ini, banyak anak muda berangan-angan untuk menjadi artis dan atlet justru dengan tujuan mendapatkan kekayaan dan ketenaran.
Banyak kreator konten media sosial yang memulai dengan passion dalam konten yang mereka unggah. Banyak podcaster yang memulai dengan ketertarikan tinggi dengan topik yang didalami. Tetapi sekarang banyak individu menjadi profesi konten kreator hanya sebagai jalan untuk mendapatkan ketenaran dan kekayaan, terutama setelah kesuksesan Pewdipie, youtuber asal Swedia.
Demikian pula dengan berbagai posisi jabatan publik, seperti anggota parlemen dan anggota berbagai lembaga negara. Anekdot terkenal menjelang pemilu: banyak orang ingin menjadi anggota DPR karena gaji, fasilitas mewah, dan kekuasaannya alih-alih memperjuangkan idealisme politik atau memperjuangkan rakyat. Biaya besar berkampanye menjadi investasi belaka.
Walaupun sekilas tampak sederhana dan urusan perorangan, praktik-praktik ini membawa dampak yang luar biasa melemahkan dalam kehidupan bangsa kita. Kepercayaan kita pada sistem semakin tergerus oleh praktik-praktik ini.
Kita kehilangan respek dan kepercayaan kepada institusi pendidikan karena sebagian pelaku sistemnya mengobral gelar profesor dengan melanggar kaidah yang berlaku. Kita kehilangan kepercayaan kepada parlemen dan produk-produknya karena sebagian anggotanya tidak kompeten dalam subtansi urusan negara bangsa maupun dalam mekanisme tugasnya.
Kita kehilangan respek dan kepercayaan kepada para pejabat negara karena sebagian di antara mereka melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Kita kehilangan respek dan kepercayaan kepada para pejabat negara karena sebagian di antara mereka melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kepercayaan dan respek kita kepada media massa pun tergerus karena sebagian pelaku membawa misi kepentingan kelompok dengan membelokkan fakta.
Kepercayaan terhadap sistem dibangun di atas prinsip kontribusi dan reputasi, menurut Stephen Covey Junior dalam teori gelombang kepercayaannya (5 Waves of Trust Effect). Semakin baik reputasi sebuah institusi, terutama institusi publik, semakin besar keyakinan publik kepada sistem yang dikelolanya. Di level tertinggi, semakin besar kepercayaan kepada negara, semakin tinggi kontribusi warga negaranya terhadap kemaslahatan bangsa.
Masalahnya, menurut Covey Jr, reputasi sebuah sistem ditentukan sejak awal oleh kredibilitas para pelaku sistemnya. Dengan kredibilitas personal para pelaku sistem, kepercayaan publik berkembang menjadi kepercayaan terhadap institusi, terutama institusi publik.
Sebaliknya, ketidakpercayaan kepada kredibilitas personal figur-figur di dalamnya berujung pada ketidakyakinan pada institusi dan pada sistem terkait. Kita melihatnya dalam kasus Kementerian Keuangan yang mengalami empasan badai reputasi setelah kasus Rafael Alun dan beberapa pejabat lainnya.
Kasus Ketua Mahkamah Konstitusi tahun 2023 yang dicopot dari posisinya karena pelanggaran etika yang dilakukannya membuat MK menjadi bulan-bulanan publik dan sampai saat ini belum usai mengembalikan reputasinya.
Demikian juga dalam sejarah KPK. Sebelum tahun 2019, kepercayaan terhadap KPK demikian tinggi. Dampaknya, setiap kali KPK mendapatkan tekanan, publik selalu tampil membela. Bahkan, dalam proses Revisi UU KPK pada tahun 2019, publik masih memberikan dukungan kuat.
Tetapi, setelah gelombang protes publik terhadap pemilihan pimpinan KPK tahun 2019 oleh DPR dan Presiden diabaikan, KPK pun ditinggalkan oleh gerakan masyarakat sipil. Ketidakpercayaan publik pada sosok pimpinan KPK di kemudian hari terbukti dengan pelanggaran etika bertubi-tubi oleh para pimpinan KPK sehingga berujung mundurnya Lily dan dipidanakannya Firli Bahuri.
Demikian kuatnya pengaruh kredibilitas personal bagi reputasi sebuah institusi publik, karena itu potong kompas ataupun obral standar integritas dan kompetensi para pelakunya tidak seharusnya diterima dan dinormalisasi.
Standar integritas dimulai dari itikad. Apa yang menjadi motivasi seseorang, misalnya untuk mendapatkan gelar profesor atau pejabat negara? Apa yang menjadi agenda di baliknya? Kita tidak dapat menganggapnya sepele hanya karena sebatas urusan perorangan. Semakin kita menggampangkan urusan perseorangan ini, semakin besar risiko runtuhnya kepercayaan terhadap sebuah sistem.
Dan, tidakkah kita sedang menyaksikan rusaknya berbagai aspek kehidupan bernegara kita, sebagai harga yang kita bayar dari kelalaian selama ini?
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 21 Juli 2024