Mengapa kita perlu meragukan nasionalisme?
Sering kali kita mendengar seruan “nasionalisme” dalam berbagai konteks, dari politik hingga sepak bola. Namun, apakah kita benar-benar memahami makna di balik kata ini? Jay Akhmad, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang nasionalisme.
Dalam NGAJI DEMOKRASI #7 yang bertajuk “Demokrasi & Nasional(isme)” pada Selasa, 13 Agustus 2024 di Griya GUSDURian Yogyakarta, ia mengkritik pandangan umum tentang nasionalisme dan mengungkap bagaimana konsep ini sering kali dimanipulasi untuk tujuan politik.
Mengapa Kira Perlu Meragukan Nasionalisme?
Nasionalisme, yang sering kali diidentikkan dengan cinta tanah air dan kesetiaan pada bangsa, ternyata menyimpan sejumlah persoalan.
Salah satu kritik utama Jay Akhmad adalah mengenai definisi nasionalisme yang kabur. Ia mencontohkan bagaimana nasionalisme sering kali diidentikkan dengan dukungan tanpa syarat terhadap pemerintah, terlepas dari kebijakannya.
“Orang-orang yang mengkritik pemerintah dikatakan antinasionalis,” ujarnya.
Padahal, nasionalisme sejati seharusnya mendorong masyarakat untuk kritis terhadap pemerintah demi kebaikan bangsa.
Lebih lanjut, Jay Akhmad juga mempertanyakan klaim-klaim nasionalisme yang sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan penguasa yang ‘di luar nurul’ (tidak logis).
Misalnya, anggaran fantastis untuk perayaan kemerdekaan dan penyewaan mobil mewah di Ibu Kota Nusantara (IKN). “Atas nama nasionalisme, 87 miliar untuk perayaan kemerdekaan itu murah,” kata Jay Akhmad.
Anggaran HUT RI ke-79 membengkak Rp34 miliar untuk upacara di IKN, padahal tahun sebelumnya hanya Rp53 miliar. Total anggaran tahun ini mencapai Rp87 miliar.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah nasionalisme hanya sebatas simbol dan seremonial, atau memiliki makna yang lebih dalam?
Sejarah Singkat dan Evolusi Nasionalisme
Untuk memahami akar permasalahan dalam nasionalisme kontemporer, kita perlu menelusuri sejarahnya.
Jay Akhmad menjelaskan bahwa akar nasionalisme dapat ditelusuri hingga zaman pencerahan di Eropa. Pada masa itu, muncul gagasan bahwa masyarakat harus bersatu atas nama bangsa, bukan atas nama raja.
Masyarakat Prancis melawan dan mengkritik Raja Louis XVI dan Marie-Antoinette. Ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi kerajaan berujung pada eksekusi mereka dengan guillotine, menandai berakhirnya kekuasaan monarki di Prancis.
Revolusi Prancis, dengan slogan “Liberté, égalité, fraternité”, menjadi tonggak penting dalam munculnya konsep bangsa dan negara-bangsa.
“Dari sini, kita bisa melihat bahwa pusat nasionalisme terletak pada nilai, bukan lagi pada sosok (raja, tokoh) yang menjadi pengikat.”
Nasionalisme yang lahir dari revolusi kemudian mengalami berbagai transformasi. Pada abad ke-19 dan 20, nasionalisme menjadi kekuatan pendorong perjuangan kemerdekaan banyak bangsa di bawah penjajahan kolonial.
Di Indonesia, misalnya, nasionalisme terbentuk dari kesamaan penderitaan di bawah penjajahan Belanda.
Masalah Kontemporer dalam Nasionalisme
Dalam diskusi era kontemporer, nasionalisme tetap menjadi isu yang relevan, terutama dalam konteks Indonesia. Salah satu masalah utamanya adalah hubungan antara nasionalisme dan identitas nasional.
Jay Akhmad mempertanyakan apakah nasionalisme Indonesia benar-benar didasarkan pada nilai-nilai seperti liberté (kemerdekaan), égalité (kesetaraan), dan fraternité (persaudaraan).
Bagaimana dengan nasionalisme di abad ke-21 seperti sekarang? Apakah generasi kita masih memahami nasionalisme dalam konteks kolonialisme, atau mungkin kini kolonialisme diciptakan oleh bangsa kita sendiri?
Di lain sisi, nasionalisme sering kali didefinisikan melalui unsur-unsur seperti identitas, cinta tanah air, dan kesetiaan pada bangsa.
Namun, dalam praktiknya, interpretasi nilai-nilai ini sering kali beragam bahkan kontradiktif. Kita sering melihat kelompok-kelompok berbeda mengklaim tindakan mereka sebagai bentuk nasionalisme.
Misalnya, warga sekitar IKN ingin ikut upacara di IKN atas nama nasionalisme, tetapi dihadang polisi karena tidak ada undangan.
Di sisi lain, tentara dan polisi yang menahan warga juga mengklaim tindakan mereka sebagai bentuk nasionalisme. Lantas, siapa yang lebih nasionalis dan mencintai tanah air?
Apakah kesetiaan kepada bangsa diartikan sebagai kesetiaan kepada penguasa atau presiden? Jika demikian, ini berarti bangsa kita kembali ke masa lalu, yaitu kesetiaan kepada raja, bukan pada nilai.
“Kalau kita setia pada nilai, tetapi orang tersebut (presiden) sudah bertolak belakang dengan nilai yang kita usung bersama, maka kita wajib mengingatkan, mendemo, dan mengkritik,” kritik Jay Akhmad.
Nasionalisme sering kali dijadikan jargon, di mana pendukung IKN dianggap sebagai nasionalis, sementara yang mengkritik IKN dianggap tidak nasionalis.
Misalnya, saat ini ramai dibicarakan patung garuda di IKN yang lebih mirip kelelawar daripada burung garuda, dan kritik terhadap hal ini dianggap sebagai bentuk ketidaknasionalisan.
Mendefinisikan Ulang Nasionalisme
Mungkin sudah saatnya kita mendefinisikan ulang nasionalisme. Nasionalisme bukan hanya tentang cinta tanah air, tetapi juga tentang komitmen pada nilai-nilai yang membangun masyarakat yang adil, demokratis, dan sejahtera.
Nasionalisme sejati tidak mengenal diskriminasi, intoleransi, apalagi kekerasan atas nama nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme adalah konsep yang kompleks dan multifaset. Ia memiliki sejarah yang panjang dan terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman. Namun, dalam praktiknya, nasionalisme sering kali disalahgunakan dan dimanipulasi untuk tujuan politik.
Untuk memahami nasionalisme secara lebih baik, kita perlu melampaui pemahaman sempit tentang nasionalisme sebagai sekadar cinta tanah air. Kita perlu melihat nasionalisme sebagai komitmen terhadap nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, dan demokrasi.
Dengan demikian, kita dapat membangun pemahaman yang lebih kritis dan konstruktif tentang nasionalisme.