Rapor Matematika dan Lingkungan: Sebuah Surat untuk Paus

Assalamualaikum Bapa Suci Fransiskus …

Perkenalkan, Saya Dita, dari GUSDURian Surabaya. Mau ikutan curhat ke Bapa. Sebagaimana layaknya Bapa atau pemuka agama mana pun, saya yakin Bapa akan mendengarkan, mengerti, mendukung, dan tentu saja juga akan menegur saya jika salah.

Bapa, 13 Mei 2024 kemarin, bersama berbagai organisasi lintas iman kami memperingati tragedi 6 tahun Bom Surabaya di salah satu gereja yang menjadi tempat pengeboman. Ah tragedi ini, sampai saat ini masih menyisakan sedih dan getir. Tapi cerita saya bukan tentang bom itu Bapa, bagian itu akan saya ceritakan di lain kesempatan.

Balik lagi, sebagaimana layaknya menyiapkan acara, kami berdiskusi tentang rangkaian agendanya, siapa saja yang akan tampil, siapa saja yang akan diundang, berapa orang, apa saja yang dibutuhkan, semuanya, termasuk konsumsi. Meskipun berkaitan erat dengan usus 12 jari, tapi bagian jamuan makanan tidak bisa dibilang receh. Pasalnya, suguhan makanan merupakan bentuk vital penghormatan pada tamu undangan dan menunjukkan martabat tuan rumah dan penyelenggara acara. Berbagai opsi makanan kami diskusikan, beberapa kawan menawarkan diri untuk menyedikan, tapi masalah yang sebenarnya adalah bukan pada menu, pun persiapan lainnya. Melainkan sampah yang dihasilkan setelah acara peringatan itu dilaksanakan.

Seperti yang Bapa bilang dalam Laudato si, yang penting bukan seberapa banyak jumlah manusia, melainkan seberapa banyak sampah yang dihasilkan manusia, dalam kasus ini setelah melaksanakan sebuah acara?

Sebagai tim serba-serbi, saya dan beberapa kawan pun turut bersih-bersih. Memungut botol bekas dan sisa wadah makanan para undangan setelah acara selesai. Terlihat seorang ibu-ibu juga turut memungut dengan cekatan, lantas ibu-ibu itu menghampiri saya, lapor bahwa beliau sudah melipat beberapa kardus kotak dan memasukkannya ke dalam kantong. Sekilas  saya lihat kantong yang beliau bawa sudah penuh. “Di gerejaku mbak, sampah-sampah begini sudah dipilah secara mandiri oleh jama’ah dan ada tempat khusus, jadi selesai acara tidak berserakan,” ujarnya. Beliau juga menyebutkan gereja yang dimaksud.

Saya pun menghela napas sejenak sebelum melontarkan senyuman kepada si ibu. Urusan ini Bapa, sangat remeh tapi pelik. Membuat seseorang bertanggung jawab atas sampahnya sendiri saja susahnya minta ampun. Apalagi di acara-acara yang juga menyuguhkan makanan berat. Lengkap sudah, piring-piring plastik sekali pakai, botol-botol plastik, belum sisa makanan yang tidak dihabiskan, semuanya menumpuk. Sebenarnya saya malu Bapa, di saat saudara-saudara kita di belahan dunia lain mati kelaparan, bahkan jumlahnya mencapai 110 orang tewas dalam waktu 2×24 jam, di sini orang-orang dengan entengnya menyisakan remah-remah, dan meninggalkan sampahnya tanpa rasa berdosa sama sekali. Miris!

Andaikan perkara menjaga lingkungan ini ada rapornya, mungkin orang-orang akan lebih sadar, dosa lingkungan apa saja yang sudah kita lakukan. Sesimpel berapa jumlah sampah yang kita hasilkan hanya untuk sekali makan. Sepertinya kalau benar-benar ada rapornya, akan ada banyak orang yang harus remidi.

Saya ingat betul, dulu di pesantren, ketika kami menghadiri sebuah acara, dalam sambutannya Bapak Kiai juga tak lupa mengingatkan para santri untuk tidak meninggalkan sampah. Saking seriusnya, beliau pun meminta panitia bagian dokumentasi untuk memfoto keadaan lokasi di awal acara. “Lihat, dan bandingkan dengan foto setelah acara,” ucap beliau. “Sebelum acara dimulai, tempat ini bersih, setelah acara pun juga harus begitu. Santri tidak boleh pulang ke pondok masing-masing kalau masih meninggalkan sampah sekecil apa pun,” ucap beliau tegas. Ibu-ibu tadi yang sudah memilah sampahnya sendiri saya yakin juga sudah mendapatkan wejangan serupa saat beribadah di gerejanya. Sang Romo pasti tidak bosan-bosan mengingatkan dan menggagas aksi penjagaan lingkungan ini.

Sejak dulu saya sudah berandai-andai semua pemuka agama di tempat ibadah masing-masing melakukan hal yang sama. Menyuarakan tentang lingkungan, tidak melulu soal surga dan neraka. Bagaimanalah kita percaya diri berharap akan masuk surga saat dengan gampangnya membuang makanan ketika yang lain kelaparan? Saat hewan-hewan di laut mati karena memakan sampah plastik yang kita buang? Merawat rumah kita bersama di dunia saja tidak becus eh malah minta rumah di surga. Sungguh terlalu!

Karena itu Bapa, melalui surat ini, saya ingin meminta kepada Bapa agar seruan akan penjagaan lingkungan lebih masif lagi disampaikan di gereja-gereja. Agar semua jama’ah memiliki kesadaran personal untuk bertanggung jawab akan sampahnya sendiri. Hal ini juga saya suarakan kepada pemuka agama lain termasuk Islam. Meskipun entah akan membutuhkan waktu berapa lama untuk membuat semua manusia sadar, memperbaiki rapor lingkungannya sendiri.

Oiya Bapa, selepas acara tersebut, kami para panitia berkumpul kembali untuk evaluasi dan pembubaran, acara pembubarannya di-setting dengan makan-makan. Sepertinya yang mempererat manusia memang urusan perut ya Bapa. Lebih gampang membuat orang-orang berkumpul melalui makanan. Pembubaran itu dilaksanakan dengan nge-grill. Kebetulan saya dan seorang teman bertugas membeli bahan-bahan. Saat itu kemampuan matematika saya diuji Bapa! Bagaimana tidak, saya harus mengukur berapa kilo daging yang harus saya beli dan sekiranya cukup untuk semua yang hadir.

Begitupun dengan bahan-bahan lain seperti bawang bombay, jamur enoki, dan bumbu. Setelah semua hal saya perhitungkan dengan seksama, ternyata masih banyak lebihnya Bapa! Hitungan saya tidak akurat. Kata siapa makan urusan remeh temeh? Bahkan matematika pun dipraktikkan saat berurusan dengan makan. Termasuk saat mengambil makanan di piring yang akan kita makan. Jumlahnya harus sesuai dengan kapasitas perut kita sendiri. Sepertinya memang benar banyak orang yang lemah urusan matematika. Buktinya sampah banyak dihasilkan dari meja makan Bapa.

Mana kali Bapa penasaran, tentu bahan-bahan nge-grill yang berlebih itu tidak kami buang. Kami bawa pulang ke rumah masing-masing untuk diolah dan dimakan. Setidaknya kami sudah berusaha mencegah bahan-bahan yang tidak berdosa itu untuk masuk ke tong sampah. Katanya di negara-negara maju seperti Amerika urusan food loss ini juga menjadi masalah serius. Banyak bahan makanan yang bahkan tidak berkesempatan masuk ke supermarket hanya karena bentuknya yang kurang baik (misal kecil) meskipun amat layak dimakan. Lagi-lagi seperti yang Bapa tulis di Laudato si, ekonomi/finance tidak selalu membuat semua orang kaya, para petani saja dihambat untuk menjadi kaya karena standar-standar keserakahan manusia.

Saat acara pembubaran panitia itu Bapa, salah seorang teman  bertanya “Dita, wong katolik iku ganteng-ganteng yo?” (Orang Katolik itu ganteng-ganteng yaa?) waktu itu saya jawab asal-asalan, biasa, guyonan teman. Jawaban saya yang sebenarnya adalah iya ganteng-ganteng, baik-baik lagi. Semoga kebaikannya bisa membawa suka cita untuk banyak orang dan lingkungan. Terima kasih sudah menyimak curhatanku Bapa. Semoga Bapa sehat selalu.

Salam,

Dita.





________________________________
Tulisan ini pertama kali terbit di Majalah Utusan No. 09 Tahun ke-47, September 2024 dan Buku Whispers of Hope Jilid 1.

Penggerak Gerdu Suroboyo/Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *