Dalam bilangan hari, Indonesia akan memasuki era kepemimpinan baru, setelah 10 tahun bersama Presiden Joko Widodo. Banyak perubahan yang telah ditorehkan dalam masa 10 tahun tersebut dan menjadi kontribusi Sang Presiden, baik yang membangun maupun yang mengikis konstruksi bangsa.
Beberapa waktu terakhir, Presiden Jokowi menuai kecaman bertubi-tubi. Keputusan-keputusannya memicu banyak protes, misalnya terkait sejumlah Proyek Strategis Nasional yang menumbalkan rakyat akar rumput tingkat lokal, terutama masyarakat adat, dan keputusan pemerintah dalam revisi UU KPK yang mengamputasi kemandirian KPK dan langsung berdampak memandulkan upaya pemberantasan korupsi.
Sikapnya dalam berbagai hal juga memicu polemik, seperti dalam hal mengizinkan anaknya untuk maju sebagai calon wakil presiden dengan memanfaatkan keputusan niretik dari Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat usia pencalonan calon presiden dan wakil presiden.
Berkali-kali Presiden Jokowi berupaya membalikkan pandangan negatif publik terhadapnya dan keluarga. Namun, cara-cara yang dulu membuatnya dikagumi sekarang sudah tidak mempan lagi meyakinkan warga bangsa, terutama para mantan pendukung keras yang merasa kecewa dan lapisan masyarakat terdidik yang cukup memahami dinamika demokrasi dan kekuasaan.
Muncul pemaknaan yang berbeda atas tindakan yang sama. Gaya Presiden Jokowi menjawab dengan kalimat ”ya nggak tahu kok tanya saya” dulu dianggap asyik, tetapi sekarang dinilai menunjukkan sikap melempar kesalahan. Akronim YNTKTS bahkan muncul dalam semacam kamus urban kekinian. Kebiasaan mendatangi warga masyarakat akar rumput yang dulu dikagumi sekarang dinilai sebagai taktik populisme agar rakyat tidak kritis.
Dalam masyarakat Indonesia, sikap all-or-nothing atau hitam-putih sepertinya cukup kuat. Bukan hanya Presiden Jokowi, banyak tokoh dan selebritas mengalami nasib yang sama: di suatu saat masyarakat memuja-mujanya, tetapi di saat lain menghujatnya.
Ini terefleksikan misalnya pada pandangan umum tentang Pandawa versus Kurawa dalam epik Mahabharata. Gus Dur pernah memberikan tafsir bahwa Kurawa adalah sosok-sosok yang masih berproses menuju baik sehingga tidak ada dikotomi baik-jahat. Namun, pandangan seperti Gus Dur sangat minor.
Masyarakat umumnya menafsirnya sebagai polarisasi sempurna antara baik dan jahat, hitam dan putih. Keburukan dan kelemahan yang dilakukan Pandawa dianggap sebagai hal manusiawi; karenanya dinafikan. Sebaliknya, kebaikan dan keunggulan kubu Kurawa pun tidak pernah diapresiasi sebagai bagian utuh Kurawa.
Sesungguhnya, dari berbagai bentuk distorsi kognitif, perspektif hitam-putih ini merupakan bentuk yang banyak ditemukan. Proses kognitif yang terdistorsi adalah sebuah proses kognisi yang membuat kita memersepsi realita secara inakurat karena dipengaruhi oleh pola-pola berlebihan atau irasional. Distorsi kognitif membuat kita membuat kesimpulan yang tidak logis dan tidak sesuai dengan realita.
Perspektif hitam-putih menilai segala sesuatu secara terpolar: benar-salah, baik-jahat, baik-buruk, dan tidak ada ruang di antaranya. Yang ada hanya hitam utuh dan putih utuh tanpa spektrum, demikian kata Salene MW Jones dalam artikelnya ”Understanding and Overcoming All-or-Nothing Thinking: learning to live in the gray of life” (2023).
Perspektif hitam-putih ini menjebak individu menjadi kaku dan tidak kritis. Menyukai atau mengidolakan seorang tokoh dimaknai sebagai sang tokoh selalu benar dan suci dari kesalahan apa pun. Sebaliknya, saat kita tidak menyukai seorang tokoh, kita memaknai bahwa sang tokoh tidak akan mungkin berbuat benar; bahwa apa pun yang dilakukannya akan selalu salah.
Perspektif hitam-putih ini menjebak individu menjadi kaku dan tidak kritis.
Dua hal yang terkait dengan perspektif hitam-putih adalah perfeksionisme dan generalisasi berlebihan. Dalam melihat tokoh publik, distorsi kognitif ini membuat kita menambatkan harapan sebesar-besarnya dan kita menuntut agar seorang tokoh publik menjadi sosok sempurna. Kita pun tidak siap menerima area abu-abunya.
Apabila seseorang melakukan kesalahan, dalam perspektif hitam-putih ini ia menjadi orang salah; alias dia salah dalam segala hal. Demikian juga, apabila seseorang melakukan sebuah kebaikan, dia menjadi mahabenar semacam orang suci.
Perspektif hitam-putih memang tidak hanya berlaku kepada relasi antarmanusia. Namun, apabila terjadi dalam konteks hubungan di ruang publik, akan berdampak pada budaya yang terbangun.
Perspektif hitam-putih nyatanya membuat kita tidak mampu berlaku adil dan cermat. Kita terjebak melihat kesalahan semata atau keunggulan semata. Kita jadi tidak mampu bersikap kritis, silau oleh mahabenar atau mahasalah.
Fokus kita pun berpindah kepada orang (sang tokoh) bukan pada tindakan dan perilakunya. Kita pun terjebak pada polarisasi akibat generalisasi berlebihan, membuat kita terjebak menjadi pendukung keras sang tokoh atau penentang kerasnya. Ketegangan antara pendukung dan penentang pada level negara dapat kita lihat contohnya pada ketegangan pemilu Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini.
Bahkan, kita pun jadi sulit membedakan kesalahan dengan kejahatan karena tertutupi oleh polarisasi akibat sosok. Kesalahan kita abaikan apabila kita pendukung keras dan, akibatnya, kita ikut merusak hidup bersama. Sebaliknya, kebaikan yang dilakukan pun kita abaikan apabila kita penentang keras dan, akibatnya, kita ikut juga merusak hidup bersama.
Jones menuliskan, untuk lebih sehat, kita perlu berlatih hidup dalam area abu-abu. Ini akan memampukan kita untuk fokus pada perilaku dan tindakan sang tokoh publik.
Kita pun jadi sulit membedakan kesalahan dengan kejahatan karena tertutupi oleh polarisasi akibat sosok.
Dalam hal pemimpin publik, sudah saatnya menilai kepemimpinannya dari kacamata kemaslahatan bersama bangsa, dengan berfokus pada tindakan dan keputusan. Kita akan mampu melihat keputusan baik dan keputusan buruk, tindakan baik dan tindakan buruk.
Barangkali dengan demikian kita akan menjadi bangsa yang lebih mampu mengapresiasi pemimpinnya secara utuh.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 13 Oktober 2024