Dari Pesta Demokrasi ke Pesta Oligarki: GUSDURian Kabupaten Gorontalo Lakukan Nobar dan Diskusi bersama Jejaring

KABUPATEN GORONTALO – Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo berkolaborasi dengan PMII IAIN Sultan Amai Gorontalo dan Komunitas Literasi Sampul Belakang menggelar “Forum Demokrasi: Nonton Bareng dan Bedah Film Pesta Oligarki” di Aula Fakultas FEBI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada Kamis (31/10/2024).

Dalam film dokumenter yang tayang di kanal Youtube Watchdoc dan berdurasi kurang lebih 54 menit itu menggambarkan kondisi realitas perpolitikan di Indonesia yang dominan dikuasai oleh para oligarki. Sejak dipopulerkan istilah “Pesta Demokrasi” oleh Soeharto pada tahun 1981, konsep demokrasi di Indonesia mengalami berbagai tantangan.

Pemilu sebagai sarana suara rakyat, nyatanya kerap kali “dikendalikan” oleh oligarki dan para elite politik. Partai politik seperti halnya imperium-imperium baru, dia hadir bukan lagi merepresentasikan suara rakyat, tetapi lebih mementingkan suara partai politik itu sendiri.

Nonton bareng dan bedah film ini dihadiri beberapa narasumber dari berbagai lintas organisasi, yaitu Andi Taufik, aktivis PMII IAIN Sultan Amai Gorontalo; Fatiya Adam, aktivis IMMawati Kab. Gorontalo; Defri Sofyan, Dinamisator Simpul Walhi Gorontalo; dan Wahid Yasin, Penggerak GUSDURian Kab. Gorontalo. Acara ini juga turut dihadiri oleh beberapa organisasi mahasiswa dan komunitas literasi.

Andi mengatakan, demokrasi hari ini telah mengalami degradasi atau disorientasi kepentingan. Terlihat pada pelaksanaan pemilu kemarin banyak keputusan yang diambil di tengah kegundahan yang ada di Indonesia.

“Independensi partai sangat penting, karena sekarang partai politik sama halnya dengan bis tumpangan yang tidak memiliki independensi. Ini akan melahirkan ketiadaan oposisi. Semua partai bekerja sama untuk kepentingan oligarki,” tutur Andi.

Di sisi lain, Fatiya Adam menjelaskan dalam film Pesta Oligarki ini ada yang terlupakan, yakni eksistensi perempuan.

“Sekarang hanya lima orang perempuan yang justru jumlah ini berbanding terbalik dengan 30 persen memiliki kursi sebagai keterwakilan perempuan. Realitas ini banyak diamini di berbagai kalangan bahkan telah meresap di berbagai lapisan organisasi mahasiswa baik ekstra maupun intra,” kata Fatiya.

Fatiya juga menyayangkan film Pesta Oligarki yang sangat sedikit menampilkan keterwakilan perempuan.

Sementara itu, Defri Sofyan menyayangkan dengan beberapa sifat mahasiswa yang dekat dengan para oligarki.

“Kondisi demokrasi sedang lemah, artinya kondisi rakyatnya lemah. Karena demokrasi adalah kekuatan rakyat. Dalam kondisi seperti ini mahasiswa kita banyak yang berteman dengan para cukong-cukong pemerintah,” ujar Defri.

Ia juga menyampaikan bahwa pemilu bukan inti dari demokrasi. Menurutnya pemilu hanya merupakan media untuk mengumpulkan suara.

“Pengambilan keputusan paling tinggi dalam demokrasi adalah musyawarah. Sementara selemah-lemahnya pengambilan keputusan adalah voting. Hal ini, kemudian dianggap Pesta Demokrasi oleh Presiden Soeharto,” sambungnya.

Sementara itu Wahid Yasin memaparkan pemikiran Gus Dur yang direpresentasikan pada buku Demokrasi Seolah-olah. Dalam menanggapi film ini, menurutnya kondisi perpolitikan hari ini sudah tidak ada nilai-nilai dalam demokrasi: nilai kebebasan, nilai keadilan, nilai kesetaraan, semuanya telah luntur.

“Bahwa demokrasi harus mengakomodir semua kepentingan lapisan masyarakat termasuk kepentingan kebebasan, kepentingan keadilan, dan kepentingan kesetaraan. Konteks demokrasi hari ini tidak lebih baik dari demokrasi pada masa Orde Baru,” tuturnya.

Bagi Wahid, nilai-nilai demokrasi di Indonesia telah luntur dalam konteks praktis, hanya sebatas teori saja. Wahid juga menyoroti sistem presidensial treshold, bahwa sistem ini sendiri telah melanggar demokrasi dalam hal ini soal kebebasan.

Selain narasumber, Terri Reppy dengan dialek khas Manadonya, salah satu penanggap yang menekankan soal pemilu. Menurutnya tidak ada yang salah pada pagelaran pemilu kemarin khususnya pemilihan presiden. Karena setelah pemilu tidak ada yang benar-benar pernah disidangkan melalui lembaga perwujudan negara demokrasi, yakni Mahkamah Konstitusi, yang menurut Terri, Mahkamah Konstitusi inilah yang menjadi celah bagi negara Demokrasi.

“Bahwa demokrasi memiliki celah, celah itulah yang kemudian disalahgunakan oleh para oligarki. Apakah melanggar aturan atau tidak. Apakah ada kesalah dalam pemilu atau tidak. Kalau memang menyalahi aturan, maka pasti disidangkan,” ungkapnya.

Terri juga menyampaikan bahwa demokrasi ada tiga, yakni Demokrasi Langsung, Demokrasi Perwakilan, dan Demokrasi Partisipatif. Sementara itu Indonesia memilih Demokrasi Perwakilan dan Demokrasi Partisipatif.

“Masyarakat dilibatkan dalam pemilu, diberi libur. Tapi sekali lagi, sama sekali tidak mengandung makna demokrasi itu sendiri. Tau ndak kenapa? Karena mandat konstituen tidak pernah dibawa oleh eksekutif dan legislatif. Jadi pertanyaan apakah ini demokrasi? Ya tidak. Karena memang sudah begitu sistem demokrasi di Indonesia,” tegasnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *