Santri dan pahlawan. Dua kata yang segera mengingatkan kita pada perjuangan, sejarah, dan mungkin sedikit mengingatkan pada sinetron kolosal yang biasa kita tonton di sore hari. Bayangkan zaman dulu, para santri bukan cuma rajin mengaji, tetapi juga ikut berperang. Tentunya, senjata mereka waktu itu belum berbentuk “keyboard warrior” yang sibuk di kolom komentar media sosial, tapi senjata sungguhan. Entah itu keris, bambu runcing, atau apa saja yang bisa digunakan untuk melawan penjajah.
Menjadi pahlawan di zaman dulu levelnya seperti main game dengan mode paling susah, alias hardcore. Sedikit salah langkah, bukan cuma “game over,” tapi juga nyawa yang melayang! Bayangkan, santri-santri itu harus berjuang secara fisik di medan perang. Banyak dari mereka yang ikut mengangkat senjata di bawah komando kiai yang selain jago agama, juga pandai dalam strategi perang.
Bahkan, banyak kiai yang menjadi pemimpin perlawanan terhadap penjajah. Salah satu contoh paling terkenal adalah Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dengan Resolusi Jihad-nya yang membuat nyali penjajah menciut. Coba bayangkan situasinya: “Kiai, apakah kita harus berjihad melawan penjajah?” dan beliau dengan penuh kebijaksanaan menjawab, “Jihad! Demi kemerdekaan tanah air!” Maka, dari situlah santri berubah menjadi pahlawan dengan semangat patriotik yang menyala.
Nah, sekarang kita sudah merdeka dan loncat ke zaman digital. Apakah santri zaman sekarang masih bisa disebut pahlawan? Jangan langsung skeptis! Memang, kita sekarang jarang melihat santri membawa keris atau senjata lainnya ke pesantren atau kampus, tapi peran mereka tetap ada, hanya bentuknya yang berubah dan lebih modern.
Kalau dulu pahlawan identik dengan bambu runcing, sekarang santri lebih sering menggenggam… smartphone. Tapi jangan salah, ini bukan berarti mereka cuma asyik scroll TikTok atau Instagram. Banyak santri yang justru menjadi pahlawan di era digital ini. Misalnya, mereka membuat konten edukatif tentang agama, toleransi, bahkan tentang menjaga keutuhan NKRI.
Santri yang paham teknologi bisa menciptakan aplikasi untuk ngaji online, sementara yang pandai bicara bisa memanfaatkan podcast untuk menyebarkan ilmu yang inspiratif. Bahkan, ada juga santri yang berkontribusi lewat gerakan eco-pesantren, menjadi pahlawan bagi lingkungan dengan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan di pesantren mereka.
Kalau dulu perjuangan atau jihad itu dilakukan secara fisik di medan perang, sekarang jihadnya lewat narasi. Di era informasi yang penuh dengan berita palsu (hoaks), santri punya peran besar sebagai garda terdepan dalam menjaga kebenaran. Kalau dulu musuhnya datang dengan senjata api, sekarang musuhnya adalah kebohongan dan kebencian yang menyebar di dunia maya. Di situlah peran pahlawan zaman sekarang: mereka yang berjuang demi kebenaran dan kebajikan di tengah banjirnya konten-konten negatif yang meracuni pikiran masyarakat.
Jadi, apakah santri zaman sekarang masih bisa disebut sebagai pahlawan? Tentu saja bisa! Bahkan, bisa dibilang mereka adalah pahlawan yang sudah “berevolusi”. Dulu mereka berjuang dengan keris di tangan, sekarang mereka berjuang dengan keyboard dan kamera. Dulu mereka melawan penjajah, sekarang mereka melawan kebodohan dan berita palsu. Jadi, mau kamu santri atau bukan, kita semua bisa menjadi pahlawan dengan cara kita masing-masing—yang penting, tetap berjuang untuk kebaikan dan memperjuangkan kebenaran.
Toh, kalau dipikir-pikir, jadi pahlawan zaman sekarang lebih nyaman dibandingkan dulu. Setidaknya, mereka nggak perlu tidur di hutan atau berlari-lari menghindari serangan tentara kolonial. Pahlawan zaman sekarang bisa berjuang dari kamar, ditemani Wi-Fi yang cepat dan secangkir kopi panas. Tapi perjuangannya tetap punya dampak yang besar, meski tak harus mengorbankan nyawa seperti dulu.
Namun, apa yang tidak berubah adalah semangat yang ada di balik peran santri sebagai pahlawan. Baik dulu maupun sekarang, mereka tetap memegang teguh nilai-nilai agama, keadilan, dan kemanusiaan. Hanya saja, cara mereka berjuang yang menyesuaikan zaman. Zaman boleh berubah, tapi semangat kepahlawanan itu tetap ada. Seiring perkembangan teknologi, santri masa kini justru bisa menjangkau lebih banyak orang dengan dakwah dan perjuangan mereka. Bahkan, siapa tahu, pahlawan berikutnya adalah kamu yang sedang membaca esai ini—siap berjuang dengan cara-cara baru di era digital!
Jadi, buat kamu yang mungkin merasa jauh dari label “pahlawan” jangan khawatir. Selama kita tetap berusaha berkontribusi positif untuk masyarakat, entah lewat pendidikan, agama, lingkungan, atau bahkan sosial media, kita semua punya kesempatan untuk jadi pahlawan, dengan cara kita masing-masing.