Orang Indonesia suka menyaksikan drama. Karena itu, sinetron adalah acara televisi yang sangat laku ditonton dan menghuni primetime, dan drama kehidupan para pesohor ramai diperbincangkan. Bahkan di media sosial, hampir setiap hari terjadi drama dan keributan.
Hari-hari ini, warga Indonesia dihebohkan oleh drama yang berbeda: drama pemangkasan anggaran pemerintah tahun 2025. Di sejumlah grup jejaring sosial beredar matriks lengkap pemangkasan sejumlah lembaga negara yang bertajuk efisiensi. Dalam matriks tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum mengalami pemangkasan sekitar Rp 80 triliun, otoritas IKN mengalami pengurangan lebih dari Rp 4 triliun dari awalnya sekitar Rp 6 triliun. Demikian juga berbagai kementerian dan lembaga lainnya di cabang eksekutif, di bawah kepemimpinan Presiden.
Mengikuti berita ini, kementerian dan lembaga pun diundang dalam Rapat Dengar Pendapat oleh DPR. Dari ruang pertemuan ini, dari beredarnya edaran-edaran di sejumlah kementerian dan lembaga, dan juga dari berita media massa, muncul berbagai kabar dramatis.
Terungkap kabar bahwa gaji di Komisi Yudisial hanya tersedia sampai Oktober 2025, sedangkan di Mahkamah Konstitusi hanya sampai Mei 2025. Di RRI dan TVRI muncul drama perumahan dan pemutusan kontrak pegawai honorer. Lalu di BKN, pemangkasan dilakukan untuk biaya alat tulis kantor dan fasilitas transportasi pejabat.
Di Kementerian Agama, muncul edaran dari Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Dirjen Pendidikan Islam yang memotong honor bagi ustaz di pesantren dan guru Pendidikan Agama Islam, bantuan pesantren, dan lain-lain.
Di Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi, pemotongan sebesar Rp 14 triliun berdampak masif terhadap program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah), bantuan operasional pendidikan tinggi, dan lain-lain. Bahkan pemangkasan anggaran beasiswa di dalam dan di luar negeri diramaikan dengan tagar #KaburAjaDulu yang dipenuhi dengan aspirasi mencari beasiswa berkuliah di luar negeri, bahkan mencari penghidupan di luar negeri.
Belakangan, Menteri Keuangan menyampaikan bahwa program beasiswa tidak akan mengalami pemangkasan. Mendiktisaintek kemudian membatalkan keputusan ini.
Sejak awal, beredar narasi pemotongan anggaran adalah upaya untuk mengurangi pemborosan yang selama ini terjadi dalam pos-pos pengeluaran, seperti perjalanan dinas, biaya rapat dan pertemuan, dan alat tulis kantor. Walaupun demikian, kabar lain mengatakan bahwa pemangkasan ini diperlukan untuk membiayai 8 program hasil terbaik cepat (PHTC) Presiden.
Adalah wajar bagi pemimpin penyelenggara negara untuk melakukan reorientasi program dan anggaran karena setiap pemimpin pasti membawa visi pribadi yang berdampak pada prioritasnya. Konsekuensinya adalah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki. Mulai dari pemimpin lembaga, kepala desa, sampai kepala negara akan mengalami hal ini. Masalahnya adalah bagaimana kemudian mengatur strategi yang selaras dan komprehensif.
Drama pemangkasan anggaran negara 2025 ini mengingatkan saya pada ilustrasi kisah dalam buku Developing Leaders Around You (John C Maxwell). Kisah ini pernah saya tuliskan lima tahun lalu di kolom Udar Rasa berjudul ”Tersesat”, tetapi masih sangat tepat menggambarkan situasi saat ini.
Penduduk sebuah kota kecil memutuskan membangun jembatan. Untuk itu, mereka merekrut seorang penjaga jembatan yang dipekerjakan penuh waktu. Demi mengurus gaji si penjaga, warga pun merekrut akuntan. Sang akuntan mengatakan, dia membutuhkan seorang staf keuangan untuk membantunya. Untuk mengurus tiga pekerja tersebut, tentu saja diperlukan seorang manajer. Suatu saat, Dewan Kota memutuskan untuk melakukan efisiensi anggaran pengelolaan jembatan dengan cara mengurangi biaya sumber daya manusia. Maka akhirnya diputuskan untuk menghilangkan pekerjaan di level paling bawah. Walhasil penjaga jembatan pun di-PHK. Betapa absurd, kota ini memiliki jembatan, manajer, akuntan, dan staf keuangan, tetapi tidak memiliki penjaga jembatan.
Kita menyaksikan drama pemangkasan anggaran persis seperti dalam kisah jembatan tersebut: kita terperangkap bersikap reaktif dalam karut-marut keputusan demi keputusan yang saling menimpali, menambal, menutupi, bahkan saling membatalkan. Keputusan yang telanjur viral di media sosial segera dikoreksi terburu-buru, menguatkan tuduhan no viral no justice dari masyarakat.
Situasi ini melemparkan pertanyaan bagaimana sebuah kebijakan publik disusun dan diputuskan. Sebagai manusia, kadang kita membuat keputusan tanpa berpikir panjang dan sistemik. Kita tidak memperhitungkan kepentingan jangka panjang, tidak membuat asesmen sebelumnya. Tapi dalam kebijakan publik, ini tidak boleh terjadi dalam skala besar.
Kebijakan publik akan selalu berdampak pada perubahan kualitas layanan bagi masyarakat. Bila diputuskan secara reaktif, ia akan mengubah mekanisme-mekanisme operasional. Bila keputusan reaktif ini dikoreksi dengan keputusan reaktif berikutnya, ia akan menimbulkan kebingungan pada pelaku sistem dan pada masyarakat. Pengambilan kebijakan publik yang kurang komprehensif akan membawa dampak sistemik yang justru sangat komprehensif.
Sandra Naranjo Bautista dalam artikel bertajuk ”The Three Types of Decision-Making In The Public Sector” di situs Better Govt menuliskan bahwa pengambilan keputusan di ruang publik yang memadai harus melibatkan pengambilan keputusan strategis, taktis, dan operasional yang saling terhubung dengan baik. Tidak bisa lagi keputusan strategis terpisah dari keputusan taktis dan keputusan operasional.
Agaknya, drama pemangkasan anggaran negara 2025 menjadi contoh konkret dari teori Bautista tersebut. Keputusan strategis Presiden dan keputusan taktis Menteri Keuangan, tidak selaras dengan keputusan operasional para menteri teknis dan para pembantunya.
Sejatinya, ada hikmah bagus dari drama ini: masyarakat menjadi lebih paham tentang anggaran penyelenggaraan negara. Tetapi tidakkah kita apes sebagai bangsa apabila cara kita belajar adalah dari management by accident seperti ini?
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 16 Februari 2025