Perjalanan Singkat, Obrolan Panjang: Gus Dur di Mata Sopir Ojek

Udara subuh di Yogyakarta saat itu cukup segar untuk dihirup. Sambil bersiap-siap, aku pun bergegas memasukkan semua barang ke dalam tas yang tidak begitu besar. Saat semua sudah beres, aku mengendap-endap menuju gerbang Griya GUSDURian, ternyata gerbang masih terkunci. Akhirnya aku pun terpaksa membangunkan mas-mas yang sedang tidur di ruang depan untuk membukakan gerbang. Padahal tujuanku jalan mengendap-endap agar tidak mengganggu orang-orang yang masih terlelap tidur. Tapi ternyata gagal, ya wis lah.

Selang beberapa lama, ojek online (ojol) yang kupesan memarkirkan motornya persis di depan gerbang griya. “Mbak Nita, ya?” Betul, Pak,” jawabku. “Silakan pakai helmnya dulu, Mbak!” “Siap, Pak.”

Setelah tiga menit perjalanan, bapak ojek bernama Saefullah itu bertanya padaku, “Mbak pecinta Gus Dur, nggeh? “Hehe betul, Pak,” jawabku.

Tanpa basa-basi, Pak Saefullah bercerita bahwa dirinya berasal dari Madura dan dulu saat remaja pernah mondok di salah satu pesantren di Jawa timur. Saat duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) dirinya pernah turun ke jalan untuk demo membela Gus Dur, saat Gus Dur akan dilengserkan dari kursi jabatannya sebagai presiden. Dirinya bersama rombongan lainnya memakai truk untuk sampai di Jakarta. Kabarnya, ada 30 truk dari pesantren-pesantren yang ada di Jawa Timur yang siap mati membela Gus Dur. Saya cukup merinding mendengar si Bapak bercerita.

“Gus Dur itu kiai besar, Mbak. Sosok kiai yang sangat peduli pada kemanusiaan. Cara berpikirnya itu jauh ke depan melampaui zamannya.” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, Gus Dur adalah seorang kiai yang dicintai bukan hanya oleh umat Muslim, tapi seluruh umat beragama. Berkat Gus Dur, umat agama Khonghucu legal merayakan Hari Raya Imlek dan bebas menampilkan barongsai sebagai ciri khas budayanya.  

Perjalanan menuju Terminal Giwangan di subuh hari kala itu begitu menyenangkan. Bagaimana tidak? Bertemu dengan seseorang yang sama-sama mencintai sosok guru bangsa yakni Gus Dur adalah hal yang selalu menyenangkan bagiku. Seperti ada energi positif yang terserap ke dalam jiwa raga ini. Agak berlebihan yah? Tapi itu kenyataan loh. Hehe.

Baru saja aku membuka mulut untuk bertanya, Pak Saefullah sudah lebih dulu bertanya padaku, “Mbak pernah ketemu Gus Dur langsung gak?” tanyanya. “Belum, Pak. Saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, saya baru berusia lima tahun. Bapak pernah bertemu Gus Dur?” tanyaku balik.

“Kalau tidak salah, saya pernah bertemu Gus Dur saat di pondok dulu, Mbak. Sekali itu saja,” terangnya. Pak Saefullah tidak memberitahu dengan jelas apa nama pesantren beliau di Jawa Timur, namun sebagai orang yang lahir di Madura dan kental dengan tradisi NU (Nahdlatul Ulama) kultural, kecintaannya kepada Gus Dur tidak diragukan lagi, mengingat Gus Dur adalah salah satu cucu dari pendiri NU, yaitu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Gus Dur pun merupakan salah satu ulama yang sangat berpengaruh di Nahdlatul Ulama.

Hal yang paling diingat oleh Pak Saefullah saat Gus Dur menjabat sebagai presiden adalah kebijakannya yang meliburkan sekolah selama bulan Ramadan. Aku rasa kebijakan tersebut adalah hal yang paling diingat oleh umat Muslim. Kalau tidak salah, rumor tentang libur sekolah selama bulan Ramadan juga telah ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Tapi entahlah, sampai sekarang berita terkait kebijakan tersebut tidak benar-benar direalisasikan.

Pak Saefullah juga bercerita tentang kegelisahannya melihat bermunculannya para pendakwah baru yang tidak jelas latar belakang pendidikan agamanya. Menurutnya, banyak dari mereka yang bukan lulusan dari pondok pesantren. Salah satu ustaz yang disebutkan Pak Saefullah adalah Felix Siauw. Ia seorang pendakwah berideologi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang organisasinya telah dibubarkan pemerintah sejak tahun 2017 lalu. Ustaz Felix Siauw ini lebih cocok disebut sebagai sejarawan dibanding pendakwah, tuturnya. Aku hanya mengangguk tanda setuju.

Tak terasa kami hampir sampai di terminal di Giwangan, sebetulnya banyak hal yang ingin saya tanyakan pada Pak Saefullah, perihal pengalamannya saat pergi ke Jakarta untuk membela Gus Dur. Tapi waktu dan tempat sangat tidak tepat, mengingat perjalanan dari Griya GUSDURian ke terminal hanya menghabiskan waktu 10 menit kurang lebih.

“Pak, tolong turunkan saya di Ringroad Perempatan Terminal Giwangan, nggih! Soalnya admin bus menyuruh saya menunggu di sana,” pintaku. “Baik, Mbak,” jawab Pak Saefullah.

Perjalanan dari Griya GUSDURian ke Terminal Giwangan kali ini bagaikan kilat, benar-benar tidak terasa. Mungkin karena aku terlalu asyik ngobrol dengan bapak ojek bernama Pak Saefullah itu. Semoga Bapak selalu sehat dan aku pun bisa sampai Serang dengan selamat. See you next time Yogyakarta.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *