Sedekah Laut dalam Pandangan Budaya dan Agama

Kenapa orang selalu takjub pada laut, sungai, tebing juga gunung? Antropolog Peter Berger menjawab dalam sebuah karyanya yang masyhur, The Social Reality of Religion (1969). Apa kata Berger dalam buku itu?

Menurutnya, manusia tiap zaman selalu terdorong untuk meciptakan makna dari simbol-simbol yang suci (the sacred canopy). Berger sebagai Feuerbachian menegaskan, bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius, maka tak aneh jika laut atau sungai dimaknai sebagai pertautan antara alam yang suci dengan kehidupan yang tak selalu suci dan bersambung seperti gelombang air.

Kesan itu pula yang didapat oleh seorang pengelana Yunani zaman purba, Herodotus (484-425 SM) ketika pertama kali mengunjungi Mesir, Babilonia, Palestina, dan Syiria. Ia menceritakan pengalamannya betapa orang Mesir amat mecintai Sungai Nil dan orang Babilonia selalu terkagum dengan ombak Laut Macedonia.

Mereka berkumpul dan pawai untuk melarungkan sesajen ke sungai dan laut disertai dengan panjat doa dengan khusu’ untuk Litany (para Dewa). Pengalaman yang sama didapat oleh Megasathtnes (302-288 SM) saat mengunjungi jazirah Arab dan Antropolog Tacitus (55-117 SM) saat mengunjungi Asia Tengah.

Maka tak aneh, jika kajian etnografi selalu saja menarik, kerena menurut Berger, manusia tak bisa menghindar dari alam dan kekuatan adikodrati yang tak terbatas, dan dari sanalah terciptalah dunia simbol. Terlebih tentang Nusantara, di mana pulau-pulaunya berjejer dan terhubung oleh laut. Itulah kenapa Artefak yang ditinggalkan di candi-candi, terutama Borobudur, berupa relief-relief perahu cadik dan gambar garis gelombang laut.

Sebuah catatan dari Cina abad ke-15 juga menggambarkan Majapahit, yang dicatatnya adalah istana yang megah: bersih dan terawat, ornamen temboknya bergambar gelombang laut. Pasang dan surut. Atap bangunan terbuat dari sirap yang dibentuk seperti perahu cadik. Kitab Negarakartagama yang ditulis di masa itu juga menyebut ”kuwu”: unit permukiman yang dikelilingi sungai, juga terbentang sepanjang pantai.

Sebagaimana diketahui, orang Nusantara, pada zaman pra-sejarah yang beragama Kapitayan, setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan, mereka gemar mengadakan ritual Selametan atau Wilujengan dengan menggunakan –salah satunya- laut sebagai simbol, juga memakai aneka benda dan makanan sebagai simbol penghayatan, rasa syukur dan pengharapannya kepada Tuhan.

Ini semua adalah bahan sejarah dan pra-sejarah kita sebagai manusia Nusantara, dan setiap zaman punya cara untuk mempertahankan dan mengarifi kebudayaannya. Meskipun Nabi-Nabi telah datang, petuah dan perintah pendeta juga dimaklumatkan, kemudian dicoba revolusi dan diperkenalkan penemuan teknologi —tapi tak pernah ada aksi brutal yang menantang prosesi adat, sampailah mencuatnya aksi segerombolan orang yang sengaja merusak piranti tradisi Sedekah Laut di Pantai Baru, Bantul atas dalih anti kemusyrikan (12/10/18).

Pertanyaan besar sejarah —yang sebenarnya tiap agama pernah datang silih berganti —adalah, bagaimana bisa peristiwa kebudayaan seperti itu dianggap anomali, sesuatu yang tak pantas bagi yang beragama? Dengan kata lain, bagaimana bisa pemahaman agama yang sepotong dan sepihak digunakan merusak tatanan sosial yang mengakar dengan riwayat manusia Nusantara yang telah demikian panjang? Tentu saja ada paradoks, jika kita memaknai agama, dalam teori antropologi (Eliade, 1966; Douglas 1966, Geertz 1966; dan V. Turner, 1969) sebagai sebuah pencarian makna yang terselubung dalam simbol.

Pengamatan saya dari dekat saat menyaksikan prosesi Sedekah Laut di Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Bantul, tak ada yang perlu dikhawatirkan terkait akidah atau keimanan.

Berdasarkan pengalaman tahun lalu, biasanya acara Sedekah Laut dimulai dengan pembakaran kemenyan dan doa-doa, baik berbahasa Jawa maupun Arab, sesekali diselingi dengan shalawat Nabi. Doa itu dipimpin oleh Mbah Cokro sebagai juru kunci Petilasan HB VII. Sebelum membakar kemenyan terlebih dahulu Mbah Cokro duduk bersila menghadap ke laut lalu merunduk dan pasembah.

Makna Simbolik

Tentu selain ada bahasa verbal, yaitu kalimat puja dan doa yang terkandung dalam prosesi Sedekah Laut, yang itu langsung bisa dimengerti, juga ada bahasa simbolik di dalamnya, seperti prosesi pembakaran kemenyan, ia juga berupa doa, tetapi dalam bahasa lain. Orang Islam Pesisir biasanya menyebutnya sebagai talining iman, urubing cahya kumara kukuse ngambah swarga, ingkang nambi dzat ingkang Maha Kuwaos. (Sebagai tali pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya petunjuk, asapnya diharapkan sebagai harum bau surga, mudah-mudahan dapat diterima oleh Dzat yang Maha Kuasa).

Perahu tempel, yang nantinya dipakai untuk membawa sesaji yang akan dilabuh ke tengah laut, sebagai lambang kehidupan ini yang sementara, karena tiap yang berlabuh ada saatnya berhenti. Tampah/tambir, bentuknya bulat dari anyaman bambu untuk tempat sesaji sebagai simbol, bahwa kehidupan ini berputar, kadang di bawah, kadang di atas. Begitu juga yang terdapat dalam ubarampe, semuanya adalah bahasa simbolik.

Seperti telur sebagai simbol atau lambang dari “wiji dadi” (benih) terjadinya makhluk hidup. Bumbu Megana sebagai simbol dari embrio dan ruh-manusia. Cabe Merah sebagai lambang kebulatan tekad dan keberanian menegakkan kalimat tauhid. Ingkung sebagai lambang manunggal, dengan njungkung, yakni bersujud dan manekung, yakni bermuhasabah dan khalwat. Kacang Panjang sebagai simbol harusnya manusia sebelum bersikap, harus berpikir panjang, sehingga bijaksana. Tomat sebagai simbol kesadaran mad-sinamadan, yaitu saling mengingatkan. Kangkung simbol dari sifat linakung, sifat pemurah atau dermawan, dan lain sebagainya.

Jika mengetahui bahasa agama yang tersimpan dalam simbol prosesi Sedekah Laut yang begitu mulia seperti ini, masihkah ada yang menghakimi prosesi macam itu adalah anomali bagi sikap keberislaman kita? Padahal bukankah Islam, tidak melulu tentang yang halal dan haram, mubah dan bid’ah, murtad dan musyrik? Akan tetapi, juga tentang pentingnya membangun tatanan sosial, kebudayaan, dan peradaban?

Di sisi lain, dalam wajah Islam juga berlimpah bahasa simbolik, serta kearifan lokal, seperti adanya anjuran walimah (upacara tradisi) yang tertuang dalam pilihan hadis shahih Imam Bukhari, dalam al-Bayan nomer hadis 825, dan al-nikah nomer hadis 4756 dan lain sebagainya. Wallahu’lam bishawab.

Sumber: alif.id

Penulis. Alumnus Aqidah-Filsafat di Universitas Al-Azhar Kairo dan Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak, dan di STAI Pandanaran Yogyakarta.