Pada akhirnya RUU TNI tetap disahkan. Bahkan dalam proses pengesahannya mereka bersidang secara tertutup di hotel mewah di tengah gembar-gembor efisiensi anggaran. Agak lain memang DPR ini. Tampaknya label “Tukang Stempel Pemerintah” yang disematkan pada mereka waktu zaman Orba masih cocok dan relevan hingga saat ini. Karena kerjaannya cuma mengesahkan dan menyetujui semua mau pemerintah (eksekutif).
Ruang persidangan harusnya gaduh oleh perdebatan ide kebijakan dan pemikiran, bukannya adem ayem dan sekalinya bersuara cuma bilang “setuju”, mirip paduan suara dalam lirik lagu Wakil Rakyat karya Iwan Fals. Ruang sidang parlemen harusnya berisik, kalau perlu saling teriak ketika ada kebijakan yang ganjil dan tidak memihak pada rakyat. Bukankah mereka ini wakil rakyat? Maka suara yang diwakilkan juga seharusnya suara rakyat.
Negara demokrasi macam apa yang dalam praktiknya tidak adanya oposisi, Sehingga tidak ada mekanisme check and balance? Jujur, saya sangat kecewa terhadap PDI Perjuangan, ketika pada akhirnya mereka lebih memilih untuk merapatkan diri pada barisan pemerintah (kabinet KIM Plus). Ketika DPR sudah tidak bisa lagi diharapkan sebagai pengawas pemerintah dan corong suara rakyat ya kita hanya dapat mengandalkan suara kita sendiri.
Kehancuran demokrasi dewasa ini bukan lewat kudeta militer seperti yang terjadi di banyak negara pada tahun 1950-an hingga 1980-an, di mana kemungkinan besar para jenderal yang bertanggung jawab. Kehancuran demokrasi saat ini justru terjadi karena pengambilalihan yang dipimpin oleh sipil. Seperti Daniel Ortega yang sekarang menjadi presiden Nikaragua dan telah menjalani masa jabatan sebanyak empat kali berturut-turut.
Di Bangladesh, ada Sheikh Hasina yang telah menjadi perdana menteri selama tiga periode meski akhirnya kini berhasil digulingkan. Indonesia sendiri ketika dipimpin oleh Jokowi juga berasal dari kalangan sipil dan konon kabarnya, sebenarnya dia juga menghendaki adanya tiga periode namun gagal dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang kini menjadi wakil presiden.
Kita diberi ilusi seolah menikmati multipartisme dan kebebasan sipil padahal dalam kungkungan pemerintahan yang despotik, seolah-olah demokratis padahal semu, pseudo demokrasi. Ciri ketika negara demokrasi mulai hancur secara perlahan yaitu adanya kesinambungan masa kepemimpinan. Mereka memang mengadakan pemilihan umum secara teratur, membiarkan seolah-olah badan legislatif tetap terbuka, dan mengizinkan beberapa partai pesaing untuk beroperasi.
Menurut Levitsky dan Ziblat dalam How Democracies Die (2018) menjelaskan, karena otoritarianisme baru muncul secara bertahap di balik halaman depan republik, kemunculan pemerintahan oleh satu partai atau orang dapat berlangsung cukup bertahap hingga memiliki kualitas yang sangat menipu. Seolah demokratis karena ditempuh lewat mekanisme legal, padahal kenyataannya lembaga-lembaga politik dikooptasi dan dijinakkan.
Tragedi MK yang melahirkan MKMK itu akan selalu menjadi catatan sejarah dalam perjalanan demokrasi negara ini, bahwa pernah terjadi secara telanjang penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan oligarki. Baru-baru ini telah terjadi teror terhadap jurnalis Tempo Francisca Christy Rosana yaitu pengiriman paket kepala babi yang kedua telinganya sudah dipotong, kemudian ada pengiriman paket kembali berupa tikus mati yang masih berdarah. Apa artinya?
Ini menunjukan telah terjadi upaya pembungkaman pers, penghalangan terhadap kerja-kerja jurnalistik. Yang miris adalah tanggapan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, yang merespons kejadian teror itu kelewat sepele dengan melontarkan, “Udah dimasak saja. Kalau kepala babi mah dimasak aja”. Setelah menjadi polemik, barulah memberi penjelasan.
Mirip dengan atasannya yang pernah mengatakan akan “memaafkan koruptor” kalau mereka mau mengaku dan mengembalikan hasil korupsinya. Pola-pola komunikasi yang dilakukan oleh presiden dan para pejabat pemerintahan bersifat serampangan, menyepelekan permasalahan, dan mengerdilkan kritik rakyat seolah mereka hanya kumpulan pendengung yang dianggap angin lalu.
Ini bukan kejadian yang pertama. Saat era Jokowi juga sudah ada bahkan dilakukan sendiri oleh Jokowi, yaitu “Kok tanya saya? Ya ndak tahu. Jangan tanya saya”. Dan nampaknya ini ditiru oleh Prabowo dan anggota kabinetnya. Mulai dari “Ndasmu, yaudah dijual lah goblok, kepala lu peak, muka kau yang gelap, otak kampungan, dimasak aja”. Pasti tahulah setiap umpatan tadi siapa saja yang punya hak patennya?
Miris memang, karena sikap-sikap niretik itu dilakukan oleh para tokoh pejabat yang seharusnya mempunyai pengetahuan yang luas untuk bagaimana cara penyampaian proses komunikasi massa. Secara de jure, kita memang menganut negara hukum (rechtsstaat) yang tujuannya untuk membatasi penguasa, tapi pada praktiknya berlaku negara kekuasaan (machtstaat).
Dalam konsep negara hukum berkaitan dengan nomokrasi yaitu menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Menurut A.V. Dicey yaitu, supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan proses hukum yang adil dan tidak memihak. Dan saat ini ketiga pilar tersebut telah dilanggar yang berlaku adalah negara mengikuti kehendak penguasa.
Wajah demokrasi Indonesia memang semakin gelap, tapi diam dan abai bukanlah jawaban. Karena itu hanya membuat kita nihil perenungan, tak ada ajakan memahami masalah. Maka dari itu harus tetap ada gangguan terhadap kekuasaan yang bersifat sewenang-wenang. Tugas rakyatlah untuk jadi batu kerikil di sepatu kekuasaan.