Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. (Al-Kafirun ayat 6)
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama. (Al-Baqarah ayat 256)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama. (Al-Mumtahanah ayat 8)
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (Al-An’am ayat 108)
****
Terlalu manusiawi apabila semua ayat Al-Qur’an tentang toleransi dikeluarkan dan paparkan. Terlalu baik dan terlalu mulia ayat Al-Qur’an tentang toleransi apabila semua dipaparkan. Apakah ayat Al-Qur’an tidak cukup untuk mengarahkan umat Islam supaya berbuat toleransi terhadap orang yang berbeda agama atau kepercayaan?
Pernyataan-pernyataan dan pertanyaan itu dapat memukul ke ulu hati masyarakat Muslim Indonesia khususnya atau masyarakat Muslim dunia yang di negaranya menjadi mayoritas. Semakin banyak aksi-aksi intoleran yang terjadi yang dengan hati berat penulis mengatakan aksi-aksi intoleransi itu dilakukan oleh saudara-saudara sesama Muslim. Mulai dari penolakan pendirian tempat ibadah, pembubaran ibadah keluarga, dan terakhir aksi perusakan rumah singgah yang dipakai kegiatan anak-anak di wilayah Sukabumi.
Setiap bulan rasanya selalu ada berita-berita tentang kasus intoleran. Entah dari mana akar masalahnya sehingga permasalahan ini terus menerus ada dan menjadi warna gelap bagi kebhinekaan kita. Alasan-alasan yang kerap kali disebutkan rasanya begitu bermuatan politis yang klasik sehingga bukan menjadi alasan kuat untuk dilakukan pembenaran.
Kaum intoleran yang bersembunyi di balik jubah agama dengan tamengnya selembar peraturan dua menteri tentang pendirian rumah ibadah adalah sebuah pengkhianatan terhadap ajaran agama itu sendiri. Jika kita meminjam asas hukum, maka kita akan mengenal istilah lex superior derogate legi inferior, yang artinya kurang lebih, bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya akan mengesampingkan aturan yang lebih rendah. Secara konstitusional, dalam Undang-Undang Dasar Pembukaan kita, bahwa pendiri negara ini menghendaki bahwa kemerdekaan itu adalah pemberian dari kekuasaan Tuhan (Preambule paragraf ke-3), tetapi perilaku-perilaku intoleran itu tidaklah mencerminkan kehidupan dan perintah Allah Swt, itu sendiri. Pada paragraf ke-4 telah jelas pula bahwa komitmen negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia, namun sangat disayangkan baru-baru ini, kementerian HAM, menyatakan untuk menangguhkan para pelaku pembubaran retret di Sukabumi tempo hari. Pertanyaannya di mana peran negara sebagai pelindung itu?
Saking seriusnya para pendiri negara ini dan atensi besarnya kepada agama, sampai-sampai terdapat pasal tersendiri dalam melindungi kehidupan beragama itu. Pasal 29 ayat (2) menyatakan: “Setiap warga negara berhak memeluk agamanya dan menjalankan peribadatan sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya itu.” Namun, dalam praktiknya ini sangat disayangkan masih belum berjalan dengan baik, maka pemangku kebijakan yang dalam hal ini Kementerian Agama belum mampu menjalankan amanat ini.
Lantas apakah perbedaan yang beragam ini suatu hal yang salah, sehingga siapa pun yang berbeda harus dipersekusi, harus disalahkan dan harus diintimidasi. Apakah Tuhan menjadi penyebab dalam perbedaan ini lantas Tuhan Allah Swt, bersalah? Sedangkan Allah Swt, memerintahkan untuk saling mengenal dalam perbedaan itu (Al-Hujurat ayat 13), bisa salah satu cara itu dengan saling berdialog. Sayangnya budaya dialog dengan yang berbeda ini sangat dianggap tabu bagi sebagian kalangan konservatif karena sudah dianggap keluar dari keyakinan yang kita anut sendiri.
Jika kembali lagi pada judul, terkait dengan aturan pendirian rumah ibadah yang sering dijadikan alat pembenaran bagi perilaku intoleran, maka secara tidak langsung sudah menganggap bahwa Peraturan Dua Menteri itu bisa membatalkan ayat Al-Quran tentang toleransi, yang dalam hal ini Surah Al-Kafirun. Selain itu, merendahkan ayat Al-Quran juga sering dilakukan oleh para penceramah yang jauh dari sikap toleransi, yang selalu menghina sebutan untuk Tuhan-Tuhan mereka dengan sebutan yang kurang enak, seperti “Tuhan kok gajah, Tuhan kok disalibkan, Tuhan kok mukanya atau tangannya banyak, Tuhan kok ini, Tuhan kok begitu.”
Mereka ini sudah tidak mengindahkan perintah Allah Swt, yang melarang menghina sesembahan orang lain (Al-An’am ayat 108). Apakah Nabi Muhammad Saw, juga pernah melakukan penghinaan terhadap sesembahan orang lain? Coba tunjukan hadisnya. Justru Nabi Muhammad sangat menghormati sesembahan umat Nasrani, tatkala ada gambar Yesus yang digendong Bunda Maria di dalam Ka’bah dilarang untuk dihapusnya (peristiwa Fathul Makkah).
Menghina Al-Qur’an bukan hanya menginjak-injaknya, tetapi dengan merendahkannya di bawah peraturan dua menteri. Penghina Al-Quran bukanlah Ahok, tetapi kaum intoleran yang menghina sesembahan orang lain.









