Mengantar Mangkatnya KH M. Imam Aziz, Sang Pejuang Senyap

Sabtu, 12 Juli 2025. Malam sepertiga terakhir menggantung berat menyelimuti ruang jenazah RSU Dr. Sardjito Yogyakarta. Juga di luar. Jasad KH M. Imam Aziz terbujur tenang. Pejuang senyap itu telah kembali menghadap Sang Khaliq, ruhnya telah memasuki Keheningan Abadi kira-kira 46 menit lewat tengah malam tadi. Mas Imam—panggilan akrab KH M. Imam Aziz—telah menyempurnakan hidupnya di usia 63 tahun.

Di tengah kesunyian ruang jenazah, kehilangan amat pekat itu kian terasa penuh mengisi udara. Kebenaran hadis Nabi saw kurasakan menggumpal nyata: “Wafatnya seorang ulama adalah musibah tak tergantikan.” Sebuah bintang penunjuk arah telah padam di langit malam yang kelam. “Mangkatnya seorang ulama”, kata al Ghazali, “ibarat lubang yang tak akan pernah tertutup kecuali muncul generasi penerusnya.“ 

Setelah melewati beberapa jam yang amat panjang dan menekan, Mbak Rindang Farihah (istri Mas Imam), istriku (Wiwin), Yoyok Markijok (Rumekso Setyadi), M. Iqbal Ahnaf dan beberapa teman yang sejak sore ikut menunggu di rumah sakit, sibuk mengambil peran yang bisa dilakukan masing-masing: membereskan administrasi, menelpon keluarga dan teman-teman, menyebarkan kabar duka, koordinasi kendaraan ambulans untuk pemulangan dan rencana pemakaman besok. 

Di samping mayat almarhum, dengan suara terbata, kini kulanjutkan bacaan Yasin yang tadi tertunda. Beberapa jam lalu, ketika  menyaksikan Mas Imam mulai kehilangan kesadaran di ruang IGD, dengan menekan emosi aku berusaha tak henti melantunkan tahlil dan membisikkan bacaan Yasin di telinga kanannya. Keringat dingin tampak membasahi dahi dan kepala Mas Imam. Sambil menggenggam erat tangan Mas Imam dari seberang sana, dengan suara gemetar Mbak Rindang kudengar terus meminta supaya Mas Imam tetap kuat dan sabar. 

Sebelum tuntas bacaan Yasinku tadi, tim dokter meminta kami untuk keluar ruangan. Mas Imam kembali kritis. Sejak masuk IGD jam 21.15 WIB, untuk kedua kalinya detak jantung Mas Imam tak terdeteksi di layar monitor. Tim medis harus kembali memacu jantungnya.

* * * * * *

Selepas Isya tadi, istriku tergopoh. “Mas Imam sesak nafas. Ayo kita antar ke IGD Sardjito sekarang!” katanya setelah ia bicara singkat dengan Mbak Rindang lewat telepon. Tanpa bertanya, aku segera menghidupkan kendaraan dan bersiap. Rumah kami terletak hanya bersebelahan gang di Dusun Turen, beberapa ratus meter ke arah barat dari kompleks Pesantren Sunan Pandanaran. Sejak sore, istriku dan Mbak Rindang bolak-balik bicara lewat telepon soal kesehatan Mas Imam yang memburuk. 

Beberapa hari sebelumnya, Mas Imam dan keluarga memang baru mudik ke Pati. Ayahnya, KH. Abdul Aziz Yasin yang berusia 87 tahun sudah kerap sakit-sakitan. Hampir tiap akhir pekan, Mas Imam menyempatkan diri pulang kampung untuk merawat ayahnya itu. Tapi akhir pekan ini, karena komitmen untuk mengisi beberapa acara sebelum dan setelah dari Pati, Mas Imam mudik tanpa menginap. Mereka berangkat pagi dan langsung pulang ke Jogja malam harinya. 

Sepulang dari Pati itu ia jatuh sakit, tubuhnya kelelahan. Apalagi sebelum itu—tentu untuk menggembirakan anak-anaknya yang sedang libur sekolah—Mas Imam mengajak keluarganya  menonton Prambanan Jazz. Anak pertamanya, Agusta “Tatu” Ann Talattova (18 tahun), yang kini masuk semester ketiga FISIPOL UGM mau segera ikut program internship di Jerman. Anak keduanya, Muhammad Birru Kamayasya (15 tahun), baru mau masuk SMA. Sedang anak ketiganya, Feliq Kenza Azizy (12 tahun), mau segera masuk SMP; keduanya di SMP dan SMA Bumi Cendekia. Anaknya yang keempat, Kaylatasya Mafat (7 tahun), juga baru mau memulai SD. Setiap anak punya sesuatu untuk dirayakan. Tampaknya Mas Imam ingin merayakan itu semua sebagai kegembiraan keluarga. 

Selama tiga hari sejak pulang dari Pati, Mas Imam lebih banyak tidur, hanya sedikit sekali makan. Ia merasa tubuhnya lemas, tapi belum mau diajak ke rumah sakit untuk periksa dokter. Karena sudah lebih tiga hari, lewat obrolan telepon sore tadi, kami sarankan Mas Imam periksa saja ke Mas Alim, seorang teman yang berprofesi sebagai dokter. Mas Imam setuju. Kami segera komunikasi dengan Mas Alim. Seperti biasa, ia dengan senang hati mau membantu. Tapi karena jadwal dan situasinya, Mas Alim menyarankan supaya Mas Imam datang besok pagi. Ketika kami beritahu bahwa Mas Imam ada gejala sesak nafas, “Wah, harus langsung dibawa ke IGD saja kalau gitu!” ujarnya.

Sudah agak lama, Mas Imam memang punya masalah kesehatan yang cukup kompleks. Sejak muda kegiatannya selalu padat dan menuntut dia konstan bepergian ke mana-mana. Selain perokok, dia bukan tipe orang yang punya jadwal tidur maupun makan teratur. Apalagi rutin olahraga. “Yang gitu-gitu kan orang modern ha haaa…..!“ ia sering bercanda dengan tawa lepas bernada khas. Ia juga tipe penikmat “makanan enak” menu ala Umar Khayam: makanan bersantan kental, berlemak, berminyak. Mas Imam memang jago masak. Sering ia masak sendiri untuk teman-teman yang diajaknya kumpul-kumpul, baik ada acara khusus atau tidak. Sayur ikan mangut masakan Mas Imam terkenal enak. Maknyusss!

Sekitar 2017 kesehatan Mas Imam menurun drastis, bahkan sempat harus istirahat di rumah hampir setahun. Dia mengidap diabetes serius, kemudian syarafnya juga kena. Bahkan jika kulitnya tersentuh kain apa saja dia merasa sangat kesakitan.

Setahun kemudian penyakit yang menyerang syaraf kulitnya itu sembuh. Mas Imam kembali merokok, bahkan anaknya yang keempat lahir. “Berarti sudah sembuh beneran itu,” ujar Kiai Masrur Pakem meledeknya. Setelah menemukan “rumus” dari berbagai sumber dan pengalamannya sendiri lewat proses pengobatan bertahun-tahun, Mas Imam merasa sudah bisa mengelola dan “berdamai” dengan diabetesnya. 

Setelah itu jadwalnya bahkan jadi jauh lebih padat, sebagai salah satu Ketua PBNU, Panitia Muktamar NU Lampung, dan lebih-lebih setelah jadi Stafsus Wapres KH Ma’ruf Amin. Setelah mendirikan SMP, SMA, dan Pesantren Bumi Cendekia, di tengah jadwalnya yang berjubel, ia tetap memastikan setiap akhir pekan sudah ada di Jogja untuk mengajar Tafsir Jalalain bagi para santrinya. Ketika tuntutan jadwal jauh melampaui kapasitas tubuhnya, beberapa kali Mas Imam sakit. Tapi dia tak pernah mengalami sakit serius seperti pada 2017. Keluhan penyakit lain juga tak pernah terdengar, sampai beberapa hari lalu.

Nafas Mas Imam terlihat pendek-pendek ketika kami datang. Tubuhnya terbaring lemah di kamar, tapi ia sudah siap. “Aku nggak bisa jalan,” kata Mas Imam pelan.

“Nggak apa-apa. Kita papah, Mas,” kataku. Seorang tetangga lain segera datang membantu. Aku di sebelah kanan, dia di sebelah kiri. Kami memapah Mas Imam keluar kamar. Ketika hampir masuk mobil, seorang tetangga lain datang untuk membopong tubuh Mas Imam. 

Dalam situasi kritis, setiap detik jadi amat berharga. Meski nyaris tiap hari aku lewat Jl. Palagan ke arah UGM, malam ini jalur itu terasa amat jauh, suasana lalu-lintas terasa sangat ramai. Setiap detik jam berpacu cepat dengan detak jantung di dada kami masing-masing. Aku hampir tak bisa bicara apa-apa sepanjang jalan. Di sampingku, istriku juga tak banyak bicara. Kulirik Mas Imam tetap tenang setengah berbaring dengan kepala di pangkuan Mbak Rindang. Aku hanya berusaha supaya sesegera mungkin bisa mencapai pintu IGD Sardjito. 

Alhamdulillah, tim IGD Sardjito membantu dengan sangat sigap. Ketika mobil kami berhenti, Mas Imam sempat bertanya, “Ini sudah sampai?” Kujawab: “Sudah, sudah. Yang kuat ya, Mas.” 

Petugas segera membantu kami menurunkan Mas Imam dan mendorongnya di atas bed memasuki ruang resusitasi IGD “Zona Merah”. Serombongan tim medis langsung memberi pertolongan pertama dan memasang alat-alat. Aku tidak tahu apa yang terjadi sesudahnya karena harus segera keluar untuk memarkir kendaraan. 

Ketika aku kembali masuk IGD, Mas Imam ternyata dinyatakan kritis. Mbak Rindang sudah menandatangani persetujuan tindakan yang akan dilakukan tim dokter. Jantungnya mengalami penyumbatan. Rupanya ia juga kena stroke. Mas Imam hanya bisa merespons sangat lemah ketika dokter memintanya untuk mengangkat tangan kiri. “Ada riwayat sakit jantung? Stroke?” tanya dokter. “Tidak ada,” jawab Mbak Rindang. Dokter memberitahu, kemungkinan Mas Imam harus pasang ring, tapi semua itu baru bisa dilakukan setelah kondisi tubuhnya stabil. 

Kami sangat cemas. Detak jantung Mas Imam sempat hilang dari radar dan tim medis berusaha mengembalikannya lewat bantuan pacu jantung. Tapi, kira-kira jam 23.00 WIB kondisi Mas Imam tampak kembali stabil. Dokter sudah memasang ventilator dan memberinya obat penahan sakit berdosis tinggi. Dengan penuh harap, kami menafsir itu sebagai “lewat masa krisis”. Kami pun berdoa penuh harap di sekitar ranjangnya, dengan membaca tahlil dan surat Yasin. Tapi menjelang tengah malam ternyata ia kembali dinyatakan kritis, jantungnya harus kembali dipacu untuk kedua kalinya.

Waktu menunggu menjelang tengah malam itu terasa amat panjang dan beku. Kami hanya bisa mondar-mandir di luar ruangan sambil mendengarkan suara alat deteksi jantung yang sangat membingungkan. Kami lebih sering saling menghindari tatapan mata. Istriku sibuk berkomunikasi dengan teman-teman lewat WA. Aku menghindar untuk membuka telepon. Segalanya serba keruh.

Setelah lebih dari satu setengah jam (bahkan dua jam sejak detak jantung Mas Imam pertama hilang dari tangkapan layar monitor) tim medis berjuang memacu jantung tanpa perkembangan berarti, Mbak Rindang dipanggil untuk diminta pendapat: “Mau lanjut atau dihentikan”? Jika dilanjut, ada risiko tulang dada Mas Imam bisa patah. Organ-organ tubuh yang lain juga kemungkinan bisa rusak. Jika tidak? “Kita harus siap menyerahkan semuanya kepada kehendak Yang Maha Kuasa,” kata tim dokter. 

Setelah bermusyawarah, Mbak Rindang akhirnya sepakat untuk mengikuti pilihan terbaik menurut saran tim dokter. Ventilator dan alat-alat medis yang tadi terpasang pun satu per satu dilepas. Beberapa waktu kemudian, berita yang tak pernah ingin kami dengar itu akhirnya disampaikan oleh tim dokter, “Bapak sudah wafat.” Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uuuun. Istriku dan para ibu-ibu yang lain serentak berangkulan memeluk Mbak Rindang. Aku memandang kegelapan malam yang tampak kian pekat di luar. Kubiarkan air mataku tergelincir diam-diam di sudut ruangan. 

***

Hanya itu pula yang bisa kulakukan ketika aku melanjutkan bacaan Yasin sendirian di ruang jenazah tadi. Aku baru sadar Mbak Rindang dan teman -teman lain sudah masuk kembali ketika kudengar beberapa orang membaca “amin” untuk doa yang kupanjatkan amat pelan. 

Di samping jenazah KH M. Imam Aziz yang terbujur tenang, malam itu kami merasa sebagai bayang-bayang samar teramat maya, betapa fana. Semasa hidupnya, betapa banyak yang telah diajarkan oleh Mas Imam kepada orang-orang yang mengenalnya dengan cara konsisten “bersuara dan bergerak dalam senyap”. Di tengah malam yang berat seperti ini, setelah akhirnya maut merenggut Mas Imam dari tengah kami, apa yang sejak dulu “disuarakannya dalam senyap” justru tampak makin nyata. 

Sejak usia muda hingga wafatnya, apa yang “disuarakannya” dari pojok sekretariat PMII Yogya pada awal 80-an, dari pelosok-pelosok kampung di kalangan orang-orang yang tergusur di Kedung Ombo hingga Kendeng, Wadas, desa-desa seputar Bandara YIA hingga warga pegunungan Papua, dari kalangan anak-anak girli, kaum difabel, minoritas etnis dan agama, dari rumah kontrakan LKiS, dari Joglo Abang Syarikat, dari kantor PBNU dan dari Istana Wapres? Yang kusaksikan amat nyata dari semua itu adalah keberpihakan sepenuh hati terhadap kelompok lemah dan tersingkir melalui kerja-kerja perubahan bagi kemaslahatan bersama. Semua dikerjakan dengan etos khas seorang santri: ikhlas, gigih, istiqomah, lillahi ta’ala

Mas Imam bukan tipe influencer yang sibuk mencari follower dan mencuri perhatian publik. Ia juga bukan tipe pembicara sistematis dengan retorika yang memukau hadirin. Orang yang tak paham isu ketika mendengar Mas Imam bicara akan gampang memandangnya sebelah mata, “Apa hebatnya orang ini?” Dan Mas Imam tak peduli.

Orang mendengar Mas Imam bukan karena kerapian struktur kalimatnya saat bicara, tapi apa yang dia suarakan lewat tindakan. Sejak muda, ia selalu membaca dan menanggapi masalah yang ditemuinya dengan ketekunan kerja, pemahaman atas peta dan strategi yang jangkar dan visinya adalah: maslahat (dalam konteks ini, lawan kata maslahat adalah muslihat!). Baginya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat; pengetahuan yang berangkat dan kembali kepada kenyataan demi perubahan lebih baik bagi semua. Ilmu dan amal, teori dan praksis, baginya, bukan dua hal terpisah yang berdiri sendiri-sendiri. Keduanya saling mengandaikan, saling menopang.

Banyak orang menghabiskan waktu “mengejar prestasi” untuk kemudian dipasang sebagai aksesoris dan modal sosial guna meraih kepentingan-kepentingan. Mas Imam lebih tekun menemukan peluang dan peran untuk “berkontribusi”. Ia tak silau pada prestasi: gelar akademis, jabatan politik, posisi sosial, termasuk atribut kekiaian. Penghargaan yang diterimanya, dari dalam dan luar negeri, termasuk menjadi anggota Ashoka Fellowship, anugerah dari Roma dan Korea Selatan, mungkin bisa disebut sebagai “efek samping” saja atas ikhtiar kontribusinya.

Penghargaan-penghargaan itu, sebagaimana hambatan dan kadang bahkan resistensi kalangan yang berseberangan, tak pernah mengubah karakternya. Dalam kalimat pelukis Nasirun, ia adalah tipe manusia egaliter ala santri yang “tak merasa kecil di depan orang besar, tak merasa besar di depan orang kecil”.

***

Ketika kemudian muncul pembicaraan soal lokasi pemakaman, aku usul kepada M. Iqbal Ahnaf, Ketua Yayasan Pesantren Bumi Cendekia (BC), “Kalau keluarga Mas Imam setuju, dimakamkan di kompleks BC bisa jadi pilihan terbaik.” Selain LKiS dan Syarikat, BC adalah legacy kelembagaan terakhir yang ditinggalkan Mas Imam. Kalau dimakamkan di kompleks BC, Mas Imam menjadi “penjaga” dua warisan institusional yang berada di tempat itu. Bagi BC keberadaan makam Mas Imam juga jadi pengikat spiritual dan intelektual istimewa. Para santri bisa berziarah dan berdoa untuk seorang pendirinya yang paling penting. Tradisi haul pesantren BC di masa mendatang punya alamat yang amat nyata; semua santri BC enam angkatan pertama berinteraksi langsung secara intensif dengan Mas Imam. Alhamdulillah, Mbak Rindang juga setuju.

Mbak Alissa Wahid masuk ruang jenazah beberapa waktu kemudian. Lama ia memeluk Mbak Rindang. Sekali lagi kami hanya bisa menunduk pilu. Bersama beberapa teman lain, Mbak Alissa setia menunggui proses pemulangan jenazah dan membersamai Mbak Rindang pulang ke Turen. Setelah mayat dimandikan oleh anggota keluarga dan kerabat terdekat, menjelang Subuh kami melakukan shalat jenazah gelombang pertama. Birru, anak laki-laki terbesar Mas Imam memimpin shalat. Tamu-tamu, ucapan belasungkawa dan doa-doa terus berdatangan makin ramai dari mana-mana.

Prosesi pelepasan, upacara dan doa-doa pemakaman KH M. Imam Aziz dilakukan di kompleks Pesantren Bumi Cendekia. Acara berlangsung khidmat pada Sabtu siang, dihadiri pelayat yang terus berbondong dari berbagai kalangan yang datang dari dekat maupun jauh; dari para santri, kerabat, tetangga, kolega. Para aktivis, seniman, akademisi, pejabat, politisi, rohaniawan, budayawan, dan seterusnya.

Sugeng tindak, Mas Imam. Semoga amal-amal jariyahmu kian tumbuh mekar, semoga pahalanya terus deras mengalir tanpa akhir mengantarmu menghadap Sang Pemilik Kehidupan. Al Fatihah.



Yogyakarta, 17 Juli 2025

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *