Tanggal 11 Juli 2025, tepatnya pada pukul 22.10 kami mendapatkan kabar kalau KH. Imam Aziz, atau yang sering kami panggil Mas Imam sedang masuk rumah sakit dan kritis. Tak lama kemudian, ada kabar Mas Imam wafat di RS Sarjito pada pukul 00.46 tanggal 12 Juli 2025. Tentu kabar tersebut mengagetkan bagi kami para GUSDURian, apalagi mereka yang memiliki kenangan dan pengalaman secara personal bersama Mas Imam.
Saya sendiri tidak terlalu dekat secara personal dengan Mas Imam. Persinggungan saya dengan Mas Imam hanya seputar acara-acara GUSDURian. Pertemuannya hanya sebatas di ruang kelas, ruang rapat, atau ketika sowan. Seingat saya, di antara tahun 2013-2015 Mas Imam sering menjadi narasumber Kelas Pemikiran Gus Dur di Jogja.
Kami mengenal Gus Dur memang dari para murid dan sahabatnya. Karena kami tidak pernah bersinggungan, bahkan belum pernah ketemu tatap muka langsung. Melalui sahabat dan murid-muridnya, kami belajar tentang nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur. Saya selalu menyimak betul tentang cerita-cerita Gus Dur dari para muridnya. Cerita seperti itulah yang sangat jarang dituliskan. Pertemuan dengan para murid dan sahabat Gus Dur adalah pertemuan yang sangat berharga bagi generasi kami. Generasi yang tidak mengenal Gus Dur secara langsung.
Maka dari itu, ketika Mas Imam wafat kami pun merasa kehilangan. Secara pribadi, saya belum terlalu banyak belajar dari Mas Imam. Saya membaca obituari satu per satu yang dituliskan para sahabatnya. Saya kemudian menyadari bahwa pengalaman saya secara personal hanya ketika wawancara pada tahun 2015.
Pengalaman tersebut terjadi ketika saya ditugaskan Majalah Bangkit PWNU DIY untuk wawancara dengan Mas Imam terkait Gus Dur pada 21 November 2015 di Joglo Abang, yang sekarang telah menjadi Pesantren Bumi Cendekia. Saya ditugaskan untuk menggali pengalaman Mas Imam ketika bersinggungan dengan Gus Dur, terutama terkait kaderisasi Gus Dur terhadap orang-orang muda. Saya menemui Mas Imam ketika setelah mengisi acara Kelas Pemikiran Gus Dur.
Saya diterima dengan baik oleh Mas Imam, walaupun saya bukanlah “wartawan profesional”. Ini adalah pengalaman yang berharga karena saya bisa belajar tentang Gus Dur kepada sahabat atau muridnya langsung. Mas Imam mengenang perjalanan dan persinggungannya dengan Gus Dur saat saya wawancarai.
Dari wawancara tersebut saya jadi sadar dan tahu bahwa Gus Dur adalah sosok yang egaliter. Mas Imam mengenang bahwa Gus Dur beberapa kali ke kos-kosannya bahkan sampai tiduran, padahal Gus Dur saat itu masih menjadi ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Bagi mas Imam, cara seperti itulah Gus Dur melakukan kaderisasi, sangat tidak terasa, tapi menurut Mas Imam menjadi pola kaderisasi yang baik.
Bagi Mas Imam, Gus Dur tidak pernah membuat perencanaan kaderisasi. Yang paling penting bagi Gus Dur adalah memerhatikan orang. Itulah kaderisasinya Gus Dur menurut penuturan Mas Imam. Kedekatan Gus Dur dengan anak-anak muda waktu itu bukan dilandasi karena uang, melainkan karena gagasan. Bahkan, Gus Dur menurut cerita Mas Imam, tidak selalu memberikan saran, melainkan melalui ngobrol-ngobrol biasa.
Mas Imam Aziz memetakan tiga tahapan kaderisasi yang dilakukan oleh Gus Dur yaitu mengetahui gagasan, memahami, dan kemudian melaksanakannya. Bahkan, Gus Dur memperlakukan antara satu orang dengan orang yang lain belum tentu sama. Mulai dari obrolan dan pendekatan tentu berbeda.
Mas Imam mengenal Gus Dur bukan hanya sebatas sosoknya, melainkan mengenal dengan baik gagasannya. Pada tahun yang sama, tahun 2015, saya mencatat apa yang disampaikan oleh Mas Imam tentang gagasan keislaman Gus Dur kepada para penggerak baru GUSDURian Jogja. Waktu itu mas Imam menyampaikan tujuh butir rumusan Gus Dur untuk memahami Islam sebagai pandangan hidup yang dinamis. Tujuh butir tersebut adalah 1) pandangan manusia dan tempatnya dalam kehidupan, 2) pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi, 3) pandangan ekonomi kerakyatan, 4) pandangan tentang individu dan masyarakat, 5) pandangan tentang pendidikan, tradisi, politik, dan budaya, 6) pandangan tentang pengembangan masyarakat, 7) asas-asas internalisasi dan sosialisasi.
“Gus Dur melihat kemanusiaan sebagai yang tertinggi dalam keberagamaan. Seperti Hasan Hanafi, Gus Dur mengubah orientasi keberagamaan, dari membela Tuhan, kemudian membela kemanusiaan,” ungkap Mas Imam. Manusia, lanjutnya, tidak boleh kalah oleh negara, karena manusia kadang dikalahkan oleh aparatur negara.
Mas Imam Aziz dengan Gus Dur menurut Hakim Jayli adalah mur ketemu dengan baut. Direktur TV9 Nusantara tersebut menyatakan dalam obituarinya bahwa dari Gus Dur, Mas Imam belajar dan dituntun kalau kaum cendekia harus memiliki keberpihakan empirik pada isu kemanusiaan, tak sekedar pidato dari atas mimbar.
Gus Dur dan Mas Imam memiliki satu kesamaan yaitu pembelaannya terhadap kelompok-kelompok yang mengalami diskriminasi dan mendapatkan ketidakadilan. Gus Dur berani pasang badan ketika ada kelompok-kelompok yang mendapatkan ketidakadilan. Begitu juga Mas Imam Aziz, perjalanan panjang perjuangannya juga bersama para masyarakat yang terpinggirkan.
Posisi membela dan berdiri bersama dengan warga yang terpinggirkan dan mendapatkan ketidakadilan adalah perkara yang tidak mudah. Mendapatkan tekanan, mengelola ekspektasi warga, dan pilihan-pilihan langkah pembelaan yang terkadang tidak sepenuhnya diterima oleh banyak orang menjadi tantangan tersendiri. Banyak orang yang menyebut Mas Imam sebagai sang pejuang senyap. Tidak banyak bicara melainkan banyak bertindak dan membela mereka yang dilemahkan.









