Benarkah Pakai Tumbler Bisa Menyelamatkan Bumi dari Krisis Iklim?

Beberapa tahun belakangan, membawa tumbler menjadi kebiasaan yang semakin populer. Di kafe, kampus, ruang kerja, atau bahkan acara komunitas, tumbler hadir sebagai simbol gaya hidup ramah lingkungan. Seolah-olah dengan membawa botol minum sendiri, kita sedang menyelamatkan bumi dari krisis. Tetapi, apakah cukup hanya dengan itu? 

Pertanyaan ini penting kita renungkan karena di balik tindakan kecil seperti membawa tumbler, ada isu yang jauh lebih besar, yaitu tentang bagaimana kita memperlakukan bumi, dan siapa saja yang paling terdampak oleh kerusakannya. Di sinilah pendekatan ekofeminisme (eco-feminsm) dan ekogender (eco-gender) bisa membantu kita melihat lebih dalam dan lebih adil. 

Melihat Lingkungan melalui Kacamata Gender 

Ekofeminisme muncul dari gagasan bahwa ada kemiripan antara cara dunia memperlakukan alam dan perempuan. Keduanya sering kali dianggap bisa dikuasai, dikendalikan, dan dieksploitasi. Pola pikir patriarki dan kapitalisme yang masih mengakar kuat dalam budaya kita mendorong eksploitasi terhadap tubuh perempuan dan tubuh bumi. Ekofeminisme menentang cara pandang ini, dan mendorong kita untuk membangun hubungan yang lebih adil, setara, dan saling merawat. 

Sementara itu, ekogender memperluas perspektif ini dengan menunjukkan bahwa pengalaman manusia terhadap krisis lingkungan berbeda-beda, tergantung pada identitas gender dan posisi sosial mereka. Perempuan, laki-laki, kelompok non-biner, hingga masyarakat adat semuanya punya relasi yang unik dengan alam. Karena itu, membicarakan keadilan ekologis tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial dan gender. 

Kita sering mendengar cerita tentang perempuan di desa yang menjaga benih, merawat kebun, dan mengelola air bersih. Mereka berada di garis terdepan dalam pelestarian alam. Tetapi ketika membuat kebijakan soal lingkungan, suara mereka nyaris tidak terdengar. Ini menunjukkan bahwa solusi atas krisis ekologis tidak cukup jika hanya berbicara soal teknologi atau gaya hidup hijau. Kita butuh pendekatan yang menentang ketimpangan, baik terhadap alam maupun terhadap manusia. 

Pendekatan ekofeminisme dan ekogender mengingatkan bahwa keadilan ekologis bukan hanya soal menyelamatkan pohon atau lautan, tetapi juga menyangkut siapa yang punya kuasa untuk membuat keputusan, dan siapa yang paling terdampak ketika alam rusak. 

Tumbler sebagai Gaya Hidup atau Kesadaran yang Lebih Dalam? 

Di kota-kota besar, membawa tumbler bisa jadi semacam “identitas sosial baru”. Anak muda yang peduli lingkungan akan tampil lebih keren kalau membawa botol minum sendiri. Tetapi, tidak semua orang membawa tumbler karena paham soal krisis lingkungan. Banyak juga yang sekadar ikut tren, tanpa benar-benar tahu makna di baliknya. 

Padahal, penggunaan plastik sekali pakai masih jadi masalah besar. Acara komunitas yang mengusung tema “go green” pun kadang masih menyediakan air mineral dalam kemasan. Belum lagi masyarakat yang tinggal di daerah dengan keterbatasan informasi atau fasilitas, mereka sering tidak punya pilihan selain memakai plastik. Artinya, tumbler bukan solusi tunggal. Kesadaran ekologis harus dibangun secara kolektif dan menyeluruh.

Lalu, apakah tumbler benar-benar penting? Jawabannya: iya. Kalau kita membawa makna yang lebih dalam bersamanya. Tumbler bisa menjadi pengingat, bahwa kita menolak sistem produksi yang menciptakan limbah tanpa pertanggungjawaban. Dalam pandangan ekofeminisme, membawa tumbler bisa dibaca sebagai bentuk resistensi terhadap sistem yang eksploitatif, baik terhadap bumi maupun sesama manusia. Ia adalah tindakan kecil yang bisa membuka jalan menuju perubahan besar, asal kita tidak berhenti di sana. 

Kesadaran Kecil yang Mengubah Arah

Perubahan sejati datang bukan hanya dari produk yang kita pakai, tetapi dari cara kita memaknai dan menjalani hidup. Kebiasaan seperti membawa tumbler, mengurangi belanja impulsif, atau memilah sampah memang penting. Juga, harus dibarengi dengan kesadaran struktural yaitu siapa yang memproduksi sampah, siapa yang paling terdampak, dan siapa yang mengambil keuntungan. 

Kita perlu membangun sistem pendukung seperti tempat isi ulang air gratis di ruang publik, edukasi soal bahaya plastik sekali pakai, dan kebijakan yang melibatkan perempuan serta komunitas marjinal dalam perencanaan lingkungan. Kita juga perlu kritis terhadap korporasi besar yang mengiklankan produk “hijau,” namun tetap menyumbang limbah dalam skala besar. 

Membawa tumbler memang tidak akan menyelamatkan bumi sendirian. Tetapi jika disertai dengan kesadaran akan ketimpangan, relasi kuasa, dan keberpihakan kepada yang terdampak, maka ia bisa menjadi simbol perubahan. 

Tumbler di tangan kita adalah pengingat. Bahwa bumi tidak netral, ia lebih dulu hancur di tempat-tempat yang dihuni kelompok rentan. Bahwa perubahan harus berkeadilan. Dan bahwa kita semua punya peran untuk ikut memperjuangkannya, sekecil apa pun langkah kita hari ini.

Staf Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *