Penegakan Hukum dalam Negara yang Demokratis

(Refleksi terhadap pemikiran Gus Dur dalam konteks masalah hukum, penegakan hukum, dan demokrasi di era kekinian)

Problematika hukum di Indonesia terbilang carut marut dan akut. Pertama, adanya produk-produk hukum yang sangat rentan kepentingan oleh penguasa (sebagai contoh: pengesahan UU Cipta Kerja), secara partisipatif dipertanyakan karena tergesa-gesa dan jauh dari diskusi yang bernas dengan publik (pengesahan UU Kesehatan yang bersifat omnibus, UU BUMN, UU TNI, dan sekarang kritik terjadi lagi dengan RKUHAP). Sementara produk hukum yang ditunggu-tunggu untuk melindungi kelompok rentan, misalnya pekerja rumah tangga, malah tidak disahkan. Kedua, penegakan hukum itu sendiri. Hukum yang sudah diperjuangkan disahkan sangat lemah penegakannya, tumpul ke atas tajam ke bawah, dan sangat buas terhadap mereka-mereka yang dianggap oposisi dengan pemerintah.

Baru-baru ini, mahasiswa yang ikut sebagai relawan medis dan paralegal dijadikan tersangka karena melindungi dan mencegah rekannya yang dipukuli oleh polisi dalam aksi 1 Mei (Hari Buruh). Bahkan kalau sebelumnya masyarakat miskin yang menjadi korban terbanyak ketika bersinggungan dengan sistem hukum, maka sekarang dengan kasus Tom Lembong, yang sebelumnya pejabat punya kekuasaan dan uang, tetap rentan karena posisinya bertentangan dengan rezim.

Saya selaku dosen di fakultas hukum berada pada posisi sulit ketika mengajarkan norma-norma hukum; yang sudah ideal pastilah masalahnya pada penegakannya yang berbeda dengan norma itu, yang tidak ideal maka pastilah semakin sulit ditegakkan.

Kondisi ini terjadi tentu tidak lepas dari situasi politik dan ideologi negara. Indonesia telah mencapai era reformasi yang tidak mudah. Sejak turunnya Suharto pada 1998 kita mengalami babak baru, negara yang demokratis. Namun era demokrasi Indonesia adalah era yang terjal dan tentu sangat fragile. Setiap periode pemilu kita selalu ketar-ketir karena sistem demokrasi dan rule of law kita jadi lemah. Seperti yang Gus Dur sudah bilang; demokrasi itu perlu diperjuangkan, dipertahankan, dan dijaga. Karena demokrasi menjadi pilar dari hukum yang berkeadilan.

Jadi, hukum seperti tidak punya kekuatan mengikat, melindungi, mengayomi masyarakat lagi. Hukum menjadi alat penguasa yang dapat digunakan bagi mereka yang punya posisi, dan bahkan menggunakan mekanisme-mekanisme demokrasi dalam mengoperasionalisasikan hukum.

Nah, dengan demikian penegakan hukum itu sendiri tentu tidak lepas dari institusi hukum; institusi kepolisian, institusi kejaksaan, institusi pengadilan, bahkan institusi penting lainnya seperti KPK. Jadi simbol besarnya adalah Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan KPK. Pengawalan ketiga institusi ini sangat penting. Mahkamah Agung menjadi tempat terakhir masyarakat mencari keadilan. Sayangnya MA sangat jauh, mahal, dan kompleks untuk diakses bagi masyarakat awam. MA lebih sering digunakan oleh mereka yang punya akses dan sumber daya, yang berharap pada hukum karena sebagai pelaku korupsi.

Lebih prihatin lagi tentunya ketika hakim-hakim termasuk di Mahkamah Agung malah menjadi tersangka korupsi. Tentu kita perlu mengawal simbol-simbol ini. Tapi itu saja tidak cukup. Saat ini hampir setiap penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari masyarakat itu masalah; jadi pengawalan instansi kepolisian dan kejaksaan juga penting. Kita perlu memberi perhatian terhadap RUU KUHAP karena RUU ini menjadi jantungnya sistem peradilan pidana, mulai dari pelaporan kasus, penyelidikan, penyidikan, penuntutan hukum, pengadilan dan eksekusinya.

Penyusunan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum tersebut jauh dari moralitas yang didengungkan Gus Dur. Kita perlu untuk menyelesaikan isu moralitas ini tidak sekedar menjadi isu hukum, tapi isu sosial dan masyarakat luas. Isu moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi esensi dari rule of law; dan rule of law tidak bisa dilepaskan pada sistem pemerintah. 

Ketika berbicara soal rule of law yang harus berbasis pada keadilan, dan keadilan itu perlu diletakkan dari rasa keadilan masyarakat yang beragam. Keadilan tidak semata-mata dari perspektif yang monolitik, mutlak, dan tunggal. Sering kali rule of law diletakkan dalam perspektif masyarakat demokratis dengan kelompok mayoritas sebagai hitungannya, apalagi mayoritas yang formal. Dalam perspektif mayoritas, maka sering kali yang minoritas tidak dihitung, tidak dianggap dan disingkirkan.

Nah, hukum pun cenderung menggeneralisasi setiap orang; tapi dalam konteks masyarakat paternalistik setiap orang ini bisa jadi hanya menyentuh kelompok tertentu: Islam, Jawa, laki-laki, abilitas, pegawai negeri, dewasa. Oleh karena itu, merujuk Adrian Bredner, rule of law itu salah satu indikatornya perlindungan kepada kelompok rentan dan minoritas. Isu perlindungan kelompok rentan inilah yang sangat kuat dalam pemikiran Gus Dur. 

Kita perlu merefleksikan pemikiran Gus Dur dan sejauh mana pemikiran Gus Dur dapat dikontekstualisasikan ke dalam isu hukum dan demokrasi di negara Indonesia saat kini. Gus Dur telah menghubungkan isu hukum, negara, dan kekuasaan. Dalam konteks negara, Gus Dur menekankan konsepsi negara-bangsa (nation state), di mana peran negara sangat penting dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan di tengah berbagai tekanan kepentingan individu, komunal, dan negara (2000).

Kesulitan utamanya adalah peletakkan rule of law, membangun kerangka ekonomi yang berkeadilan dengan adanya distribusi kekayaan dan penataan dan penguatan kohesi sosial. Gus Dur menyadari keberagaman pendekatan pemerintah dalam merespons berbagai problem di masyarakat; mulai dari pendekatan yang ‘technocratic socio-political engineering’, konsolidasi dengan menjadikan ideologi negara yang utama, dan bahkan adanya operasi politik yang membatasi kebebasan individu (2000).

Ada beragam alat politik untuk menguatkan respons yang jamak, mulai dari pembatasan hak politik individu dan kelompok sampai pada penguatan otoritarianisme. Gus Dur menekankan bahwa peran negara adalah melindungi kelompok rakyat jelata, yang miskin, dan terpinggirkan (2011) melalui prasarana hukum. Gus Dur melihat posisi hukum sangat sentral dalam negara. Hanya saja, bahwa hukum tidak selalu adil, karena di satu sisi hukum menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan, termasuk kepentingan agama (2011). Hukum digadang-gadang dan terkadang diterapkan tebang pilih. Itulah mengapa tidak saja mengkritisi, bahkan Gus Dur mencabut dan menghapuskan hukum yang dianggap diskriminatif, seperti Instruksi Presiden 14/1967 dan menggantikannya dengan Inpres No. 19/2001 (Hairus Salim, 2020).

Gus Dur memiliki banyak gelar; tokoh kontroversial, cendekiawan aktivis, maupun pembaharu. Gus Dur menekankan begitu kompleksnya problem negara bangsa, namun ia senantiasa menekankan pentingnya menyusun strategi ataupun mengurai masalah dengan pendekatan ‘dinamisasi’, melihat pada apa yang ada (dalam hal ini nilai-nilai hidup yang positif dengan mengubah terhadap nilai-nilai yang lebih baik). Artinya melihat apa yang dimiliki dan menguatkan apa yang ada. Pendekatan ini bisa disebut pendekatan yang persuasif dan melihat konteks di mana pembaharuan akan diletakkan.

Hairus Salim menyitir satu pendekatan yang dilakukan oleh Gus Dur yaitu ‘budaya terobosan’ yang menarik dan dapat dikembangkan, terutama dalam menghadapi problem hukum di Indonesia di Indonesia. Saya mengingat bahwa pada awal reformasi, ketika reformasi peraturan perundangan belum banyak terjadi, Indonesia masih memiliki aturan-aturan yang problematik pada zamannya, maka para aktivis hukum mendorong adanya pembaharuan peradilan dengan mendorong perubahan dari dalam institusi melalui terobosan-terobosan praktik-praktik peradilan untuk mencapai keadilan. Para pembaharu hukum adalah aparat penegak hukum itu sendiri yang dari dalam menciptakan budaya institusi hukum yang bertujuan pada keadilan.

Namun budaya terobosan ini mengandaikan adanya moralitas yang kuat untuk kepentingan rakyat. Gus Dur sendiri menekankan bahwa moralitas itu menjadi dasar bagaimana kita berbangsa dan bernegara; moralitas yang dimaknai pada tiga prinsip: persamaan (musawah), keadilan (al-‘adalah), dan demokrasi (syura’) yang penting ada dalam negara yang modern. Agama dan para agamawan menjadi pemantau terhadap bagaimana negara menjalankan prinsip tersebut. Bukan sebaliknya, agama dan agamawan menggunakan hukum untuk kepentingannya sendiri. Dalam masyarakat yang masih sangat peduli pada agama, gerakan masyarakat sipil yang bersentuhan dengan para agamawan, para akademisi, kelompok cendekiawan, dan gerakan lainnya memang membangun ruang dialog bersama. Pengawalan simbol-simbol demokrasi dan supremasi hukum harus terjadi secara berkelanjutan.

Selain itu memang kita harus membangun pemikiran kritis sebagai bagian dari keseharian kita dan membangun kesadaran politik dalam kehidupan sehari-hari. Nah, politik sehari-hari ini perlu dikuatkan dengan pelibatan perempuan yang merupakan 50 persen dari penduduk Indonesia. Hal ini yang sebetulnya napas dari pemikiran Gus Dur yang selalu kritis dalam segala hal, dan menyuarakannya dengan cara-cara yang menarik dan lucu. 


Referensi:

Abdurrahman Wahid, How to Counter Islamic Extremism, Diogenes 50(4): 123–125, Sage Publication 2003

—- Right Islam vs. Wrong Islam Muslims and non-Muslims must unite to defeat the Wahhabi ideology. Friday, December 30, 2005. The Wall Street Journal

—-, Islam, Nonviolence and National Transformation, 8 Sociai Alternatives Vol. 19 No. 2, April 2000

—- Tuhan Tidak Perlu dibela, LKIS, cetakan VI, 2011

Hairus Salim, Gus Dur Sang Kosmopolit, Buku Mojok Grup, 2020.

Dosen Fakultas Hukum UGM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *