Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai tokoh bangsa yang tak segan menabrak batas, agama, etnis, bahkan kekuasaan. Namun dibalik perjalanannya yang luas dan penuh kontroversi, tersimpan jejak persahabatan dan kesamaan visi dengan seorang tokoh yang jarang disandingkan dengannya: Yap Thiam Hien, seorang advokat dan pembela hak asasi manusia berdarah Tionghoa.
Meski nama keduanya jarang ditautkan dalam narasi besar sejarah Indonesia, hubungan mereka menyimpan pelajaran penting tentang keberanian, ketulusan, dan solidaritas lintas identitas. Dalam senyap, mereka pernah bertemu di simpang jalan yang sama: perjuangan untuk martabat manusia.
Lahir di Kutaraja (Banda Aceh) pada 25 Mei 1913 dari keluarga Tionghoa peranakan, Yap Thiam Hien menempuh pendidikan hukum di Belanda dan kembali ke Indonesia dengan tekad membela siapa pun yang tertindas, tak peduli latar belakangnya. Sepanjang kariernya, Yap berdiri tegak membela buruh, petani, korban penggusuran, dan kelompok minoritas lainnya. Ia kerap harus berhadapan dengan negara dan militer.
Yap menyaksikan sendiri bagaimana negara kerap menggunakan hukum sebagai alat penindasan. Ia tahu, keadilan bukan barang murah di negeri ini. Ia juga tahu, membela minoritas berarti memeluk kesepian. Tapi Ia tetap berjalan tanpa kompromi.
Di jalur yang berbeda, Gus Dur tumbuh dalam tradisi pesantren dan NU. Namun Ia tak sekadar menjadi ulama. Ia menjelma menjadi intelektual publik, budayawan, sekaligus pelindung minoritas. Dari ceramah hingga tulisan, dari podium hingga layar kaca, Gus Dur mempromosikan Islam sebagai jalan damai dan kebebasan.
Dalam banyak peristiwa, Gus Dur tampil sebagai satu-satunya Tokoh Muslim Besar yang berdiri membela hak-hak etnis Tionghoa, Ahmadiyah, kelompok adat, hingga kaum difabel. Sering kali Ia berdiri sendirian dan tak gentar. Karena baginya, “agama tidak boleh mengalahkan akal sehat dan kemanusiaan.”
Memang pertemuan Gus Dur dan Yap tidak banyak terdokumentasi. Namun dalam wawancara dan memoar sahabat dekat mereka, disebutkan bahwa keduanya pernah berdiskusi dalam forum-forum kecil yang mempertemukan aktivis lintas iman di era 1980-an.
Dalam satu momen, Yap yang dikenal serius berkata pada Gus Dur, “Saya tidak takut mati, Gus. Tapi saya takut mati sia-sia.”
Gus Dur menimpali dengan canda khasnya, “Kalau begitu, kita mati bareng saja. Biar nggak sia-sia. Bisa ramai-ramai di neraka!”
Tawa pun pecah. Namun canda itu mencerminkan keberanian mereka. Dua tokoh dari latar belakang yang berbeda, namun saling memahami satu sama lain. Sama-sama siap membayar harga atas sikap dan perjuangan mereka.
Yap dan Gus Dur juga kerap saling mendukung di balik layar. Gus Dur membantu menyuarakan diskriminasi yang dialami etnis tionghoa dalam forum-forum keislaman. Sementara Yap tak segan memberikan bantuan hukum bagi komunitas pesantren yang terpinggirkan oleh kekuasaan.
Meski jalur perjuangan mereka berbeda, Gus Dur lewat ruang sosial-keagamaan, Yap lewat ruang hukum dan advokasi, mereka sama-sama percaya bahwa pembelaan terhadap minoritas adalah ujian integritas sejati.
Yap wafat pada 1989, satu dekade sebelum Gus Dur menjadi Presiden RI keempat. Namun Gus Dur kerap menyebut Yap dalam refleksi publiknya. Dalam satu forum, Gus Dur pernah berkata, “Yap Thiam Hien itu lebih Islami daripada banyak orang Islam.”
Ungkapan itu bukan lelucon. Gus Dur menggunakan istilah “Islami” untuk menilai keberpihakan moral dan keberanian dalam membela keadilan. Ia tak melihat agama hanya sebagai identitas formal, tapi sebagai etika kemanusiaan.
Hari ini, nama Yap Thiam Hien mungkin lebih sering terdengar sebagai nama penghargaan HAM. Tapi kisah hidup dan perjuangannya nyaris hilang dari ingatan kolektif. Padahal, sama halnya dengan Gus Dur sebagai pejalan sunyi bersama para minoritas yang tak hanya membela lewat pidato, tapi juga lewat tindakan nyata.
Keduanya tak sempat berdiri di panggung yang sama dalam sejarah formal. Tapi dalam kesunyian perjuangan, mereka telah menorehkan jejak yang sama, yakni jejak keberanian dan jejak cinta pada kemanusiaan.
Dalam zaman yang semakin bising oleh perpecahan identitas, kisah Gus Dur dan Yap Thiam Hien adalah penanda penting bahwa keberpihakan tidak harus lahir dari kesamaan keyakinan, tapi dari kepekaan nurani dan keberanian untuk berbeda. Dua jalan yang berbeda bisa menuju satu tujuan jika kita berjalan dengan hati yang terbuka.









