Demokrasi Harus Diperjuangkan

Rusia adalah negeri yang terkenal dengan pembangkangnya kepada para penguasa zalim dan kejam. Masa pemerintahan para Tsar yang berlangsung berabad-abad selalu dipenuhi dengan pemberontakan bersenjata di kalangan rakyat miskin yang menjadi korban perampasan hak oleh kaum feodal. Cerita petani (muzhik) yang memberontak merupakan tema menetap dalam sastra Rusia, seperti dibuktikan antara lain oleh karya-karya Pushkin dan Turgenev.

Tradisi pembangkangan sudah demikan jauh tertanam dalam budaya politik Rusia sehingga dari zaman ke zaman selalu muncul kelompok yang berani merintis moralitas baru sebagai pahlawan terhadap moralitas umum yang ada, yang hampir selalu menunjang kezaliman dan penindasan yang sedang berlangsung. Pemunculan moralitas baru itu tentu harus ditebus dengan pengorbanan besar karena dianggap sebagai penyimpangan dari moralitas yang sedang dianut oleh mayoritas bangsa, baik secara terpaksa maupun tidak. Karya-karya Tolstoy, Dostoyevsky, Gogol dan sastrawan-sastrawan ukuran dunia lainnya dari Rusia menunjukkan dengan jelas kuatnya tradisi pembangkangan melalui pemunculan moralitas baru itu dari masa ke masa.

Tradisi itu ternyata berlangsung terus di masa pemerintahan komunis abad ini. Dua sastrawan utama Rusia melambangkan semangat pembangkangan itu: Boris Pasternak dan Aleksander Solzhenitsyn.

Novel utama Pasternak, Doktor Zhiuago, membeberkan secara berterus-terang pandangan pengarangnya tentang kehidupan dalam masyarakat komunis: tidak adanya tempat bagi perikemanusiaan di dalamnya. Semua hal, termasuk nilai-nilai terluhur dalam kehidupan manusia, ditundukkan kepada gairah kaum proletar untuk meraih dan kemudian mempertahankan kekuasaan.

Demikian pula, semua karya Solzhenitsyn, dari lingkaran pertama melalui Sebari Dalam Kehidupan Ivan Denisovitch dan Ruang Kanker hingga berpuncak pada karya agung Kepulauan Gulag I-II, memperlihatkan bagaimana kekuasaan telah mencekam mereka yang haus kekuasaan. Kekejaman melahirkan kebuasan yang lebih dahsyat lagi, seperti candu yang selalu membawa orang kepada dosis yang lebih besar.

Pengorbanan Itu Sendiri

Tetapi tradisi pembangkangan Rusia itu dewasa ini tidak hanya terbatas pada para sastrawan belaka. Kelompok pembangkang yang melawan penindasan hak-hak asasi manusia di negeri itu kini justru bertulang-punggungan para ilmuwan dari berbagai disiplin eksakta, termasuk tokoh-tokoh yang tadinya berkedudukan serba enak: ahli fisika inti Andrei Sakharov, programer komputer Anatoly Shcharansky yang baru saja dijatuhi hukuman belasan tahun, dan lain-lainnya.

Pengorbanan besar mereka berikan, demi tujuan menegakkan kebebasan dan demokrasi di Rusia. Tentu timbul pertanyaan, apakah artinya perjuangan mereka, bila dihadapkan kepada kelaliman kekuasaan yang begitu mutlak?

Jawabnya sebenarnya mudah saja: para pejuang itu sendiri mengetahui prospek gelap yang ada di hadapan mereka. Demokrasi dan kebebasan belum akan tegak untuk waktu sangat lama lagi di tanah air mereka sehingga merupakan impian kosong saja untuk mengharap dapat menyaksikannya sendiri buah perjuangan mereka dalam masa hidup mereka.

Apa yang mendorong mereka untuk terus berkorban sedemikian mahal adalah kesadaran akan perlunya pengorbanan itu sendiri bagi kelanjutan ide demokrasi dan kebebasan di Rusia. Tanpa keberanian memperjuangkannya dengan pengorbanan sebegitu besar di masa kini, demokrasi tidak akan dapat tegak di kemudian hari. Darah dan air mata yang merupakan cucuran kini adalah penyiram yang menghidupkan benih-benih demokrasi dan kebebasan.

Sadat

Marilah hal ini kita sadari bersama. Negara-negara sedang berkembang kini tengah menghadapi gejala umum berupa semakin mengerasnya pola-pola pemeliharan kekuasaan di dalamnya. “Demokratisasi” yang dibawakan Sadat di Mesir teryata hanyalah pelabi belaka bagi berlakunya ketentuan-ketentuan keamanan dalam negeri via referendum yang semua orang tahu sebagai lelucon yang tidak lucu. Ziaul Haq di Pakistan dikutuk di mana-mana karena hukuman mati yang dijatuhkan atas diri Zulfikar Ali Bhutto. Marcos di Filipina melestarikan penyerobotan tanah milik orang-orang Moro dengan pelabi mengatasi pemberontakan kaum “separatis muslim” di wilayah selatan negerinya. Seolah-olah semua yang menuntut perubahan di sana adalah dari kelompok MNLF. Belum lagi kita lihat bermacam-macam rezim di Amerika Selatan dan Tengah, yang hampir semuanya bertindak lalim kepada rakyatnya sendiri.

Di negeri kita demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh masih lebih berupa hiasan luar bersifat kosmetik daripada sikap yang melandasi pengaturan hidup yang sesungguhnya. Dalam suasana sedemikian ini, unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokrasi yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini.

Kalau tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar di negeri ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi itu. Negeri kita bukan tempat satu-satunya di dunia ini, di mana keadaan di atas masih berlangsung. Keadaan itu sendiri bahkan merupakan ciri umum kehidupan hampir semua negara yang sedang berkembang.

Karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kita kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita. Perjuangan itu haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.

Perjuangan orang-orang seperti Nyonya Hernandez di Filipina, Kim Dae Jung dan Lee Mun Young di Korea Selatan serta tokoh-tokoh lain di banyak negara berkembang, haruslah kita imbangi dengan kesediaan memperjuangkan kebebasan bagi orang kecil dan perbaikan kehidupan mereka secara nyata. Bukankah untuk menggunakan istilah: “Marhaen” saja kita sekarang agak ragu-ragu?

Seperti halnya kemerdekaan, demokrasi dalam artian sebenarnya, terlepas predikat apa pun yang dilekatkan padanya, tidak akan datang begitu saja dengan sendirinya. Ia haruslah dicapai dengan pengorbanan.

Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, hlm. 221-224).

Sumber: santrigusdur.com

Presiden Republik Indonesia ke-4.