Diskusi Perdana Halaqah Teras: Bahas Khutbah Lingkungan hingga Kecemasan Ekologis

PONTIANAK — Bertempat di parkiran Fakultas Fusha, IAIN Pontianak, komunitas literasi dan pemuda lintas latar belakang menggelar Halaqah Teras perdana dengan mengangkat tulisan Gus Dur berjudul “Ulama dan Pembinaan Kesadaran Lingkungan”. Diskusi ini berlangsung pada Rabu (17/9/2025) sore dan menghadirkan peserta dari beragam kalangan, seperti aktivis lingkungan, penggerak komunitas GUSDURian, hingga mahasiswa.

Amo, aktivis lingkungan hidup, menyoroti pendekatan ulama yang cenderung normatif. Ia menekankan pentingnya memperluas ijma’ ulama yang seharusnya tidak hanya fokus pada hukum ibadah, tetapi juga isu lingkungan hidup.

“Pendekatan-pendekatan seperti ini perlu dikaji lebih dalam,” tegasnya.

Muslim, penggerak GUSDURian Pontianak, menambahkan bahwa ajaran Islam sejatinya bersifat “shalih li kulli zaman wa makan”—relevan sepanjang zaman dan tempat. Ia mencontohkan KH. Ali Yafie yang merumuskan fikih ekologi dengan memperluas maqashid al-syariah melalui unsur hifdzul bi’ah (menjaga lingkungan). Namun, ia mengingatkan agar kajian tidak berhenti di ranah teoretis yang “melangit” tanpa menyentuh realitas.

Dirinya juga membagikan pengalamannya ketika menyampaikan khutbah bertema ekologi. Respons jamaah beragam, katanya, bahkan sebagian mempertanyakan relevansi topik tersebut.

“Mimbar untuk menyampaikan firman Tuhan bukanlah panggung untuk berpasrah diri,” tegas Muslim. Menurutnya, tantangan terbesar adalah bagaimana membungkus isu lingkungan dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat.

Diskusi tersebut turut menyinggung kurangnya pembahasan ilmiah soal lingkungan dalam khutbah, meski banyak ayat Al-Qur’an menyinggung alam. Para peserta juga mengutip karya Syekh Sulaiman al-Jazuli dalam Dalail Khairat yang menghubungkan jumlah makhluk dengan tasbih kepada Allah dan shalawat kepada Nabi, yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam.

Dengan nada satire, peserta mengkritik kondisi Sungai Kapuas melalui lirik lagu daerah Aek Kapuas.

“Ceritenye tetap ade, tapi sekarang cerite tentang masok rumah saket,” ujar salah seorang peserta.

Selain kritik, diskusi juga menyoroti praktik baik ekologi, seperti gerakan ramah lingkungan di Pesantren Al-Misykat asuhan Gus Roy Murtadho dan Sekolah Alam Terpadu Cerlang di Pontianak. Di sana, anak-anak dikenalkan dengan kegiatan berkebun, hidroponik, serta kesadaran bahaya industri ekstraktif.

Amo, salah satu peserta, turut mengangkat isu eco-anxiety (kecemasan ekologis). Menurutnya, sekitar 20% penduduk dunia sudah merasakan dampak nyata kerusakan lingkungan, mulai dari kesehatan fisik, mental, hingga rasa kehilangan masa depan.

Sebagai penutup, Rudi, mahasiswa Psikologi Islam, menyoroti minimnya film layar lebar bertema lingkungan. Ia mencontohkan film Pengepungan di Bukit Duri yang mampu membangkitkan kesadaran sejarah 1998.

Muslim menambahkan, “Transfer nilai melalui film sangat efektif. Sampai hari ini kita masih kesulitan memisahkan peristiwa 30 September dari narasi G30S/PKI—menunjukkan betapa kuatnya media membentuk kesadaran publik.”

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *