Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian 2025 telah selesai digelar. Tugas selanjutnya adalah mengimplementasikan nilai, pemikiran, dan meneruskan perjuangan Gus Dur. Sebab bagi kami, di Jaringan GUSDURian, bahwa “Meneladani Gus Dur, Merawat Indonesia”. Adagium itu pun ditegaskan sebagai grand tema di TUNAS 2025.
Mungkin bagi seseorang yang belum mengenal serta memahami Gus Dur dan Jaringan GUSDURian, akan dapat mengajukan pertanyaan. Benarkah melanjutkan keteladanan Gus Dur itu dapat merawat Indonesia?
Dalam rangka menjawab pertanyaan itu, penulis ingin memulainya dengan membahas Gus Dur sebagai seorang ulama di Indonesia. Ia tidak hanya berlatar belakang keluarga santri, dirinya telah menjadi santri yang mengembara mencari guru dan ilmu dari berbagai pesantren di Indonesia hingga ke pusat di mana peradaban Islam itu dilahirkan dan berkembang. Seperti di Mekkah, Mesir, hingga Baghdad.
Berbekal menjadi pengembara dari pesantren ke pesantren, Gus Dur saat melanjutkan studi di Mesir enggan masuk kelas. Ia merasa sudah menguasai materi yang diajarkan. Untuk memuaskan dahaga belajarnya, ia lebih banyak pergi ke perpustakaan. Melahap berbagai pengetahuan. Baik itu sejarah, filsafat, sastra, seni, politik, budaya, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, secara formal Gus Dur tidak pernah menyelesaikan studinya. Ia lebih tertarik mendalami keilmuan secara bebas. Tidak terganggu dengan kurikulum pendidikan yang ada.
Menurut penulis, apa yang dilakukan oleh Gus Dur di atas tidak lain ingin menyerap semesta warisan keilmuan yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu. Sehingga sanad keilmuan dari generasi ke generasi terus bersambung tanpa terputus hingga generasi yang akan datang.
Memang para ulama itu identik dengan keilmuan. Sabda Nabi Muhammad SAW menyatakan, ulama merupakan pewaris para Nabi. Para ulama tidak hanya mewarisi sanad keilmuannya. Tetapi sekaligus mewarisi semangat dalam mengais samudera pengetahuan yang tersebar di alam semesta. Semangat dalam pencarian ilmu itu lah yang mampu membangun peradaban yang lebih baik. Model pembangunan peradaban itu disebut oleh Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif atau akrab dipanggil Buya Syafi’i, sebagai peradaban fikri dan dzikir.
Konteks Indonesia, peran membangun peradaban berbasis keilmuan itu diampu oleh para ulama yang terlibat di berbagai organisasi Islam. Gus Dur misalnya, terafiliasi dan pernah memimpin Nahdlatul Ulama (NU) selama tiga periode kepemimpinan. NU menjadi organisasi keagamaan Islam yang merajut jejaring perjuangan ulama yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren. Yakni lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Walisongo. Sebutan untuk perkumpulan ulama yang berhasil mengislamkan bumi nusantara. Selain NU, ada juga Muhammadiyah. Buya Syafi’i terafiliasi dengan organisasi Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu.
Selain menyandang gelar ulama, Gus Dur pun menyandang status cendekiawan Muslim, politisi, budayawan, seniman, pengamat bola, sastrawan, hingga pelawak. Berbagai gelar dan status yang melekat pada Gus Dur, dapat dibaca dari ribuan tulisan yang mencakup berbagai tema serta joke dan humornya saat memberikan ceramah dan/atau yang sudah diabadikan dalam bentuk tulisan hingga video di media sosial.
Lebih dari itu, Gus Dur juga hadir untuk membersamai siapa pun yang sedang mendapatkan diskriminasi. Ia selalu ada untuk membela hak-hak kelompok minoritas yang direnggut dan berusaha membantu kelompok-kelompok yang dilemahkan dan terpinggirkan.
Begitu kira-kira jawaban yang bisa penulis sajikan. Gus Dur telah meneladankan, saatnya melanjutkan.









